Supriyono, dkk
PEDALANGAN
JILID 1
SMK
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional
Hak Cipta pada Departemen Pendidikan Nasional
Dilindungi Undang-undang
PEDALANGAN
JILID 1
Untuk SMK
Penulis : Supriyono
Djumiran Ranta Admaja
Bambang Sukmo Pribadi
Joko Susilo
Perancang Kulit : Tim
Ukuran Buku : 17,6 x 25 cm
Diterbitkan oleh
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2008
PRI SUPRIYONO
p Pedalangan Jilid 1 untuk SMK /oleh Supriyono, Djumiran
Ranta Admaja, Bambang Sukmo Pribadi, Joko Susilo ---- Jakarta :
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
xvii. 290 hlm
Daftar Pustaka : A1-A2
Glosarium : xiii-xvi
ISBN : 978-602-8320-86-3
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia Nya, Pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, telah melaksanakan
kegiatan penulisan buku kejuruan sebagai bentuk dari kegiatan
pembelian hak cipta buku teks pelajaran kejuruan bagi siswa SMK.
Karena buku-buku pelajaran kejuruan sangat sulit di dapatkan di pasaran.
Buku teks pelajaran ini telah melalui proses penilaian oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan sebagai buku teks pelajaran untuk SMK dan telah
dinyatakan memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses
pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45
Tahun 2008 tanggal 15 Agustus 2008.
Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
seluruh penulis yang telah berkenan mengalihkan hak cipta karyanya
kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk digunakan secara luas
oleh para pendidik dan peserta didik SMK.
Buku teks pelajaran yang telah dialihkan hak ciptanya kepada
Departemen Pendidikan Nasional ini, dapat diunduh (download),
digandakan, dicetak, dialihmediakan, atau difotokopi oleh masyarakat.
Namun untuk penggandaan yang bersifat komersial harga penjualannya
harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan
ditayangkan soft copy ini diharapkan akan lebih memudahkan bagi
masyarakat khsusnya para pendidik dan peserta didik SMK di seluruh
Indonesia maupun sekolah Indonesia yang berada di luar negeri untuk
mengakses dan memanfaatkannya sebagai sumber belajar.
Kami berharap, semua pihak dapat mendukung kebijakan ini. Kepada
para peserta didik kami ucapkan selamat belajar dan semoga dapat
memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa buku ini
masih perlu ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, saran dan kritik
sangat kami harapkan.
Jakarta, 17 Agustus 2008
Direktur Pembinaan SMK
iii
KATA PENGANTAR
Puja-puji syukur kami panjatkan ke Hadurat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat-Nya kepada hambanya,
sehingga kami dapat menyajikan buku “Pedalangan” ini kepada para
pembaca.
Buku Pedalangan ini disusun terutama untuk menunjang pelaksanaan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2004
Sekolah Menengah Kejuruan Seni Pertunjukan. Melalui buku ini siswa
diantarkan untuk dapat menjadi tenaga yang profesional dan siap
pakai pada saat terjun di kalangan masyarakat luas dengan berbekal
kemaun serta kemampuannya, dan untuk menghadapai era teknologi
yang semakin maju.
Bila kita perhatikan serta kita renungan secara mendalam,
seni pedalangan tidak hanya merupakan satu ekspresi kebudayaan
tetapi juga sekaligus merupakan media pendidikan, informasi, dan
hiburan.
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa seni pedalangan merupakan
perbendaharaan kebudayaan nasional yanng mempunyai kedudukan
tersendiri di hati sanubari bangsa Indonesia. Sudah bertahun-
tahun bahkan berabad-abad seni pedalangan berkembang sebagai
suatu hasil karya para pujangga para empu kita dari berbagai
generasi. Adanya berbagai macam jenis wayang yang ada di tanah
air, seperti contoh: Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Klithik,
Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Menak, Wayang Suluh,
Wayang Beber, hingga terciptanya Wayang Moderen, dan masih banyak
lagi wayang-wayang lainnya merupakan pertanda adanya suatu
proses perkembangan seni pedalangan itu dari masa ke masa
baik isi maupun bentuknya. Semenjak permulaan tumbuhnya seni
pedalangan, sudah dapat kita katakan bahwa seni pedalangan
adalah suatu perpaduan yang serasi antara berbagai ekspresi kebudayaan,
di antaranya seni karawitan, seni tari, seni sastra, seni drama,
seni rupa, dan filsafat.
Ditinjau dari isinya, seni pedalangan banyak memberikan ajaran-
ajaran kepada kita tentang hakekat kehadiran manusia baik sebagi
individu maupun kedudukannya sebagai anggota masyarakat
dan terbukti banyak membantu di dalam pembinaan budi pekerti
luhur. Oleh sebab itu seni pedalangan perlu dilestarikan dan dikembangkan
terus-menerus sebagai sarana pendidikan di tangah-tengah
masyarakat kita.
Seni pedalangan dikatakan sebagai media informasi karena
dari segi penampilan wayang sangat komunikatif dalam masyarakat.
Sedikitnya dapat dipakai untuk memahami salah satu dari tradisi dan
salah satu cara pendekatan terhadap kehidupan serta segala periv
masalahan. Karena sifatnya yang komunikatif ini, kiranya dapat dijadikan
sebagai sarana kominikasi dalam pembangunan pada sata sekarang
ataupun yang akan datang.
Seni pedalangan jelas sebagai media hiburan, akan tetapi
bukan merupakan media hiburan pengisi waktu santai belaka. Melalui
hiburan seperti ini, kesenggangan manusia tidak hanya disegarkan
dan dikeluarkan dari kelesuan, tetapi diperkaya secara spiritual.
Seni pedalangan merupakan kesenian tradisional yang adi
luhung, benyak negara-negara maju yang sangat mengagumi seni
pedalangan. Tidak salah kiranya UNESCO sebuah badan PBB yang
menangani kebudayaan, pada tahun 2003 yang lalu telah memposisikan
wayang sebagai pusaka budaya dunia. Keputusan UNESCO
ini merupakan kristalisasi perjuangan kita dan para leluhur yang telah
dengan gigih, telaten dan penuh kesabaran “ngeluri” warisan budaya
bangsa yang adi luhung berupa wayang.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan
dan kekhilafan baik isi maupun panyajiannya. Segala tegur-sapa
serta saran dan kritik dari para ahli yang berwenang dan para pembaca
yang bersifat membangun senantiasa diterima dengan lapang
dada.
Akhirnya tak lupa diucapkan terima kasih kepada Pemimpin
PENULISAN BUKU KEJURUAN, juga kepada rekan-rekan dan handai
tolan serta semua pihak yang turut serta menangani buku ini.
Semoga bermanfaat adanya.
Penulis
v
DAFTAR ISI
SAMBUTAN DIREKTUR......................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................ v
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... xii
ABSTRAK .............................................................................. xvii
PETA KOMPETENSI ............................................................. xviii
BAB I SENI PEDALANGAN............................................ 1
1.1 Pedalangan ...........................................................1
1.1.1 Arti Istilah Dalang .................................................. 1
1.1.2 Peranan Dalang.....................................................2
1.1.3 Klasifikasi Dalang ..................................................3
1.1.4 Tugas Dalang ........................................................4
1.1.5 Sifat Dalang...........................................................5
1.2 Larangan-larangan yang Patut dihindari
Dalang...................... ............................................. 5
1.3 Unsur – unsur Seni Pedalangan............................ 5
1.3.1 Seni Drama............................................................6
1.3.2 Seni Lukis atau Seni Rupa .................................... 6
1.3.3 Seni Tatah (Pahat) atau Seni Kriya ....................... 6
1.3.4 Seni Sastra ............................................................6
1.3.5 Seni Suara.............................................................7
1.3.6 Seni Tari ................................................................7
1.3.7 Seni Karawitan ......................................................7
1.3.8 Ragam Penyajian Seni Pedalangan...................... 8
1.4 Gaya Penyajian Seni Pedalangan......................... 9
BAB II SEJARAH WAYANG DAN JENIS DALAM SENI
PEWAYANGAN.......................................... .......... 12
2.1 Pewayangan..........................................................12
2.2 Sejarah Seni Pewayangan .................................... 12
2.3 Jenis wayang.........................................................16
2.3.1 Wayang Beber.......................................................17
2.3.2 Wayang Purwa ......................................................17
2.3.2.1 Wayang Rontal ......................................................18
2.3.2.2 Wayang Kertas ......................................................29
2.3.2.3 Wayang Beber Purwa............................................ 29
2.3.2.4 Wayang Demak.....................................................29
2.3.2.5 Wayang Keling ......................................................29
2.3.2.6 Wayang Jengglong................................................20
vi
2.3.2.7 Wayang Kidang Kencana ...................................... 20
2.3.2.8 Wayang Purwa Gedog.......................................... 21
2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Cirebon................................. 21
2.3.2.10 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur........................... 23
2.3.2.11 Wayang Golek .......................................................27
2.3.2.12 Wayang Krucil ......................................................30
2.3.2.13 Wayang Sabrangan...............................................31
2.3.2.14 Wayang Rama.......................................................31
2.3.2.15 Wayang Kaper.......................................................32
2.3.2.16 Wayang Tasripin....................................................32
2.3.2.17 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun ......... 32
2.3.2.18 Wayang Ukur.........................................................34
2.3.2.19 Wayang Dolanan atau (Mainan)............................ 35
2.3.2.20 Wayang Batu atau Wayang Candi ........................ 36
2.3.2.21 Wayang Sandosa ..................................................37
2.3.2.22 Wayang Wong (Orang........................................... 38
2.3.3 Wayang Madya......................................................38
2.3.4 Wayang Gedog......................................................41
2.3.4.1 Wayang Klithik.......................................................42
2.3.4.2 Langendriyan.........................................................43
2.3.5 Wayang Menak......................................................47
2.3.6 Wayang Babad......................................................48
2.3.6.1 Wayang Kuluk .......................................................48
2.3.6.2 Wayang Dupara.....................................................48
2.3.6.3 Wayang Jawa........................................................49
2.3.7 Wayang Moderen ..................................................50
2.3.7.1 Wayang Wahana...................................................50
2.3.7.2 Wayang Kancil.......................................................51
2.3.7.3 Wayang Wahyu .....................................................51
2.3.7.4 Wayang Dobel .......................................................52
2.3.7.5 Wayang Pancasila.................................................52
2.3.7.6 Wayang Sejati .......................................................54
2.3.7.7 Wayang Budha......................................................54
2.3.7.8 Wayang Jemblung.................................................54
2.3.7.9 Wayang Sadat .......................................................54
2.3.8 Wayang Topeng ....................................................56
2.3.8.1 Topeng Malang......................................................56
2.3.8.2 Topeng Dalang Madura......................................... 57
2.3.8.3 Topeng Jawa.........................................................57
2.3.8.4 Wayang Wong.......................................................58
2.3.8.5 Topeng Cirebon.....................................................58
2.3.8.6 Topeng Betawi.......................................................58
2.4 Keindahan Wayang ...............................................59
2.4.1 Wujud Wayang ......................................................59
2.4.2 Wanda Wayang.....................................................60
2.4.3 Busana Wayang ...................................................62
vii
2.4.3.1 Busana Bagian Atas hingga Pinggang .................. 62
2.4.3.2 Busana Bagian Bawah .......................................... 80
2.5 Wayang Kayon ......................................................84
2.5.1 Bentuk Kayon ........................................................86
2.5.1.1 Bentuk Segitiga .....................................................86
2.5.1.2 Bentuk Segiempat .................................................87
2.5.2 Fungsi Kayon.........................................................91
BAB III SASTRA PEDALANGAN ..................................... 92
3.1 Sastra Pedalangan................................................92
3.2 Suluk Wayang .......................................................93
3.2.1 Mijil ........................................................................105
3.2.2 Suluk Wujil.............................................................108
3.2.3 Suluk Malang Semirang ....................................... 110
3.3 Sastra Lakon......................................................... 112
3.3.1 Tantu Panggelaran ................................................112
3.3.2 Tantri Kamandaka .................................................113
3.3.3 Kunjarakarna .........................................................115
3.3.4 Kitab Utara Kandha ............................................... 116
3.3.5 KorawaƧrama ........................................................116
3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru)........................ 117
3.3.7 Sena Gelung..........................................................118
3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin .................................... 121
3.3.8.1 Kresnayana ...........................................................121
3.3.8.2 Gathutkaca Sraya..................................................121
3.3.8.3 Harjuna Wiwaha ....................................................122
3.3.8.4 Smaradahana........................................................122
3.3.8.5 Bomakwya.............................................................123
3.3.8.6 Sutasoma ..............................................................124
3.3.8.7 Parthayadnya ........................................................125
3.4 Sastra Gending......................................................126
3.4.1 Cakepan ................................................................126
3.4.2 Bawa/Buka ............................................................127
3.4.3 Jineman.................................................................127
3.4.4 Umpak ...................................................................127
3.4.5 Senggakan ............................................................127
3.4.6 Gerong...................................................................128
3.4.7 Sindenan ...............................................................129
3.4.8 Irama .....................................................................130
3.4.9 Cengkok ................................................................130
3.4.10 Merong ..................................................................130
3.4.11 Pedhotan ...............................................................130
3.5 Sastra Antawacana ...............................................131
3.5.1 Janturan.................................................................131
3.5.2 Ginem....................................................................135
3.5.3 Pocapan ................................................................138
viii
BAB IV SILSILAH TOKOH WAYANG .............................. 143
4.1 Definisi Silsilah ......................................................143
4.1.1 Maksud Adanya Silsilah ........................................ 143
4.1.2 Penampilan Silsilah ...............................................145
4.2 Silsilah Bharata......................................................146
4.2.1 Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa........... 148
4.2.2 Silsilah Ramayana.................................................151
4.2.3 Silsilah Raja-raja Lokapala .................................... 154
4.2.4 Silsilah Raja-raja Alengka...................................... 157
4.2.5 Silsilah Raja-raja Mahespati .................................. 159
4.2.6 Silsilah Raja-raja Wiratha ...................................... 163
4.2.7 Silsilah Abiyasa .....................................................167
4.2.8 Silsilah Mandura ....................................................168
4.2.9 Silsilah Para Dewa ................................................ 172
4.2.10 Silsilah Resaseputra..............................................175
BAB V SUMBER CERITA................................................. 176
5.1 Sumber Cerita .......................................................176
5.1.1 Cerita Ramayana...................................................178
5.1.2 Cerita Mahabharata...............................................181
5.1.3 Sumber Sastra Lain............................................... 188
5.1.3.1 Kitab Menak...........................................................189
5.1.3.2 Kitab Manikmaya ...................................................189
5.1.3.3 Kitab Sudamala .....................................................192
5.2 Lakon.....................................................................193
5.2.1 Tipe Lakon.............................................................193
5.2.2 Pemeran Lakon .....................................................194
5.2.3 Peran.....................................................................195
5.2.4 Jenis-Jenis Peran Wayang....................................203
5.2.4.1 Gagahan................................................................203
5.2.4.2 Alusan....................................................................204
5.2.5 Penokohan ............................................................205
5.2.6 Karakter.................................................................205
5.2.7 Rasaksa.................................................................206
5.3 Cerita Pernikahan..................................................209
5.3.1 Kerangka Cerita Angkawijaya Krama.................... 209
5.3.2 Cerita Kelahiran.....................................................216
5.3.2.1 Angkawijaya Lahir .................................................216
5.3.2.2 Wisanggeni Lahir...................................................217
5.3.2.3 Sena Bungkus .......................................................217
5.3.3 Rebut Negara ........................................................219
5.3.4 Cerita Wahyu.........................................................220
5.3.4.1 Wahyu Cakraningkrat ............................................221
5.3.4.2 Wahyu Purbasejati ................................................226
5.3.4.3 Wahyu Makutharama ............................................227
5.3.4.4 Wahyu Senapati ....................................................229
ix
5.3.5 Ruwatan ................................................................230
5.3.5.1 Juru Ruwat ............................................................231
5.3.5.2 Janma Sukerta ......................................................232
5.3.5.3 Cerita Ruwatan......................................................233
5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan .........................................236
5.4 Sumber Cerita Wayang Jawa Timuran.................. 239
5.4.1 Dasamuka Lahir ....................................................240
5.4.2 Berdirinya Kerajaan Mahespati ............................. 251
5.4.3 Lakon Icir Kraton ................................................... 256
5.4.4 Dewabrata lahir .....................................................262
BAB VI SABET WAYANG................................................. 268
6.1 Sabet.....................................................................268
6.2 Tancepan...............................................................268
6.3 Cepengan..............................................................270
6.3.1 Pedoman Cepengan..............................................270
6.3.2 Cepengan Nyempurit.............................................271
6.3.3 Cepengan Sedeng.................................................271
6.3.4 Cepengan Ngepok.................................................271
6.3.5 Cepengen Njagal...................................................272
6.4 Bedholan dan Solah Wayang ................................ 274
6.5 Ragam Gerak ........................................................274
6.5.1 Ragam Gerak Manusia..........................................274
6.5.2 Ragam Gerak Raksasa .........................................275
6.5.3 Ragam Gerak Wanara...........................................275
6.5.4 Ragam Gerak Bermacam Binatang....................... 275
6.5.5 Ragam Gerak Kayon.............................................276
6.5.5.1 Ragam Beksan Kayon Sepisanan......................... 276
6.5.5.2 Ragam Gerak Ajar Kayon...................................... 278
6.6 Ragam Gerak Wayang Jawatimuran dalam Jejer
Pertama ................................................................. 278
6.6.1 Ragam Gerak Beksan Emban Sepisanan............. 278
6.6.2 Ragam Gerak Wayang Beksan Punggawa ........... 278
6.7 Ragam Gerak Wayang Perang Jawatimuran ........ 279
6.7.1 Perang Gagahan ...................................................279
6.7.2 Perang Alusan .......................................................279
6.7.3 Ragam Gerak Samberan.......................................280
BAB VII TATA PANGGUNG............................................... 284
7.1 Tata Panggung......................................................284
7.1.1 Panggung Wayang................................................284
7.1.1.1 Kelir .......................................................................284
7.1.1.2 Gawang .................................................................285
7.1.1.3 Gedebog................................................................286
7.1.1.4 Bagian-bagian gedebog wayang ...........................286
7.1.2 Panggung Dalang..................................................288
x
7.1.2.1 Kotak .....................................................................288
7.1.2.2 Belencong..............................................................289
7.1.2.3 Keprak ...................................................................289
7.1.2.4 Cempala ................................................................291
7.1.2.5 Eblek......................................................................292
7.1.3 Panggung Gamelan...............................................293
BAB VIII TATA IRINGAN..................................................... 299
8.1. Pengertian Dan Fungsi Iringan Pedalangan.......... 299
8.2. Garap Gending Dan Unsur-Unsurnya ................... 299
8.2.1. Patet ......................................................................299
8.2.2. Irama .....................................................................300
8.2.3. Laras .....................................................................301
8.2.4. Harmoni.................................................................302
8.3. Nama Instrumen Dan Fungsinya........................... 302
8.3.1. Rebab....................................................................302
8.3.2. Kendang ................................................................303
8.3.3. Gender...................................................................304
8.3.4. Bonang ..................................................................305
8.3.5. Slentem .................................................................306
8.3.6. Demung.................................................................307
8.3.7. Saron.....................................................................308
8.3.8. Saron Penerus (Peking) ........................................ 308
8.3.9. Ketuk Dan Kenong ................................................ 309
8.3.10. Kempul Dan Gong ................................................. 310
8.3.11. Gambang...............................................................310
8.3.12. Siter .......................................................................315
8.3.13. Suling.....................................................................315
8.4. Iringan Pedalangan ..............................................315
8.4.1. Patetan ..................................................................315
8.4.2. Gending Pembuka (Wiwitan/Patalon).................... 312
8.4.3. Gending Jejer (Adegan Panggungan) ................... 313
8.4.4. Pelungan Atau Drojogan ....................................... 313
8.4.5. Gending Tamu.......................................................314
8.4.6. Bedhol Panggung – Sanggar Pamujan ................. 314
8.4.7. Ajar Kayon – Budhalan.......................................... 315
8.4.8. Perang Gagahan Atau Dugangan ......................... 315
8.4.9. Undur-Unduran Minta Sraya.................................. 315
8.4.10. Jejer Pathet Wolu – Gara-Gara ............................. 316
8.4.11. Gending Perang (Buto Begal) ............................... 317
8.4.12. Jejer Pathet Sanga – Pertapan............................. 317
8.4.13. Adegan Candhakan...............................................317
8.4.14. Brubuhan...............................................................317
8.4.15. Gending Pamungkas.............................................318
8.5. Gadhingan.............................................................318
8.5.1. Pengertian Dan Fungsi Gadhingan ....................... 318
xi
8.5.2. Jenis Gadhingan Dan Penggunaannya................. 319
8.5.2.1. Gadhingan Ajar Kayon .......................................... 319
8.5.2.2. Gadhingan Abur-Aburan........................................319
8.5.2.3. Gadhingan Wayang Nesu ..................................... 320
8.5.2.4. Gadhingan Wayang Tantang-Tantangan .............. 320
8.5.2.5. Gadhingan Wayang Matak Aji ............................... 321
8.5.2.6. Gadhingan Serang ................................................321
8.6. Bendhengan Dan Sulukan Atau Sendhon............. 322
8.7. Notasi Gending......................................................322
8.7.1. Gending Ayak Talu Slendro Patet Sepuluh ........... 322
8.7.2. Gending Jejer Slendro Patet Sepuluh ................... 324
8.7.3. Gending Gedhog Tamu Slendro Patet Wolu ......... 325
8.7.4. Gending Bedhol Panggung ................................... 326
8.7.4.1. Untuk Suasana Normal Atau Lazim ...................... 326
8.7.4.2. Untuk Suasana Sedih Atau Nglangut .................... 326
8.7.5. Ajar Kayon – Budhalan.......................................... 327
8.7.6. Perang Aap-Alapan ...............................................327
8.7.7. Perang Krucilan .....................................................328
BAB IX NASKAH ............................................................... 329
9.1 Pakeliran Padat .....................................................329
9.2 Pakeliran seamalam-Suntuk..................................330
9.3 Skenario ................................................................330
9.3.1 Pathet Nem............................................................331
9.3.2 Pathet Sanga.........................................................332
9.3.3 Pathet Manyura .....................................................332
9.4 Naskah Pertunjukkan Wayang Semalam Suntuk gaya
Jawatimuran dalam cerita Resa Seputra............... 334
PENUTUP ............................................................................... 418
LAMPIRAN A DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN B DAFTAR NAMA-NAMA KURAWA
xvii
ABSTRAK
Pedalangan merupakan salah satu rumpun Seni Pertunjukan
yang “Multi Kompleks”, karena dalam Pedalangan memuat berbagai
persoalan yang terkait dengan berbagai macam aspek cabang seni
lain seperti: seni tari, sastra, tatah sungging, seni rupa, seni suara,
seni karawitan, seni tata panggung dan filsafat.
Persoalan Pedalangan juga terkait dengan aspek-aspek pemahaman
pengertian dalang, sifat dalang, modal menjadi seorang
dalang, klasifikasi dalang, fungsi dan gaya dalam pedalangan seperti
termuat dalam Bab I
Adapun aspek yang terkait dengan Pewayangan meliputi: sejarah
wayang, jenis wayang, wanda wayang, busana wayang, dan
bentuk wayang, bisa dibaca dalam Bab II.
Persoalan yang terkait dengan sastra pedalangan seperti
sastra suluk, sastra lakon, sastra bentuk kakawin, sastra gending
dan sastra anta wacana ada dalam Bab III.
Selanjutnya Silsilah Wayang seperti: Silsilah Mahabarata didalamnya
memuat silsilah Wiratha, Pandawa, Kurawa, dan Abiyasa.
Silsilah Ramayana memuat silsilah Lokapala, Ayodya, Ngalengkadiraja.
Silsilah Maespati, silsilah Shinta, dan Resa Seputra untuk pedalangan
Jawatimur termut dalam Bab IV
Sumber Cerita seperti Mahabarata, Ramayana, Lakon Wayang,
Sumber Cerita Menak, Tipe Lakon dan Lakon Ruwatan, ada
dalam Bab V.
Aspek yang terkait dengan masalah Cepengan Wayang, Teknik
Menggerakkan Wayang, Tancepan Wayang dan Cara menyimping
wayang termuat dalam Bab VI yakni masalah “Sabet” .
Unsur-unsur pedalangan yang terkait persoalan Tata Panggung
seperti : Kelir, Blencong, Gedebog, Gawang, Kotak tempat menyimpan
wayang, Keprak dan Eblek ada dalam Bab VII.
Tata Iringan Pedalangan yang didalamnya berbicara masalah
persolan gending, penyajian gending, garap gending, dan intrumen
gamelan yang digunakan untuk mengiringi Pedalangan dibahas dalam
Bab VIII.
Bagian akhir buku ini akan dibicarakan persoalan yang berkaitan
dengan penulisan Naskah Pedalangan yang meliputi Naskah
Pakeliran Padat dan Naskah Pakeliran Semalam Suntuk.
1
BAB I
SENI PEDALANGAN
1.1 Pedalangan
Seni pedalangan bagi masyarakat jawa khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya, merupakan salah satu dari sekian
banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya.
Oleh sebab itu seni pedalangan disebut suatu kesenian tradisional
adi luhung yang artinya sangat indah dan mempunyai nilai yang
luhur. Seni pedalangan mengandung nilai hidup dan kehidupan luhur,
yang dalam setiap akhir cerita (lakon)-nya selalu memenangkan
kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu mengandung suatu
ajaran bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan
jahat akan selalu menerima kekalahannya, sebagai contoh
cerita Mahabharata dan Ramayana.
Telah banyak buku-buku yang ditulis oleh para ahli budaya
bangsa Indonesia maupun bangsa asing tentang seni pedalangan
dan bukan hanya menyangkut perihal yang ringan-ringan saja melainkan
tentang intisari dan falsafahnya. Ada di antaranya yang menyatakan
bahwa seni pedalangan itu tidak ada tolok bandinganya di
dunia ini. Pendapat lain juga menyatakan bahwa seni pedalangan
dengan keindahanya merupakan pencerminan kehalusan jiwa manusia
dan tidak hanya merupakan suatu pertunjukan permainan untuk
hiburan belaka.
Pedalangan adalah suatu kegiatan di mana titik permasalahannya
ialah terletak pada dalang yang dibantu oleh pengrawit,
swarawati atau pesinden, dan dengan kelengkapan sarana penyajian
pedalangan lainya.
1.1.1 Arti Istilah Dalang
Beberapa ahli berpendapat bahwa arti istilah dalang dalam
konteks banyak dalang adalah salah satu dari macam alat peralatan
tradisional keraton Jawa. Prof. Winter menerangkan tentang dalang
anteban ialah sebagai peneranganing laki-rabi atau tanda perkawinan
berupa emas.
Dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit karya Dr.
Seno Sastroamidjojo disebutkan bahwa kata dalang berasal dari kata
Wedha dan Wulang. Adapun yang dimaksud Wedha adalah kitab
suci agama Hindu yang memuat ajaran agama, peraturan hidup dan
kehidupan manusia di dalam masyarakat, terutama yang menuju ke
arah kesempurnaan hidup. Wulang berarti ajaran atau petuah, mulang
berarti mengajar. Istilah dalang adalah seorang ahli yang mem2
punyai kejujuran dan kewajiban memberi pelajaran wejangan, uraian
atau tafsiran tentang kitab suci Wedha beserta maknanya kepada
masyarakat.
Dalang juga berasal dari kata dalung atau disebut blencong,
yaitu alat penerang tradisional. Dengan adanya pendapat tersebut
fungsi dalang di masyarakat adalah sebagai juru penerang.
Dalang berasal dari kata Angudal Piwulang. Angudal artinya
menceritakan, membeberkan, mengucapkan dan menerangkan
seluruh isi hatinya. Piwulang artinya petuah atau nasehat. Dengan
pendapat tersebut maka dalang adalah seorang pendidik atau pembimbing
masyarakat atau guru masyarakat.
Istilah dalang berasal dari kata Talang artinya saluran air
pada atap. Jadi kata dalang disamakan dengan talang yang dapat diartikan
sebagai saluran air. Dalam hal ini, dalang dimaksud sebagai
penghubung atau penyalur antara dunia manusia dan dunia roh.
1.1.2 Peranan Dalang
Pada Prasasti Kawi (Kawi Oorkonde) yang disusun oleh.
Cohan Stuart, telah dibicarakan tentang juru banyol dan Haringgit
Banyol. Prasasti tersebut bertahun 762 Caka atau 840 Masehi. Keterangan
selanjutnya menurut Kern yang terdapat pada Prasasti
yang berangka tahun 782 Caka atau 860 Masehi menyebut-nyebut
istilah Bharata. Istilah itu berarti bahwa Juru Bharatalah yang
memimpin dan memainkan wayang.
Dalam Kepustakaan Jawa diterangkan oleh Kern dan RM
Ng. Purbacaraka adanya widu sebagai model dalang. Widu adalah
seorang yang pekerjaannya mengarang cerita dan pakaianya serba
putih. Pada buku Wayang Asal-usul Filsafat dan Masa Depannya,
karya Sri Mulyono menyebutkan bahwa dalang adalah Pandita.
Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin,
penyusun naskah, juru bicara, seorang produser, sutradara, dan juga
orang yang memainkan wayang.
Soedarsono telah mengutip pendapat G.A.J Hazeu bahwa
dalang adalah seorang seniman pengembara sebab bila ia sedang
mengadakan pementasan selalu berpindah-pindah tempat. Jelas
kiranya bahwa fungsi dalang adalah sebagai guru, juru penerang
dan juru hibur. Sedangkan pendidikan bidang spiritual (kerohanian)
harus mengandung unsur-unsur estetis, etis, edukatif, kreatif, konsultatif,
dan rekreatif.
Estetis, artinya garapan dalang harus memberikan kenikmatan
kepada penontonnya serta memupuk dan mencerminkan rasa
keindahan. Etis, artinya uraian dalang harus menjadi pupuk, pembinaan,
dan bimbingan kepada masyarakat dalam tata susila yang berlaku
dalam lingkungan hidup bermasyarakat. Edukatif, artinya dalang
harus ikut mendidik dan mengajak masyarakat untuk menciptakan
hal-hal yang baru tanpa mengubah keaslian seni pedalangan. Kre3
atif, artinya dalang harus membina dan mengajak masyarakat untuk
menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya dalang harus
memberi pengarahan dan penerangan kepada masyarakat yang masih
buta akan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya
dalang memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masyarakat.
1.1.3 Klasifikasi Dalang
Apabila di lihat secara seksama unsur-unsur di atas, jelas
tidak mungkin seluruhnya dimiliki oleh para dalang, tetapi mungkin
masing-masing dalang mempunyai keahlian yang berbeda-beda pula.
Berdasarkan kecenderungan di atas, dalang dapat dibagi dalam
pengelompokan yaitu Dalang Jati, Dalang Purba, Dalang Wasesa,
Dalang Guna, Dalang Wikalpa.
Dalang Jati adalah dalang yang menitik beratkan garapannya
kepada berbagai cerita yang dapat dipakai sebagai tauladan bagi
masyarakat. Dalang Purba adalah dalang sebagai penuntun dan
pemberi wejangan pada masyarakat tentang hidup dan kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat dengan menilai lakon-lakon yang digarapnya.
Dalang Wasesa adalah dalang yang dapat menguasai
dan mengenal medan yang diinginkan penonton dalam membawakan
lakonnya. Dalang Guna adalah seorang dalang yang mementingkan
jalinan ceritanya, yang sesuai dengan aturan seni pedalangan.
Dalang Wikalpa adalah dalang yang menyampaikan ilmu pengetahuan
tentang keduniawian, sedangkan ceritanya masih berpegang
teguh pada pakem pedalangan.
Berdasarkan ketrampilan dan kepandaiannya mendalang,
dalang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut
yaitu Dalang Utama, Dalang Madya, Dalang Purana.
Dalang Utama adalah dalang yang dalam pengalaman garapannya
sudah sampai pada puncak garapan dan serba dapat. Dalang
Madya adalah dalang yang berada dalam pertengahan kepandaian
garapan. Dalang Purana adalah dalang yang berada dalam tahap
belajar.
Dari tiga golongan yang besar tersebut dapat diperinci
menjadi lima golongan, yaitu Dalang Banyol, Dalang Sabet, Dalang
Antawacana, Dalang Suluk, Dalang Pakem.
Dalang Banyol adalah dalang yang berkepandaian lebih di
dalam membanyol atau mengkreasi lawakan para panakawan atau
pada tokoh-tokoh tertentu. Dalang Sabet adalah dalang yang pandai
memainkan wayang, menarikan wayang dan memerankan wayang
dengan gerakan-gerakan yang terampil dan cekatan sehingga seolah-
olah hidup. Dalang Antawacana adalah dalang yang pandai
bercerita, kaya perbendaraan kata termasuk penerapan suara tiap-tiap
wayang. Dalang Suluk adalah dalang yang pandai dalam membawakan
suluk atau kakawin lainya serta bersuara pleng (senada de4
ngan laras gamelan )seperti: sendhon, ada-ada atau bendhengan.
Dalang Pakem adalah dalang yang berpegang teguh pada cerita-cerita
pakem yang telah digariskan dalam buku pakem pedalangan.
1.1.4 Tugas Dalang
Tugas dalang yang dimaksud dalam uraian ini adalah tugas
dalam garapan pakeliran atau pergelaran wayang, baik dalang gaya
lama atau zaman sekarang. Berikut ini akan diuraikan pengertian-pengertian
istilah yang dapat dipergunakan sebagai pengetahuan dasar
yang lazim disebut sanguning dalang. Seorang dalang yang baik
dan pandai, mengerti dan terampil, berkewajiban menguasai renggep,
menguasai antawacana, enges, greget, regu, sem, tutug, banyol,
kawi radya, sabet, amardibasa, parama sastra, dodogan, keprakan,
awicarita, amardawalagu.
Dalang harus menguasai renggep, artinya harus mempunyai
rasa senang dalam mendalang dan tidak lelah atau tidak jenuh.
Dalang harus menguasai antawacana, artinya dalang harus dapat
memberi suara yang khas dan khusus kepada masing-masing boneka
wayang yang satu dengan yang lainnya. Enges (nges), artinya
garapan dalang harus dapat menimbulkan rasa haru atau pesona.
Greget, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana
yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain sebagainya. Regu,
artinya pelaksanaan pakeliran yang baik dan menarik tidak membosankan
sehingga terasa keluhuran seni pedalangan. Sem, artinya
pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa
romantis, sesuai dengan kebutuhan adegan. Tutug (selesai), artinya
percakapan dua wayang atau lebih dan atau cerita yang diucapkan
dalang dalam adegan tanpa ada wayangnya, harus lengkap dan tidak
diperpendek atau sebagian di hilangkan. Banyol, artinya percakapan
dan gerak wayang serta ucapan dalang dapat menjadikan penonton
tertawa. Kawi radya, artinya dalang pada permulaan garapannya
atau dalam menggarap adegan permulaan harus pandai menceritakan
maksud dan jalan cerita yang akan digarapnya, antara lain
dengan menggunakan kata-kata yang bersastra indah.
Dalang harus memiliki kemampuan sabet, artinya ia harus
mempunyai keterampilan dalam olah krida wayang, tidak ceroboh,
hidup dan memiliki teknik menggerakkan wayang. Paham akan parama
kawi, artinya dalang harus mengerti bahasa kawi dan kesusastraannya
sehingga ia akan dapat mengartikan kata-kata yang akan
diucapkannya. Amardibasa, artinya dalang harus mengerti dan mengetahui
bahasa pedalangan, misalnya bahasa dewa, raksasa, punakawan
dan lainya. Paham akan parama sastra, artinya dalang harus
mengerti tata bahasa dan harus banyak menyelami kesusastraan
untuk mengetahui urutan percakapan yang baik. Terampil, artinya
cekatan dalam hal meringkas dan memperpanjang cerita, gending,
ginem, suluk, dodogan, keprakan, dan lain sebagainya. Yang pokok
5
bahwa dalang harus dapat meringkaskan atau dapat memperpanjang
segala hal yang ada kaitannya dengan kebutuhan pakeliran.
Awicarita, artinya dalang harus paham benar akan semua cerita
yang sedang dilakonkan. Amardawalagu, artinya dalang harus mempunyai
pengalaman yang luas tentang karawitan dan gending, cara
menembang, dan suluk-sulukan yang khusus untuk suatu pertunjukan
wayang.
1.1.5 Sifat Dalang
Sifat dalang dibagi menjadi lima. Adapun lima sifat dalang
tersebut yaitu gendeng, gending, gendung, gendeng, gandang, dan
istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda.
Gendeng, artinya berjiwa sosial, berhati lapang, melindungi
untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan lahir batin. Gending,
artinya luwes dalam melayani keadaan yang macam-macam, berjiwa
momot, kamot, dan momong. Gendung, artinya memiliki rasa kepribadian
dan tanggung jawab. Gendeng, artinya tidak mudah terpengaruh
oleh keadaan, tidak ragu, dan jauh dari rasa rendah diri.
Gandang, artinya spontan, mapan, dan bersih dari prasangka yang
kurang baik.
1.2 Larangan-larangan yang Patut dihindari
Dalang
Larangan yang dimaksud adalah perilaku yang tidak boleh
dilakukan seorang dalang dalam menjalankan pakeliran. Larangan
tersebut di antaranya adalah mengubah pokok cerita serta mengubah
isi lakon, kebogelan, artinya kehabisan cerita atau selesai sebelum
waktunya, karahinan (kesiangan), artinya kelebihan banyak waktu,
contoh, matahari telah terbit namun cerita yang digarapnya belum
selesai, lamban dalam hal: bercerita, laras, sabet, dan waktu, dalang
meninggalkan panggung sebelum waktunya, nyala lampu blencong
tidak tetap, rongeh, artinya gelisah, duduk tidak tenang, selalu melihat
ke kiri dan ke kanan ke arah penonton, keluar dari garapan pedalangan
misalnya.
Yang dimaksud keluar dari garapan pedalangan yaitu, mengeluarkan
kata-kata asing diluar bahasa pedalangan, pratingkah artinya
tingkah laku asing bagi dunia pedalangan, menyindir tamu dengan
maksud ingin menjatuhkan harga diri tamu tersebut di depan
tamu lainnya.
1.3 Unsur – unsur Seni Pedalangan
Seni pedalangan merupakan suatu satu kesatuan yang seimbang
dan seirama, karena seni pedalangan paling sedikit mengandung
tujuh unsur seni yang ada. Adapun tujuh unsur seni terse6
but meliputi seni drama, seni lukis atau seni rupa, Seni tatah (pahat)
atau seni kriya, seni sastra, seni suara, seni tari, seni karawitan.
1.3.1 Seni Drama
Makna falsafah pada seni drama kita ketahui dan kita hayati
melalui setiap cerita atau lakon wayang yang bersifat klasik tradisional
antara lain dalam cerita Dewa Ruci dari epos Mahabharata,
yang mengisahkan Werkudara ketika berguru pada Begawan Drona
untuk mencari kesempurnaan hidup hingga sampai bertemu Dewa
Ruci, yaitu guru sejati bagi Werkudara. Gambaran ceritat tersebut
adalah bahwa kejiwaan manusia lebih luas dari pada dunia dengan
segala isinya.
Cerita Kumbakarna gugur dari epos Ramayana, yang mengisahkan
keberanian Kumbakarna dalam melawan bala tentara Rama.
Keberanian tersebut karena membela tanah airnya yaitu negeri
Alengka yang hampir hancur.
1.3.2 Seni Lukis atau Seni rupa
Seni lukis atau seni rupa yang dapat dilihat dari bentuk wayang,
serta sunggingan dan tata warnanya yang masing-masing warna
mewakili simbul kejiwaan tersendiri antara lain: bentuk wayang
menunjukkan karakter atau watak dari tokoh wayang tersebut dengan
sunggingan yang serasi, komposisi warna yang sempurna, sehingga
tidak mengacaukan pandangan pada keseluruhan wayang itu
sendiri serta dapat me-laras-kan jiwa bagi mereka yang melihatnya.
Tokoh Kresna dan Arjuna, untuk busana tidak akan disungging dengan
corak kawung atau parang rusak, karena tokoh-tokoh tersebut
merupakan gambaran tokoh yang adi luhung bagi seniman-seniman
pencipta wayang.
1.3.3 Seni Tatah (Pahat) atau Seni Kriya
Seni pahat atau seni kriya yang dapat dilihat dari wujud wayang
yang dibuat dari kulit kerbau atau sapi atau kayu melalui proses
yang sangat lama, memerlukan ketekunan, rumit tapi rapi. Dalam seni
pahat atau seni kriya tersebut terdapat beberapa jenis pahatan
dan tatahan, antara lain pahatan atau tatahan yang halus bentuknya
untuk karya seni, pahatan atau tatahan untuk wayang pedalangan
agar dalam pementasan dengan sinar lampu dapat nampak jelas
ukirannya dan selanjutnya pahatan atau tatahan kasar untuk komersial,
agar dalam perdagangan tidak terlalu tinggi harganya.
1.3.4 Seni Sastra
Seni sastra yang dapat didengar dari bahasa pedalangan
yang begitu indah dan menawan hati. Bahasa pedalangan untuk daerah
Jawa Tengah dan Jawa Timur pada umumnya digunakan baha7
sa menurut tata bahasa Jawa dengan menggunakan idiom kawi
yang menimbulkan rasa luhur dan angker, unggah-ungguh dalam
penggunaan bahasa, contoh ngoko, ngoko alus, tengahan, kromo,
kromo inggil, kedaton, kadewan, bagongan.
Bahasa ngoko atau basa ngoko adalah bahasa setingkat
panakawan, ngoko alus adalah bahasa orang tua terhadap orang
muda yang lebih tinggi martabatnnya, basa tengahan adalah bahasa
madya (tengah), basa kromo adalah bahasa halus, kromo inggil adalah
bahasa untuk orang bawahan terhadap atasan, basa kedatonan
atau bahasa kraton yaitu untuk raja dan bawahannya, basa kadewan
adalah bahasa khusus untuk para dewa, dan basa bagongan adalah
campuran bahasa kedaton dan kadewan.
1.3.5 Seni Suara
Bagi seorang dalang, seni suara dengan vokal yang mantap
merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pertunjukannya.
Sejak ia duduk memegang tangkai tangan wayang kulit
(cempurit atau tuding) dan tangkai pada badan wayang (gapit), di bawah
lampu minyak (blencong) hingga mengakhiri pergelaranya dengan
menancapkan gunungan (kayon) yang terakhir sebagai tanda
penutup. Ia harus dapat menguasai vokal dengan mantap, laras pada
nada atau irama gamelan dengan sempurna.
Perpaduan bunyi secara ngerangin antara suara sang dalang,
pesinden, wiraswara dan bunyi gamelan dengan alunan dan
irama lagu yang indah, adalah seni suara yang kita tangkap dalam
setiap pertunjukan wayang. Dialog pada setiap tokoh wayang yang
mempunyai karakter serta watak tertentu, volume suara akan berbeda
dengan tokoh lainnya dan akan selalu berpedoman pada laras
gamelan, contoh tokoh Werkudara cenderung berlaras rendah dan
besar (bas), dan tokoh-tokoh lainnya.
1.3.6 Seni tari
Tari adalah merupakan salah satu garapan kesenian yang
bermedium gerak. Di dalam garapan pakeliran unsur nilai seni tari
dapat dilihat dengan adanya penampilan sabet. Sabet ini di dalam
pakeliran merupakan perwujudan penggarapan dinamis. Penggarapan
medium gerak di dalam pedalangan selalu ada relevansinya dengan
iringan gending sebagai pendukung dan pembuat suasana, sehingga
menghasilkan gerak dan tarian wayang secara jelas dan dinamis.
1.3.7 Seni Karawitan
Seni karawitan dapat dinikmati dari lagu-lagunya yang etis
dan estetis. Seni karawitan merupakan pengiring yang harmonis, laras
dan anggun untuk lakon yang diperagakan ki dalang. Peranan
8
gamelan sangat penting dalam pakeliran atau dalam pergelaran wayang.
Karawitan iringan pedalangan sangat menunjang dalam pementasan
terutama untuk membedakan dialog wayang. Hal tersebut
karena keterbatasan ki dalang menirukan dialog serta cara berbicara
tiap tokoh wayang yang bermacam-macam, dan juga terbatasnya
wayang dalam akting atau sabetan serta terbatasnya adegan yang
dibuat dalam pergelaran tersebut. Selain itu tuntutan berbagai macam
suasana juga terdapat dalam iringan pakeliran tersebut.
Beberapa cara untuk menggambarkan suasana dari tiap
adegan dalam pertunjukan wayang Kulit Purwa Jawa Tengah ialah
pathet yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pathet Nem (6) antara
pukul 21.00 -24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan
pathet Manyura antara pukul 03.00 - 05.00. Bagaian awal merupakan
pembukaan (netral), bagian tengah merupakan isi atau permasalahan,
dan bagian akhir merupakan penutup atau penyelesaian.
Pertunjukan wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran memiliki
empat jenis pathet, yaitu: pathet Sepuluh (10) merupakan awal sebelum
pertunjukan dimulai atau yang lazim disebut ayak talu atau
ayak Sepuluh, yang digunakan hanya untuk gending-gending tertentu
yaitu khusus ayak Talu dan Gedog Tamu, pathet Wolu antara pukul
21.00 - 24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan
pathet Serang antara pukul 03.00 - 05.00. Setiap pathet dalam pertunjukan
wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran juga mempunyai
makna tersendiri dan tidak jauh berbeda dengan wayang kulit gaya
lainnya.
Pertunjukan wayang kulit Betawi hanya memiliki dua jenis
pathet, di antaranya adalah pathet kenceng: dilakukan sebelum tengah
malam, dan pathet kendor dilakukan menjelang akhir pertunjukan.
Cara lain untuk menggambarkan suasana adalah dengan sulukan,
janturan dan pocapan, gending, dodogan, keprakan.
Sulukan adalah nyanyian yang dulakukan dalang untuk menunjukan
suatu suasana tertentu. Yang termasuk dalam sulukan yaitu
ada-ada, sendon, bendhengan, kombangan.
Janturan atau pocapan disebut juga narasi artinya adalah
pengucapan cerita oleh ki dalang dengan suasana tertentu. Gending
adalah deretan nada-nada yang sudah tersusun alur melodi musikalnya.
Dodogan adalah suara ketukan pada kotak wayang. Sedangkan
alat pemukul kotak wayang disebut cempala. Keprakan yaitu suara
lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang di sisi kanan
agak depan. Keprak dibunyikan dengan cara mendorong telapak
kaki kanan sang dalang bagian depan.
1.4 Ragam Penyajian Seni Pedalangan
Ragam yang dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil
pantulan sinar lampu atau blencong yang dapat memberikan nafas
9
kehidupan dari setiap pelakunya. Kita dapat melihat berbagai macam
gaya, yang dalam seni pewayangan di sebut gaya sabetan, gaya
seni rupa wayang, gaya pergelaran atau pertunjukan.
Gaya sabetan ini menunjukan suatu kreativitas atau sanggit
sang dalang dalam memainkan boneka wayang agar bisa kelihatan
hidup. Sedangkan yang dimaksud gaya seni rupa wayang adalah
bentuk wayang yang berlainan ornamen serta tinggi-rendahnya wayang,
antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Jawatimuran,
gaya Banyumasan, gaya Cirebonan dan gaya Semarangan.
Gaya Pergelaran atau pertunjukan wayang kulit di setiap
daerah pasti akan berbeda, misalnya gaya wayang Kulit Purwa Jawa
Ngayogyakarta Hadiningrat-Yogyakarta, gaya (gagrag) Kasunanan-
Surakarta, gagrag Jawatimuran, gagrag Banyumasan, gagrag Cirebonan
dan gagrag Semarang atau gagrag pesisiran. Alur cerita di
setiap gaya masing-masing daerah juga berlainan, meskipun judul
ceritanya yang sama.
Dalang mempunyai posisi sentral, karena suatu lakon wayang
akan menjadi indah dan dapat mempesona penonton atau tidak,
tergantung pada ketrampilan dan kreativitas ki dalang dalam
membawakan sebuah ceritanya. Seorang dalang yang sanggit,
adalah mampu menangkap selera penonton dan mengetahui terhadap
suasana penonton. Walaupun dalam cerita yang sama akan
tetapi pada saat pergelaran harus berbeda. Hal tersebut dilakukan
supaya petunjukkan tidak monoton, dengan harapan agar penonton
tidak bosan. Sedangkan penampilannya harus berbeda pula disertai
tanggap dan peka terhadap situasi serta kondisi masyarakat sekitar
dimana wayang itu dipergelarkan.
1.5 Gaya Penyajian Seni Pedalangan
Gaya pergelaran pada wayang Kulit Purwa Jawa yang lazim
di sebut gagrag sangat beraneka ragam bentuk penyajiannya,
diantaranya adalah bentuk wayangnya, iringannya, dialek (ulon),
lengkungan vokal (cengkok lagon), ragam gerak wayang, dan lain-lainnya.
Salah satu contoh adalah pedalangan gagrag Jawatimuran
atau wayang Jek Dong.
Wayang kulit Jawatimuran adalah salah satu dari sekian
ciri-ciri wayang yang ada di Indonesia. Wayang kulit Jawatimuran
berkembang di daerah-daerah pinggiran karena sering pentas di daerah
pedesaan, apabila dibandingkan di perkotaan, sehingga wayang
kulit Jawatimuran sering disebut sebagai kesenian rakyat.
Perkembanganya hanya ada pada daerah-daerah tertentu
di wilayah Jawa Timur, di antaranya kabupaten Sidoarjo, Pasuruan,
Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan dan Surabaya. Dari
sekian daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran, maka muncullah
istilah gagrag atau gaya dari masing-masing daerah ter-sebut,
10
contoh wayang kulit gagrag Porongan, gagrag Malangan, gagrag
Mojokertoan atau Trowulanan, gagrag Lamongan, dan gagrag Surabayan.
Sebutan dari masing-masing gaya tersebut di atas hingga
sekarang masih melekat di hati para penggemar seni tradisi wayang
kulit Jawatimuran. Karena belum adanya buku tuntunan pedalangan
Jawatimuran sehingga sebagai patron atau pakem adalah Empu dari
masing-masing gaya tersebut, contoh gaya Porongan (Ki Soleman),
gaya Mojokertoan (Ki Pit Asmoro), gaya Lamongan (Ki Subroto),
gaya Surabayan (Ki Haji Suwoto Ghozali Almarhum dan Ki Utomo
Almarhum).
Untuk mengawali pertunjukan atau sebelum dalang naik di
pentas, terlebih dahulu ditampilkan sebuah tarian yang disebut tari
Remo dengan dua gaya yaitu gaya putri, dan gaya putra. Hal tersebut
dilakukan dengan harapan mampu menarik perhatian para penonton
sekaligus sebagai tari pembuka salam atau penyambutan.
Pertunjukan wayang kulit Jawatimuran selalu diawali dengan
tari remo, sehingga pertunjukan wayang dilaksanakan setelah
tari remo. Pertunjukan tari remo dengan menampilkan dua gaya tersebut
diperkirakan memakan waktu + satu setengah jam, dimulai
jam 21.00. Pertunjukan wayang kulit dimulai + jam 22.30 – 23.00.
Pelaksanaan pakeliran seperti tersebut diatas sudah merupakan tradisi
pakeliran Jawatimuran dimanapun.
Nama tokoh dan nama sebuah tempat dalam pewayangan
sebagian ada yang berbeda, bahkan tidak dimiliki oleh gaya pakeliran
lain, contoh nama masa muda Prabu Arjuna Sasra Bahu adalah
Raden Nalendradipa, nama masa kecil Anoman adalah Raden Anjila
Kencana, dan masih banyak yang lainya. Sedangkan untuk perbedaan
nama tempat tinggal adalah, contoh pertapan Begawan Gundawijaya
atau (Begawan Bagaspati dalam pedalangan Surakarta) adalah
di Guwa Warawinangun, dan lain sebagainya. Pakeliran gaya Jawatimuran
kaya akan berbagai sanggit cerita dan dalam sajian pertunjukan
masih banyak yang menggunakan cerita pakem (Wet), dari pada
cerita karangan (carangan). Sumber cerita yang dipergelarkan adalah
epos Ramayana dan Mahabharata.
Cerita baku atau wet adalah cerita yang diperoleh dari Empu
masing-masing, dan secara turun-temurun dengan cara berguru
ke ahlinya (nyantrik). Perbedaan yang lain terletak pada bentuk simpingan
atau sampiran wayang. Sampiran adalah wayang yang ditata
berjajar dan berderet diselah kanan dan kiri tempat duduk sang dalang.
Apabila di amati akan terlihat jelas ada dua tokoh wayang yaitu
Semar dan Bagong yang telah ditancapkan di layar bagain tengah
dan ditutup oleh dua gunungan. Di simpingan sebelah kanan tengah
dipasang tokoh Betara Guru agak ke atas menghadap ke kiri dan di
simpingan sebelah kiri tengah di pasang tokoh Batari Durga menghadap
ke kanan.
11
Instrumen saron satu dan saron dua juga berpengaruh pada
setiap adegan yang dimainkan, dengan menampilkan bermacammacam
kembangan saron yang sesuai dengan suasana dalam adegan
tersebut. Bentuk penonjolan instrumen lain terlatak pada kendang,
karena kendang Jawatimuran cenderung berbunyi nyaring terutama
bagian sisi kendang yang ukurannya lebih kecil (kempyang)
mengacu pada nada satu (siji). Bentuk kendang berukuran besar
panjang serta berat.
Ciri khas lainnya terdapat pada beberapa tokoh wayang
yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombinasi
dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat
pada tokoh wayang Bima da Gathotkaca, yang di Jawa Tengah berwajah
hitam, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh
dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti
melambangkan watak keangkara murkaan namun melambangkan
watak pemberani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang
Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter (wanda)
yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang
kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana
atau Pragota.
Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum mengalami
perubahan bentuk (deformasi) yaitu pada saat diperlihatkan
oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung
Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan
perkelahian Bima melawan Raksasa dengan menunjukan angka tahun1361
Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan
Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447)
12
BAB II
SEJARAH WAYANG DAN JENIS DALAM
SENI PEWAYANGAN
2.1 Pewayangan
Seni pewayangan adalah sesuatu yang menyangkut wayang,
termasuk pembinaan, penghayatan, pendukung, kritik dan pengetahuan
mengenai wayang. Pengertian pewayangan lebih luas
jangkauannya karena sudah melibatkan unsur-unsur pendukung wayang
tersebut.
2.2 Sejarah Seni Pewayangan
Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional
yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti
Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa
pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah;
Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat
dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and
Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431).
Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa
Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan,
yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi
di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat
serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda perayaan
menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan
bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (ton-tonan) disakilan.
Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan
(macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai
Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting
(mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukan
Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan
Bhimaya Kumara.
Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa
pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana
dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara
mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi
telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wa13
yang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan,
karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada
yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan
karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan
banyak istilah bahasa Jawa.
Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis
van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda)
berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli
Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak
menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak,
wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya
akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah
mburi, gandhok sen-thong dan ruangan untuk pertujukan ringgit
(pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang
Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran
wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche
Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang
di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang
di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India
pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan
wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers,
yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa
yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang
merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis
buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India,
bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche
Brauche und Spiele in Europa – Prof G. Schlegel menulis, bahwa
dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum
Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian
pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa
ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale
Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan
kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying
(Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan
wayang dalam bahasa Jawa.
Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa
wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan
apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan
cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang
kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan
Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the
shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 19-
69), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan
bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari
14
India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba
untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan
terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh
cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata
dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat
sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia
Tenggara.
Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut
Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang
Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan
yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa.
Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia
ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa)
dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama
para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu
membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha
besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit.
Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam
bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau
Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin
tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan
Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu
Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan
Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita
tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi
sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan
dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam
mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena
cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit
umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana.
Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal
dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan
Epos Ramayana karangan Valmiki.
15
Timur Tengah
Karagheouz
Indonesia
Wayang Kulit Purwa
Malaysia
Wayang Siam
Malaysia
Wayang Jawa
Peta Penyebaran Cerita Wayang dari Cina
(Lihat: buku Traditional Drama And Music of Southeast Asia – Edited
by M.Taib Osman, Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur. Th. 1974 )
Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat
di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan
sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita
yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi
dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan
cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan
wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk
keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka
dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-istiadat
setempat.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di
Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa,
antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah
Thailand
Nang Yai dan
Nang Talon
Cambodia
Nang Sbek dan
Nang Kaloun
Cina
India
16
pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya
pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin
Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam
abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian
tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan
di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya.
Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan
untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat,
tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang
keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita langsung
dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan
apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah
untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan
itu sendiri merupakan suatu upacara.
Gambar 1.1 wayang Cina, Muangthai, Kamboja
2.3 Jenis Wayang
Dapat kita temukan wujud bentuk wayang sejak dahulu, yaitu
adanya wayang Rumput atau wayang Lontar (daun TAl) dan lain
sebagainya. Jenis wayang tersebut dapat dilihat di Musium Wayang
di Jakarta. Berbagai bentuk dan ragam wayang di Indonesia, di antaranya,
yaitu:
a. Wayang Cina b. Wayang Muang Thai c. Wayang Kamboja
17
2.3.1 Wayang Beber
Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang paling tua usianya
dan berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya
wayang Beber melukiskan cerita-cerita wayang dari kitab Mahabharata,
tetapi kemudian beralih dengan cerita-cerita Panji yang
berasal dari kerajaan Jenggala pada abad ke-XI dan mencapai jayanya
pada zaman Majapahit sekitar abad ke-XIV hingga XV. Wayang
ini populeritasnya memudar sejak zaman kerajaan Mataram, sehingga
makin langka dan kini diancam kepunahanya. Wayang tersebut
masih dapat kita jumpai dan sesekali dapat dipergelarkan. Pada pergelaran
yang pernah dilangsungkan pada awal tahun 1983 di Surabaya
digunakan wayang Beber dari desa Karangtalun Kelurahan Gedompol
Kecamatan Donorejo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Wayang
Beber ini dikenal dengan nama Wayang Beber Pacitan.
Wayang Beber Pacitan melukiskan cerita Panji Asmara Bangun
dengan Dewi Sekartaji yang berjumlah 6 gulungan dengan setiap
gulungan memuat 4 adegan. Jadi jumlah keseluruhan menjadi
24 adegan, tetapi adegan yang ke 24 tidak boleh dibuka, yang menurut
kepercayaan pantangan untuk dilanggar. Sebagai salah satu
warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah berusia sangat
tua itu dan diakui sebagai hasil karya seni agung yang tiada duanya,
maka Wayang Beber Pacitan ini perlu dilestarikan. Wayang Beber
tersebut dicipta sesudah pemerintahan Amangkurat II (1677-1678)
dan sebelum pemerintahan Amangkurat III (1703-1704) di Kartasura.
Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa Wayang Beber Pacitan
tersebut diterima oleh dalang Nolodermo dari kraton Majapahit sebagai
hadiah atas jasanya setelah ia menyembuhkan putri raja.
Cerita awal dari Wayang Beber ini adalah mengisahkan
tentang Panji Asmara Bangun telah menyamar menjadi Panji Joko
Kembang Kuning guna mengikuti sayembara menemukan Dewi Sekartaji,
hingga sepasang pengantin bahagia bersanding di pelaminan
yaitu Raden Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Cerita tersebut
konon merupakan cerita sindiran tentang kerusakan kerajaan
Mataram sampai berpindahnya pemerintahan ke Kartasura, yang disungging
indah sekali dan dibuat pada tahun 1614 Caka dengan
sengkalan: gawe srabi jinambah ing wong.
2.3.2 Wayang Purwa
Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan
ceritanya bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata.
Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wayang
wong (orang).
Pendapat para ahli, istilah purwa tersebut berasal dari kata
parwa yang berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata.
Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa
sering diartikan pula purba artinya zaman dulu.
18
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa
diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman
dahulu. Pada wayang jenis ini banyak kita jumpai beberapa ragam,
sejarah, asal mulanya antara lain:
Gambar 1.2 Wayang Beber Pacitan
(Adegan dalam cerita Joko Kembang Kuning)
2.3.2.1 Wayang Rontal (939)
Prabu Jayabaya dari kerajaan Majapahit, yang gemar sekali
akan wayang, membuat gambar-gambar dan cerita-cerita wayang
pada daun tal dalam tahun 939 Masehi (861 Caka dengan sengkalan:
gambaring wayang wolu). Wayang tersebut dinamakan wayang
Rontal (rontal yaitu daun tal dari pohon Lontar: Bali, Jakarta; Siwalan:
Jawa)
19
2.3.2.1.1 Wayang Kertas (1244)
Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu terlalu
kecil untuk dipertunjukan, maka Raden Kudalaleyan atau yang
disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran memperbesar gambar
wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 (1166 Caka, dengan
sengkalan: hyang gono rupaning jalmo).
2.3.2.2 Wayang Beber Purwa (1361)
Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang
Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 (1283 Caka, dengan
sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa). Pendapat tersebut
tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389
yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila
Prabu Bratono adalah juga Prabu Hayam Wuruk. Wayang Beber
Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-cerita
purwa (Ramayana atau Mahabharata).
2.3.2.3 Wayang Demak (1478)
Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman
muka seperti gambar manusia, sedangkan hal itu sangat bertentangan
dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak menyetujuinya.
Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai
menyamai, setidak-tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal tersebut
di dalam ajaran Islam adalah dosa besar. Akhirnya wayang Beber
kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyaplah
wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian
para Wali menciptakan wayang purwa dari kulit yang ditatah dan disungging
bersumber pada wayang zaman Prabu Jayabaya. Bentuk
wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya,
tangan-tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher,
hidung, pundak dan mata diperpanjang supaya menjauhi bentuk manusia.
Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pada
bentuk wayang purwa tadi. Hal ini dilakukan pada tahun 1518
(1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa). Dan pada
tahun 1511 (1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming
wong), semua wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke Demak,
setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Dari uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa seperti
yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil
ciptaan para Wali Sembilan (Wali Sanga) dalam abad ke-XVI.
2.3.2.4 Wayang Keling (1518)
Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di
daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya
wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa,
menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Masa per20
golakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh
mempertahankan agama Hindu-Budha-nya lari berpencar ke daerahdaerah
lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan
seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru.
Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip
wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada gelung
cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacananya
memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik
dalam pagelaran wayang Keling tersebut ialah bahwa tokoh Wisanggeni
dan Wrekodara bisa bertata krama dengan menggunakan bahasa
halus (Kromo Inggil).
Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua penulis
R. Suroyo Prawiro dan Bambang Adiwahyu, semula bermaksud
mengenang nenek moyang mereka yang datang dari Hindustan masuk
ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai kenang-
kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang disebut
kerajaan Kalingga.
Wayang Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa.
Silsilah wayang tersebut rupanya paling lengkap sejak zaman Nabi
Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja Surakarta
(Th. 1788 – 1820). Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, mengingat
tidak adanya buku-buku atau catatan-catatan resmi yang
menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah keturunan Nabi
Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula sebagai
Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari
kitab Weda ataupun Tri Pitaka dalam usaha melestarikan agama
Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk juga sebagai
pengembang faham Jawa (Kejawen) di daerah Pekalongan
dan sekitarnya.
2.3.2.5 Wayang Jengglong
Selain wayang Keling, di Pekalongan masih terdapat pula
pedalangan wayang Purwa khas Pekalongan yang disebut wayang
Jengglong. Pergelaran wayang Jengglong menggunakan wayang
purwa wanda khas Pekalongan dengan iringan gamelan laras Pelog.
Sumber cerita pada umumnya diambil dari buku Pustaka Raja Purwa
Wedhoatmoko.
2.3.2.6 Wayang Kidang Kencana (1556)
Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri yang
tidak jelas dimana letak kerajaannya pada tahun 1556 (1478 Caka,
dengan sengkalan: salira dwija dadi raja). Wayang Kidang Kencana
berukuran lebih kecil dari pada wayang purwa biasa. Tokoh-tokoh diambil
dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalang-dalang wanita
serta dalang anak-anak pada umumnya memakai wayang-wayang
21
tersebut untuk pergelaranya, karena wayang Kidang Kencana tidak
terlalu berat dibanding dengan wayang pedalangan biasa.
2.3.2.7 Wayang Purwa Gedog (1583)
Raden Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya
(1546 – 1586) dari kerajaan Pajang membuat Wayang Purwa
Gedog pada tahun 1583 (1505 Caka, dengan sengkalan: panca boma
marga tunggal). Sangat disayangkan budayawan-budayawan Indonesia
tidak menjelaskan bagaimana bentuk tokoh-tokoh wayang
serta cerita untuk pergelaran wayang tersebut.
2.3.2.8 Wayang Kulit Purwa Cirebon
Perkembangan seni pewayangan di Jawa Barat, terutama
bentuk wayang kulitnya, berasal dari wayang kulit Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Hal itu terbukti dari bentuk wayang purwa Cirebon yang
kini hampir punah, serupa dengan bentuk wayang Keling Pekalongan,
yakni gelung cupit urang pada tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bima,
Gathotkaca dan lain-lainya tidak mencapai ubun-ubun dan tokoh
wayang Rahwana berbusana rapekan seperti busana wayang Gedog.
Menurut para sesepuh di Cirebon, babon dan wayang kulit Cirebon
memang mengambil cerita dari kitab Ramayana dan Mahabharata,
tetapi sejak semula tersebut telah dikembangkan dan dibuat dengan
corak tersendiri oleh seorang tokoh yang disebut Sunan Panggung.
Cirebon berpendapat bahwa tokoh Sunan Panggung tersebut
merupakan indentik dengan Sunan Kalijaga, seorang Wali penutup
dari jajaran dewan Wali Sanga. Maka dengan demikian, jelaslah
bahwa materi Ramayana dan Mahabharata yang Hinduis itu telah
banyak diperbaiki dan diperbaharui serta disesuaikan dengan dasardasar
ajaran Islam. Selain itu, satu hal yang relevan dan tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa para dalang wayang kulit ataupun dalang-dalang
wayang Cepak di Cirebon memperoleh ajarannya dari cara-cara
tradisional. Ia menjadi dalang dengan petunjuk ayahnya atau kakeknya
yang disampaikan secara lisan, sehingga sulit bagi kita untuk
menghimpun sastra lisan tersebut sekarang ini.
Di wilayah Jawa Barat sedikitnya terdapat empat versi kesenian
wayang kulit, yakni versi Betawi, Cirebon, Cianjur, serta Bandung
dan masing-masing menggunakan dialeg daerah setempat.
Melihat akan wilayah penyebaran kesenian wayang kulit yang bersifat
kerakyatan itu, maka nampaklah suatu rangkaian yang hampir saling
bersambungan dengan wilayah Banyumas, Pekalongan, Cirebon,
Purwakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga Banten.
Nampaknya kesenian Wayang Kulit Cirebon masih mendapat tempat
baik di lingkungan masyarakatnya dan penyebaranya dengan bahasa
Cirebon Campuran yaitu campuran Jawa dan Sunda yang meli22
puti daerah-daerah seperti Kuningan, Subang, Majalengka, bahkan
sampai Kabupaten Kerawang bagian timur.
Suatu ciri khas pada pagelaran Wayang Kulit Cirebon adalah
katerlibatan para penabuh gamelan (niyaga) yang bukan hanya
melatar belakangi pertunjukan dengan alat musiknya, tetapi dengan
senggakan-senggakan lagu yang hampir terus-menerus selama pergelaran
berlangsung. Difusi kebudayaan tersebut berjalan lama serta
mantap, dan peranan Wali Sanga sebagai faktor dinamik dan penyebar
unsur peradaban pesisir tidak boleh dilupakan begitu saja. Contoh
menarik peranan Wali Sanga yang berkaitan dengan Cirebon sebagai
salah satu komponen peradaban pesisir adalah unsur kebudayaan
dalam ungkapan kegiatan religi, mistik dan magi yang membaur
dan nampak dalam pertunjukan wayang.
Para Wali sangat aktif dalam penciptaan-penciptaan seni
pedalangan dan memanfaatkan seni karawitan untuk mengIslamkan
orang-orang Jawa. Simbolisme dan ungkapannya nampak paling kaya
dari seni karawitan dan seni pedalangan yang dimanfaatkan dalam
setiap dakwahnya. Satu hal yang khas pula dalam jajaran wayang
Kulit Cirebon, ialah apabila jumlah panakawan di daerah lainnya
hanya empat orang, maka keluarga Semar ini berjumlah sembilan
orang yakni Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata,
Ceblek, Cingkring, dan Bagol Buntung, yang semuanya itu melambangkan
sembilan unsur yang ada di dunia serta nafsu manusia,
atau melambangkan jumlah Wali yang ada dalam melakukan dakwah
Islam.
Gambar 1.3 Wayang gaya Cirebon, dalam cerita Ramayana
a. Raden Kumbakarna b. Raden Indrajit c. Prabu Rahwana
23
2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur
Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya, antara lain
Cirebon, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur
pun mempunyai wayang kulit dengan coraknya sendiri dan sering di
sebut wayang Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Sebutan Jek Dong
berasal dari kata Jek yaitu bunyi keprak dan Dong adalah bunyi
instrumen kendang. Meskipun menggunakan pola wayang Jawa Tengah
sesudah zaman masuknya agama Islam di Jawa, wayang kulit
Jawatimuran mempunyai sunggingan dan gagrag tersendiri dalam
pergelaranya, sesuai dengan apresiasi dan kreativitas selera masyarakat
setempat.
Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yoyakarta,
terutama wayang perempuan (putren). Hal ini membuktikan
bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, kebangkitan kembali wayang
kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian Giyanti
yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag
Surakarta merupakan perkembangan kemudian setelah perjanjian
Giyanti terlaksana.
Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang mencolok terdapat
pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala
(irah-irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau
kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathotkaca,
yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan,
namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran
menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan
watak angkara murka namun melambangkan watak pemberani.
Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Tengah
memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan
Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran
Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota.
Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum mengalami
perubahan bentuk (deformasi) diperlihatkan oleh bentukbentuk
arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung Lawu sebelah
barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima
melawan raksasa dengan menunjukkan angka tahun 1361 Caka
atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan Prabuputri
Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447). Pada masa peralihan
ke zaman Islam, wayang kulit Purwa Jawatimuran Kuna sudah
lama berkembang dengan sempurna, mengingat kekuasaan kerajaan
Majapahit sebelumnya yaitu yang meluas ke seluruh Nusantara,
maka pedalangan Jawatimuran-pun sudah populer di daerah Jawa
Tengah.
Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mempunyai
karakteristik tersendiri dengan memiliki empat jenis pathet,
yaitu pathet Sepuluh (10), pathet Wolu (8), pathet Sanga (9), dan pa24
thet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet,
yaitu pathet Nem (6), pathet Sanga (9), dan pathet Manyura. Jumlah
panakawan wayang kulit Jawatimuran juga berbeda. Jumlah nakawan
yang ada di wayang kulit purwa Cirebon dengan sebanyak sembilan
panakawan, Jawa Tengah dengan empat panakawan, maka
panakawan dalam wayang kulit Jawatimuran ini hanya memiliki dua
panakawan, yaitu Semar dan Bagong Mangundiwangsa. Kedua tokoh
panakawan yang bersifat dwi tunggal itu agaknya menjadi ciri
khas dalam dunia wayang Jawatimuran.
Jumlah panakawan dalam wayang Jawatimuran lainya dapat
kita jumpai pada cerita-cerita Panji yang menampilkan Bancak
dan Doyok atau Judeh dan Santa (Jurudyah dan Prasanta), sedangkan
dalam lakon Darmarwulan kita temui panakawan Nayagenggong
dan Sabdapalon seperti nampak pada lukisan-lukisan relief candi di
Jawa Timur. Dengan demikian terdapat suatu kesimpulan, bahwa tokoh
panakawan tersebut pada mulanya hanya dua orang. Hal ini besar
kemungkinan ada kaitanya dengan alam dan falsafah kejawen,
bahwa pasangan panakawan Semar dan Bagong tersebut merupakan
lambang alam kehidupan manusia yang bersifat roh dan wadag.
Semar merupakan rohnya dan Bagong memanifestasikan kewadagannya.
Namun dalam perkembangannya panakawan diwayang Jawatimuran
bertambah, yaitu Besut dengan perwujudan seperti Bagong
hanya lebih kecil. Besut dalam wayang Jawatimuran berperan
sebagai anak Bagong.
Bangkitnya kembali wayang kulit Jawa Tengah yang ditunjang
oleh kalangan atas yaitu kalangan kraton, berkembang pula seni
pedalangan wayang kulit Jawatimuran pada perbedaan tingkat
dan prosesnya. Ia berkembang bukan dari kalangan kraton malainkan
dari tingkah bawah ke masyarakat banyak. Daerah perkembangan
wayang kulit Jawatimuran meliputi daerah Surabaya, Sidoarjo,
Pasuruhan, Malang, Mojokerto, Jombang, Lamongan dan Gresik.
25
Gambar 1.4 Batara Bayu (Jawatimuran)
Gambar 1.5 Harjuna Sasrabahu (Jawatimuran)
26
Gambar 1.6 Dewi Sembadra
Gambar 1.7 Batara Kala
27
Gambar 1.8 Bagong dan Semar menghadap Berjanggapati
2.3.2.10 Wayang Golek (1646)
Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat
yang dibuat dari kayu, maka disimpulkan bahwa, berdasarkan bentuk
yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu, sehingga benda tersebut
dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit
purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di
namakan Golek. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan
memainkan wayang Golek tersebut, dalang bermaksud memberikan
isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton
mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam
pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk
itulah sehingga dinamakan wayang Golek.
Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju serta
selendang (sampur), dan dalam pementasanya tidak menggunakan
layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada wayang
(blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Boneka-
bonela kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragamnya,
sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana dan
Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan berbentuk
tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan oleh
sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan sekaligus
merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang dapat
menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh, serta
28
dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-turun.
Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas benang,
sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakannya.
Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang Suryana,
M.Sn, dikatakan:
“Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti
berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa
disebut wayang Golek Papak atau wayang Golek Cepak”.
Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas kesamaan
raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur
cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh golek,
sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita tentang Wong Agung
Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita
Islam. Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang bersumber
dari agama Hindu yaitu Mahabharata dan Ramayana. Cerita
yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan Mahabharata, namun
ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau
cerita Parsi yang bernuansa Islam.
Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang
Golek adalah daerah Cirebon. Wayang tersebut kemudian masuk ke
daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda. Pementasan
wayang Golek tersebut menggunakan bahasa masyarakat Pasundan
Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menyebut
wayang itu wayang Golek Sunda atau Golek Purwa, yang dalam
pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab Ramayana
dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Golek
Menak diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amangkurat
I di Mataram (1646 – 1677).
Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada
tanggal 26-29 Februari 1964 di Bandung, telah diwujudkan dan diciptakan
wayang Golek baru, yang sesuai dengan perkembangan
zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalangan
Jawa Barat wayang dengan bentuk pemanggungan yang baru
tersebut, diberi nama Wayang Pakuan. Dalam pergelaran wayang
Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita Babad Pajajaran,
penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa
asing di Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokohtokoh
dalam wayang Golek Pakuan di antaranya seperti Prabu Siliwangi
dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon Coen atau Murjangkung,
Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati
Sumedang, Jawa Barat, terkenal sebagai pencipta wayang Golek
Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak dari
Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut,
maka kesenian itu menjadi sangat populer dan dapat merebut hati
rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-orang Sunda di daerah Pri29
angan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek
dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon pergelarannya.
Tetapi pada umumnya wayang golek tersebut berbentuk
wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya adalah cerita-cerita
Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Menak.
Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wayang
Thengul.
Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan
cerita yang sama, bernafaskan Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (paman
Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh lainnya seperti raja
Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringadi,
Panji Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang tersebut
disebut wayang Bendo. Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton
pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di bawa ke Cirebon
karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan
Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wayang
Golek Purwa bercampur dengan wayang Golek Menak, sehingga
dalam pementasannya disebut wayang Cepak.
Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak
dan disamping itu membawakan pula cerita-cerita sejarah perkembangan
agama Islam di Jawa. Seirama dengan perkembangan serta
kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wayang
Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Praba
yang terbuat dari kulit berukir (ditatah dan disungging) untuk tokoh-
tokoh wayang tertentu, seperti Kresna, Gathotkaca, Baladewa,
Rahwana dan lainnya.
Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan
Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu Siliwangi
30
2.3.2.11 Wayang Krucil (1648)
Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada tahun
1648 (1571 Caka, dengan sengkalan: watu tunggangngane buta
widadari). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti
wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya
terbuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya
di siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterusnya
wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan-
Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab
Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang golek
Purwa. Cerita Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan
pertentangan antara Damarwulan sebagai bulan dan Minakjingga sebagai
matahari.
Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya antara
lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya Mangkunegaran.
Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak kurang
anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada
bentuk primitif.
Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran mendekati
bentuk wayang kulit yang nampak arstistik dan mengarah pada
sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi pertunjukan
wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang berjumlah
lima macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul
barang dan gong suwuk-an. Irama gamelan pada umumnya sangat
monotoon seperti irama kuda lumping (jathilan).
Pada setiap adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan
tembang macapat seperti Dandang Gula, Sinom, Pangkur, Asmaradana
dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan
sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit.
Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan pertunjukan
ritual sakral tak ubahnya seperti pertunjukan wayang kulit
Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya yang secara
teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada aturan
baku dan sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau mengembangkannya,
sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu memenuhi
selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya.
Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tanpa
timbulnya cerita-cerita carangan atau gubahan baru. Pengaruh
modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-upacara
ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin lenyap
karena telah kehilangan pamornya.
31
Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak
2.3.2.12 Wayang Sabrangan (1704)
Paku Buwono I (1704 – 1719) membuat wayang Sabrangan
atau tokoh dari daerah seberang dengan pemakaian baju pada tahun
1703 (1625 Caka, dengan sengkalan: buta nembah ratu tunggal).
Wayang tersebut merupakan salah satu jenis dari wayang purwa
di samping jenis wayang raksasa (raseksa) dan kera (kethek).
2.3.2.13 Wayang Rama (1788)
Paku Buwono IV (1788 – 1820) membuat wayang Rama
yang khusus diciptakan untuk mempergelarkan cerita-cerita dari kitab
Ramayana. Dalam wayang tersebut terdapat banyak wayangwayang
kera dan raksasa, yang dibuat pada tahun1815 (1737 Caka,
dengan sengkalan: swareng pawaka giri raja).
32
2.3.2.14 Wayang Kaper
Wayang kaper adalah wayang yang ukurannya lebih kecil di
banding wayang Kidang Kencana. Wayang ini pada umumya digunakan
untuk permainan anak-anak yang mempunyai bakat mendalang.
Yang membuat wayang kaper tersebut umumnya orang kaya atau
kaum bangsawan untuk menghibur diri dan untuk permainan anak
cucu mereka. Wayang tersebut disebut kaper karena kecil bentuknya,
kalau dimainkan sabetan tidak begitu lincah dan hanya nampak
menggelepar-gelepar saja. Bilamana kena cahaya lampu, geleparangeleparan
itu bagaikan kupu-kupu kecil yang terbang dekat lampu di
malam hari.
Pementasan wayang kaper tersebut menggunakan kelir
dan blencong yang biasa dilakukan dalang anak anak (bocah) dengan
mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Seperti
halnya wayang kulit Purwa lainnya, wayang Kaper tersebut dibuat
dari kulit yang ditatah dan disungging pula.
2.3.2.15 Wayang Tasripin
Tasripin almarhum seorang saudagar kaya yaitu pedagang
kulit di Semarang, Jawa Tengah. Tasripin membuat wayang kulit gaya
Yogyakarta dicampur gaya Pesisiran dengan ukuran luar biasa
besarnya. Dibuat wayang tokoh Arjuna sebesar tokoh Kumbakarna,
wayang terbesar dan tertinggi dari wayang pedalangan, sedangkan
wayang-wayang lainnyapun ikut membesar dan sebanding dengan
wayang Arjuna tadi.
Wayang-wayang sebesar itu tidak mungkin untuk dipentaskan
karena terlalu besar dan berat serta tidak ada seorang dalangpun
yang mampu memainkannya. Wayang-wayang tersebut dilapisi
kertas emas (diprada), ditatah serta disungging, dan hanya untuk pameran
belaka yang kemudian disebut wayang Tasripin.
2.3.2.16 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun.
Wayang Kulit Betawi ini merupakan satu-satunya teater boneka
di kalangan masyarakat Betawi. Grup wayang kulit ini masih
terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat,
Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Wilayah Bekasi terutama Kecamatan
Tambun merupakan wilayah yang paling potensial bagi wayang kulit
Betawi tersebut, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas, sehingga
dapat dimaklumi kalau ada beberapa orang yang menamakan teater
ini dengan nama wayang Tambun.
Para ahli pedalangan berpendapat, bahwa wayang kulit Betawi
berasal dari Jawa Tengah, yang kedatangannya di Jakarta dan
sekitarnya dihubungkan dengan penyerangan Sultan Agung ke Batavia
(Batavia = Jakarta) pada zaman Gubernur Jendral Jan Pieterzoon
Coen (1628 – 1629). Bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk
wayang kulit di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari Cire33
bon, Indramayu, Pamanukan, Cilamaya, Karawang sampai Tambun
dan Jakarta, nampak pada wayang kulit tersebut adanya persamaan
yang cukup mencolok, sehingga pendapat yang mengatakan, bahwa
wayang kulit Betawi merupakan suatu pengaruh yang beranting dari
Jawa Tengah.
Adanya persamaan temperamen antara wayang kulit Betawi
dengan wayang kulit Banyumas, ini dapat terlihat dengan adanya
persamaan pada alat musik pengiring yang berupa gambang. Pada
wayang kulit Betawi di masa lampau, alat musik gambang tersebut di
buat dari bambu seperti gamelan Calung pada wayang kulit Banyumas.
Wayang kulit Betawi ini banyak mendapat pengaruh dari
wayang Golek Sunda, baik dalam lagu, sabetan, dan lakonnya. Dalam
hal lagu walaupun iramanya sepintas lalu Sunda, pada hakekatnya
lagu-lagu ini adalah perpaduan antara Sunda dan Betawi, yang
sejak semula sudah ada pada musik Gamelan Ajeng Betawi. Kaidah
adalah apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka. Benar atau
tidaknya ajaran tersebut, bilamana ditinjau dari kaidah dan yang ada
di Jawa Tengah, tidaklah menjadi halangan bagi mereka.
Wayang kulit Betawi pada hakekatnya benar-benar merupakan
suatu seni rakyat yang unsur improvisasi dan spontannitasnya
mengambil bagian yang terbanyak dari suatu pertunjukan. Keterlibatan
penabuh gamelan terlihat sangat kental dan bahkan para penonton
juga terlibat dalam pertunjukannya, hal tersebut terjadi secara
spontan dan wayang kulit Betawi memang benar-benar menampilkan
sesuatu yang spesifik dalam seni rakyat dimana pemain dan
penonton melebur menjadi suatu totalitas yang akrab.
Cerita yang ada pada wayang kulit Betawi hanya mengandalkan
apa yang mereka sebut Kanda Keling dan Kanda Mataram.
Kanda Keling adalah apa yang diterima dari guru mereka, sehingga
dua orang dalang yang berguru pada dua orang guru yang berlainan,
bisa memainkan lakon yang berbeda pula. Sedangkan Kanda Mataram
adalah lakon yang dikarang atau diciptakan ki dalang sendiri dengan
memasukan hal-hal baru di dalamnya, dan dalang menutup
pertunjukannya dengan lagu Wayangan Giro.
Dari segi sastra, wayang Tambun sudah sejak dulu memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, yaitu bahasa
Indonesia Kuna (Melayu) yang lazim dipakai masyarakat Tambun
dengan corak iringan gamelan yang bernada ke-Sundaan. Bagi masyarakat
Betawi, wayang Tambun ini disebut Wayang Kulit Tambun.
34
Gambar 1.11 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun
2.3.2.17 Wayang Ukur
Tergugah oleh jiwa seninya pada masa kuliah di Akademi
Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Sukasman merasa heran
mengapa dalam Akademi tersebut, seni rupa wayang yang telah
merupakan suatu masterpiece yang adiluhung itu tidak dimasukan
kurikulum. Setelah memperhatikan bentuk-bentuk wayang dari zaman
ke zaman yang telah diciptakan sejalan dengan pengungkapan
jiwa manusia, maka terlihatlah bahwa wayang-wayang itu mendapatkan
perubahan-perubahannya, baik dalam bentuk tinggi besarnya
maupun dalam ornamen-ornamennya, contoh, seperti yang terlihat
pada tokoh Kresna. Pada gaya Surakarta tokoh tersebut dilengkapi
dengan garuda mungkur pada irah-irahannya, sedang gaya Yogyakarta
memakai merak mungkur. Demikian pula nampak jelas bila kita
perhatikan ornamen-ornamen wayang kulit gaya pesisiran, antara lain
wayang kulit Cirebon dan wayang kulit Pekalongan.
Terkesan oleh perubahan-perubahan bentuk serta ornamen-
ornamen pada wayang, yang jelas nampak pada gaya Surakarta,
Yogyakarta dan Cirebon serta Kedu, maka pada tahun 1964 Sukasman
telah menciptakan jenis wayang baru yang dinamakan wayang
Ukur, yang proses pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk
tinggi dan panjang pundak wayang-wayang ciptaannya itu. Berkalikali
ia mengadakan perubahan-perubahan pada beberapa bagian
bentuk wayangnya sampai ia merasa puas akan hasil ciptaanya
yang cocok dengan rasa dan jiwa seninya. Dalam mengadakan perubahan
perubahan tersebut ia membuat ukuran sendiri, sehingga
berdasarkan teknik pembuatannya itu, maka wayang ciptaannya itu
dinamakan wayang Ukur.
Sunggingan serta tatahan wayang tersebut nampak lain dari
wayang purwa biasa dan ini memang merupakan ciri khas dari wa35
yang Ukur ciptaan Sukasman. Dalam pertunjukannya, wayang Ukur
menggunakan kelir sebagai tempat memainkan wayang (jagadan
wayang).
Gambar 1.12 Batara Guru (Wayang Ukur)
2.3.2.18 Wayang Mainan (Dolanan)
Wayang sebagai karya seni mencakup seni rupa, seni ketrampilan,
dan seni khayal. Harus diakui pula wayang yang konon lahir
di India dan kini hidup serta berkembang di Jawa itu, sekarang telah
menjadi milik bangsa Indonesia sebagai suatu karya seni tradisional
Indonesia.
Anak-anak di desa sering dalam menggembalakan ternak
meluangkan waktu untuk membuat boneka-boneka wayang dari
tangkai-tangkai rumput atau tangkai daun singkong. Dianyamnya beberapa
genggam batang rumput atau daun singkong tersebut hingga
berbentuk wayang dan dimainkannya dengan berkhayal sebagai seorang
dalang wayang yang pernah dilihatnya. Wayang-wayang tersebut
biasa dinamakan wayang Suketan (rumput) atau wayang
Domdoman (nama jenis rumput), karena rumput yang biasa mereka
gunakan untuk membuat wayang tersebut adalah jenis rumput domdoman.
Selain dari bahan rumput atau daun singkong, dapat pula
mereka membuatnya dari daun kelapa (blarak), tapi hasil karya wayang-
wayang tersebut tidak dapat bertahan lama. Jika diinginkan hasil
karya yang dapat bertahan agak lama, biasanya mereka membuat
wayang Bambu. Wayang jenis ini dapat dijumpai di daerah Wonosari,
Yogyakarta, yang dibuat dari irisan-irisan bambu yang dianyam,
sehingga berbentuk boneka wayang. Akan tetapi, kini telah banyak
diperdagangkan yaitu wayang yang terbuat dari kardus untuk mainan
36
anak-anak. Wayang kardus ini bahan dasarnya adalah kardus atau
karton bekas pembungkus yang di beri warna ala kadarnya dan ditatah
sangat sederhana. Maka jelas bahwa wayang-wayang tersebut
tidak dapat tahan lama dan mudah rusak.
Di Yogyakarta hingga tahun 1984 masih dapat dijumpai wayang-
wayang kardus hasil pengrajin wayang. Wayang-wayang tersebut
sering dipakai oleh siswa-siswa dalang atau untuk penguburan
tokoh. Wayang yang perlu dikubur atau dihanyutkan di laut (dilabuh)
setelah gugur dalam pementasan, antara lain: Kumbakarna, Durna,
dan lain-lainnya. Untuk penguburan ataupun labuhan wayang-wayang
tersebut diperlukan upacara tersendiri.
Wayang sebagai mainan anak-anak pernah pula dijumpai di
Yogyakarta tempo dulu, bahkan sampai ke kota Batavia atau Betawi
(Betawi = Jakarta) yang terbuat dari singkong, wayang tersebut
dinamakan wayang Telo (singkong) di Yogyakarta, wayang Opak
(Jakarta) yang terbuat dari parutan telo (ampas singkong) dan dibentuk
seperti boneka wayang dan diberi gapit (tangkai wayang) dari
bambu.
2.3.2.19 Wayang Batu atau Wayang Candi (856)
Dari uraian di atas, maka terdapatlah suatu dasar dalam
pemberian nama jenis wayang yang antara lain karena ceritanya, sehingga
wayang tersebut dinamakan wayang Purwa, wayang Menak,
ataupun wayang Madya. Bila dilihat dari segi pertunjukannya atau
pementasannya dengan membeberkan wayang-wayang tersebut
maka wayang itu dapat dinamakan wayang Beber. Sedangkan kalau
dilihat dari segi bonekanya, maka wayang itu dapat dibagi menjadi
wayang Golek, wayang Kulit, wayang Wong (orang) dan sebagainya.
Dengan adanya cerita-cerita wayang yang tergambar secara
permanen pada dinding candi sebagai hiasan, maka dikenal orang
sebagai wayang Batu atau wayang Candi, yang antara lain terdapat
pada candi atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut Candi
Prambanan ( + tahun 856), 17 km dari Yogyakarta di tepi jalan raya
Yogyakarta – Surakarta, memuat cerita tentang Kresna, Candi Lara
Jonggrang ( + tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan, memuat
cerita Ramayana, Pemandian Jalatunda, Malang, Jawa Timur
( + 977), memuat cerita Sayembara Drupadi, Gua Selamangkleng di
Kediri, Jawa Timur abad ke-X memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi
Jago di Tumpang, Malang, Jawa Timur ( + tahun 1343), memuat cerita
Tantri, Kunjarakarna, Partayadna, Arjuna Wiwaha dan Kresnayana,
Gua Pasir di Tulungagung, Jawa Timur, ( + 1350), memuat cerita
Arjuna Wiwaha, Candi Penataran di Blitar ( + 1197 – 1454), memuat
cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai panakawan gendut, dan
cerita Ramayana, Candi Tegawang di Kediri ( + 1370), memuat cerita
Sudamala, dengan Sadewa yang diiringi panakawan bertubuh
gendut dan Durga diikuti oleh dua orang raseksi, Kedaton Gunung
37
Hyang ( + 1370), memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang
Rama, Bimasuci, Mintaraga, dan cerita Panji, Candi Sukuh dekat Tawangmangu
( + tahun 1440) 36 km dari Surakarta ke arah timur, memuat
cerita Sudamala, Gameda, dan Bimasuci.
Gambar 1.13 Wayang Candi
2.3.2.20 Wayang Sandosa
Sejak tahun 1984 Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT)
yang berkedudukan di Sala-Surakarta telah melakukan eksperimen
baru dengan pergelaran wayang berbahasa Indonesia. Pentas wayang
kulit tersebut dengan sistem pementasan yang menggunakan
dua orang dalang atau lebih.
Diilhami oleh pementasan wayang kulit Len Nang dari Kamboja,
wayang eksperimen PKJT yang disebut wayang Sandosa tersebut,
merupakan pergelaran yang tidak jauh berbeda dengan pergelaran
wayang kulit biasa. Perbedaannya ialah, bahwa wayang
Sandosa menggunakan beberapa orang dalang dan teknik mendalangnya
dilakukan dengan cara berdiri, juga latar pakeliran wayang
Sandosa dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari pada pakeliran wayang
kulit biasa.
Dalam pementasan wayang Sandosa yang diselenggarakan
selama satu atau dua jam itu, tidak selalu dimulai dengan suluk
ki dalang. Bunyi gamelan tidak lagi selaras pada pagelaran wayang
kulit umumnya, tapi telah merupakan nada dan irama yang beraneka
ragam. Hal tersebut karena cerita yang dipergelarkan dapat dimulai
dari suasana perang dan diiringi gending yang berirama gobyog temporer.
Walaupun dari segi iringan telah keluar dari aturan-aturam
gending tradisional dan atau wayang pada umumnya, justru mempunyai
daya komunikasi yang lebih kuat pada kalangan muda.
38
Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri di balik layar
yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta berwarna-
warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki dalang
menggerakkan wayang dengan mendekat ke lampu.
Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersifat
kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah menambah
khasanah budaya bangsa kita.
2.3.2.22 Wayang Wong (Wayang Orang) (1757 – 1760)
Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergelaran
wayang serta untuk meresapi seni dialog wayang (antawacana)
dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I (1757 –
1795) telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pelaku-
pelakunya terdiri dari para pegawai kraton (Abdi Dalem). Menurut
K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang berjudul Sastramiruda
tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk
pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII ( + 1760). Konon
wayang ini mendapat tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya
perubahan bentuk tersebut diramalkan orang kelak akan timbul kesulitan
atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G-
.A.J. Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot
het Kennis van het Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut
adalah tidak benar, karena setelah pergelaran wayang wong ini di
tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881, wayang tersebut
menjadi hidup kembali.
Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut tidak
lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang,
melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai pengganti boneka
wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wayang
Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita
yang ditampilkan, sedangkan wayang Golek, wayang Wong berdasarkan
ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-bonekanya.
Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas
dan dibeberapa kota besar telah berdiri perkumpulan-perkumpulan
wayang orang dengan berbagai macam nama serta mutunya. Namun
umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi
wayang tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pementasannya
menggunakan cerita epos Ramayana dan Mahabharata
serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog.
2.3.3 Wayang Madya
Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Mangkunegoro IV
(1853 – 1881) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang
ada menjadi satu kesatuan serta disesuaikan dengan sejarah Jawa
sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di
Jawa dan diolah secara urut. Semula Sri Mangkunegoro IV meneri39
ma buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden
Ngabehi Ronggo Warsito (1802 – 24 Desember 1873) pada tahun
1870 (1792 Caka).
Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa
atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang kemudian
kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging
Witaradya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku
Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa,
riwayat para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu timbullah
gagasan Sri Mangkunegoro IV untuk membuat jenis wayang
baru, yang dapat menyambung zaman Purwa dengan zaman Jenggala
dengan cerita-cerita Panji.
Dari gagasan tersebut maka terciptalah jenis wayang baru
yang disebut wayang Madya. Wayang Madya adalah satu jenis wayang
yang menggambarkan dari badan-tengah ke atas berwujud wayang
Purwa, sedang dari badan-tengah ke bawah berwujud wayang
Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dari kulit,
ditatah dan disungging.
Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro IV membagi
sejarah wayang dalam tiga masa yang disesuaikan dengan jenis-jenis
wayang untuk ketiga masa tersebut, yaitu masa pertama dari tahun
1 – 785 Caka (tahun 78 – 863 Masehi), dari kedatangan Prabu
Isaka (Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja Yudayana di kerajaan Astina,
yang disebut wayang Purwa, masa kedua dari tahun 785 –
1052 Caka (tahun 863 – 1130 Masehi), sampai Prabu Jayalengkara
naik tahta, yang disebut wayang Madya (bahasa Sanskerta: madya =
tengah), masa ketiga dari tahun 1052 – 1552 Caka (tahun 1130 –
1431 Masehi), sampai masuknya agama Islam, yang disebut wayang
Wasana (bahasa Sanskerta: wasana = akhir)
40
Gambar 1. 14 Yudayaka (Wayang Madya)
Tokoh-tokoh wayang yang mendominasi akhir wayang purwa
adalah putra-putra keturunan Pandawa antara lain Sasikirana
anak Gathotkaca, Sangasanga anak Satyaki, Dwara anak Samba,
serta anak-anak keturunan Parikesit, yaitu Yuda-yaka, Yudayana,
dan Gendrayana. Gendrayana adalah cucu Perikesit yang merupakan
tokoh terakhir dari wayang Purwa dan kemudian dilanjutkan oleh
Prabu Jayabaya putra Gendrayana, sebagai tokoh Pemula dari wayang
Madya.
Salah satu cerita wayang Madya bersumber pada Serat
Anglingdarma yang aslinya terdapat di Sasana Pustaka Kraton Surakarta
dengan tokoh-tokoh wayang seperti Angklingdarma dari kerajaan
Malwapati serta Batik Madrim sabagai patihnya. Ciri khas wayang
Madya adalah suatu kombinasi perwujudan wayang Purwa dengan
wayang Gedog yang tidak satupun tokoh wayangnya menggunakan
busana gelung cupit urang, sedang semua wayang Madya menggunakan
rambut yang terurai ke bawah seperti pada tokoh wayang
41
Purwa Lesmana Mandrakumara yaitu putra Prabu Duryudana dari
negara Astina kelurga Kurawa.
2.3.4 Wayang Gedog
Arti istilah Gedog adalah, bahwa gedog tersebut berasal
dari suara dog, dog yang ditimbulkan dari ketukan sang dalang pada
kotak wayang yang terletak di samping dalang. Akan tetapi oleh sarjana-
sarjana barat kata gedog ditafsirkan sebagai kandang kuda (bahasa
Jawa: gedogan = kandang kuda). Dalam bahasa kawi gedog
berarti kuda. Penafsiran lain kata gedog tersebut adalah batas antara
siklus wayang Purwa yang mengambil cerita serial Ramayana
dan Mahabharata dengan siklus Panji. Namun demikian sampai sekarang
belum juga dapat ditafsirkan, mengapa kata gedog tersebut
dipakai untuk suatu jenis wayang.
Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit
yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar
wayang kulit Purwa jenis satriya sabrangan. Hanya empat jenis muka
yang terdapat pada wayang Gedog ini antara lain muka dengan
mulut meringis bertaring (gusen), muka dengan mata kedondong
muka dengan mata jahitan, dan muka dengan hidung besar di bagian
depan (dempok). Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan
cerita Ramayana dan Mahabharata, tetapi menggunakan
cerita-cerita Panji.
Wayang Gedog tersebut terbuat dari kulit yang ditatah dan
disungging, terdapat pula yang terbuat dari papan yang diukir dan disungging,
tetapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pementasan
wayang ini diambil cerita Darmarwulan – Minakjingga, dan
wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klithik.
Gambar 1. 15 Wayang Gedog
(Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari, Ronggolawe, Prabu Klono
Madukusumo)
42
2.3.4.1 Wayang Klithik
Wayang Klithik mempunyai bentuk dan bahan khusus. Bentuknya
menyerupai wayang kulit, yakni terdiri dari dua dimensi, dengan
bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wayang
Golek yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak memakai
gapit seperti wayang kulit sebab gapit-nya sekaligus merupakan
lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, dan
berbentuk kayu pipih.
Menurut sejarahnya wayang Klithik terbuat seluruhnya dari
kayu, namun karena berat selalu mendapat kesukaran untuk dimainkan,
akhirnya wayang tersebut mengalami sedikit perubahan, yakni
dengan dibuatnya tangan wayang dari kulit. Seperti halnya dengan
pembuatan pada wayang Golek, wayang Klithik tersebut juga diukir
dan disungging.
Pergelaran wayang Klithik tidak menggunakan layar atau
kelir, sehingga penonton dapat langsung melihat wajah sang dalang,
tetapi pernah pula menggunakan kelir yang dibagian tengah terpaksa
dilubangi selebar arena pergelaran. Sebagai tempat menancapkan
wayang-wayang tersebut, maka dalam pergelaran wayang Klithik
dipakainya kayu atau bambu tempat untuk menancapkan wayang
(slanggan), yang diberi lubang sebesar tangkai wayang tersebut.
Gamelan yang perlu disediakan untuk pergelaran wayang Klithik
lebih sederhana, yaitu saron, kendang, kethuk-kenong, dan kempul
barang tanpa menggunakan gong, karena kempul berfungsi sebagai
gong. Untuk lampu penerang digunakannya blencong dengan minyak
kelapa sebagai bahan bakarnya, namun dewasa ini sudah sering
digunakan lampu petromak atau lampu listrik.
Wayang Klithik menggunakan Babad Pajajaran dari kisah
Ciungwanara sampai Majapahit. Keseluruhannya ada dua belas lakon
dan lakon yang paling populer adalah lakon Damarwulan Ngenger
sampai gugurnya Minakjingga. Motif dan bentuk wayang Klithik
serupa dengan bentuk wayang kulit Gedog, sedangkan yang bermotif
wayang kulit purwa lazim disebut wayang Krucil, yang dalam
pergelarannya mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata.
43
Gambar 1.16 Wayang Klitik
(Adegan Raden Damarwulan beserta abdi
panakawan Sabdapalon dan Nayagenggong)
2.3.4.2 Langendriyan
Pada akhir abad ke-XIX pada saat pergelaran wayang Klithik
atau Krucil mendekati kepunahannya, maka muncullah kesenian
Langendriyan. Pementasan Langendriyan bermula pada pengadaan
acara mocopatan, yaitu membaca buku babad yang berbentuk tembang.
Pembacaan tembang tersebut dilakukan seorang demi seorang
secara bergilir yang ketika itu kisah Damarwulan merupakan kisah
yang sangat digemari.
Langendriyan melibatkan unsur tata pentas, tata gerak (tarian),
dan tata busana, seni suara (nyanyian). Bentuk kesenian tersebut
semula bernama Mundringan, setelah disempurnakan oleh
K.G.P.A. Mangkubumi pada tahun 1876 disebut Langendriyan.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, Langendriyan adalah suatu
bentuk drama tari Jawa yang menitik beratkan pada unsur tari dan
seni suara. Dialog dalam drama tari tersebut dilakukan dengan tembang,
sehingga pentas tersebut boleh dikatakan semacam opera
berbahasa Jawa, dengan cerita yang khusus mengenai Panji (Damarwulan-
Minakjingga) dari zaman Majapahit.
Hingga dewasa ini, orang tidak dapat menyatakan dari mana
Langendriyan itu berasal. Ada yang berpendapat bahwa kesenian
tersebut semula berasal dari Mangkunegaran-Surakarta, yang diciptakan
oleh K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV (1853 – 1881). Ada pula
yang menyatakan bahwa Langendriyan tersebut berasal dari Makubumen-
Yogyakarta, yang diciptakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi,
adik Sultan Hamengku Bhuwono VII (1877 – 1921). Berkat usaha
K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, maka naskah-naskah Langendriyan
44
Mangkubumen berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun
1953.
2.3.5 Wayang Menak
Kyai Trunodipo dari kampung Baturetno-Surakarta mencipta
wayang Menak, setelah ia menjual wayang Madya hasil karyanya
kepada Mangkunegoro VII. Wayang Menak ini terbuat dari kulit yang
ditatah dan disungging seperti halnya dengan wayang kulit Purwa,
sedang wayang Menak yang terbuat dari kayu dan merupakan wayang
Golek disebut wayang Thengul.
Maksud Kyai Trunodipo membuat wayang Menak adalah
untuk mementaskan cerita-cerita yang bersumber pada serat Menak
dengan tokoh-tokoh Menak seperti Wong Agung Jayengrana atau
Amir Hambiyah, Umar Maya dan lain-lainnya. Wayang-wayang ini
kemudian dibeli oleh R.M. Ng. Dutoprojo.
Dalam pementasan wayang Menak kita jumpai dua macam
bentuk wayangnya antara lain yang berupa wayang golek dan wayang
kulit. Pementasan wayang Menak di Jawa Tengah pada umumnya
menggunakan wayang golek Menak yang disebut wayang
Thengul. Pementasan wayang kulit Menak ini menggunakan kelir
dan blencong. Sedangkan pakelirannya mengambil cerita berdasarkan
serat Menak. Bentuk keseluruhan wayang kulit Menak dapat dikatakan
serupa dengan wayang kulit Purwa, hanya raut muka wayang-
wayangnya hampir menyerupai muka manusia. Tokoh-tokoh
wayang dalam cerita tersebut mengenakan sepatu dan menyandang
salah satu jenis senjata berbentuk pedang (klewang), sedangkan tokoh-
tokoh raja mengenakan baju dan memakai senjata keris.
Cerita Menak semula bersumber dari kitab Qissai Emr
Hamza, sebuah hasil kesusasteraan Persia pada zaman pemerintahan
Sultan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu kitab tersebut
lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan
hikayat itulah yang dipadu dengan cerita Panji, akhirnya lahir
cerita Menak. Dalam cerita ini nama-nama tokohnya disesuaikan dengan
nama Jawa, antara lain Omar Bin Omayya menjadi Umar Maya,
Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi’ul Zaman menjadi
Iman Suwongso, Mihrnigar menjadi Dewi Retno Muninggar, Qoraishi
menjadi Dewi Kuraisin, Unekir menjadi Dewi Adininggar, dan lain-lainnya.
Cerita Menak pada garis besarnya, mengisahkan permusuhan
Emr Hamza (Wong Agung Jayengrana) dari Mekah dengan raja Nushirwan
(Nusirwan), mertuanya dari Medain (Medayin) yang masih
kafir.
Kadis Makdum purwaking ginupit, ring sang duta kataman
duhkita,.........demikian sebagain pembuka pada serat Menak, terbitan
Balai Pustaka. Menurut sumber cerita dari Persia yang mengisahkan
Wong Agung tidak hanya kembali ke Mekah, namun telah
45
bertemu dengan Nabi serta terjadinya pertempuran hingga meninggalnya
Wong Agung tersebut.
Memang banyak perbedaan-perbedaan yang terdapat pada
serat Menak antara pengarang yang satu dengan yang lainnya, antara
serat Menak karya tulis R.Ng. Yosodipuro dengan berpuluh-puluh
naskah yang tersimpan dalam perpustakaan Bataviaasche Genootschap
di Jakarta dulu, bila dibandingkan dengan naskah yang didatangkan
dari Leiden-Belanda, yang berasal dari kraton Surakarta.
Cerita-cerita Menak banyak dipergelarkan dalam bentuk pentas wayang
Golek yaitu wayang golek Menak Jawa atau wayang golek
Sunda, yang masing-masing berbeda bentuk ukirannya atau-pun wayang
kulit Menak dengan boneka-boneka wayang yang khusus untuk
pentas tersebut dan jarang sekali dalam bentuk pentas wayang
orang. Salah satu di antara pentas untuk Menak tersebut, ialah wayang
kulit dari daerah Lombok yang lazim disebut wayang Sasak.
Gambar 1.17 Wayang Kulit Menak
(Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar,
Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo)
46
Gambar 1.18 Umarmoyo (Wayang Golek Menak dari Kebumen)
Gambar 1.19 Wayang Sasak
47
Gambar 1.19 Arjuna (Wayang Bali)
Gambar 1.20 Sugriwa (Wayang Bali)
48
2.3.6 Wayang Babad
Salain wayang Purwa, Madya, dan Gedog, para seniman
Indonesia umumnya dan seniman Jawa khususnya telah menciptakan
berbagai wayang baru yang pementasannya bersumber pada
cerita-cerita sejarah (babad) setelah masuknya agama Islam di Indonesia
antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa kerajaan
Demak dan Pajang. Wayang-wayang tersebut disebut wayang Babad
atau wayang Sejarah. Jenis wayang tersebut antara lain:
2.3.6.1 Wayang Kuluk (1830)
Sultan Hamengku Bhuwono V (1822 – 1855) dari Yogyakarta,
( + tahun 1830) menciptakan wayang yang dalam pergelarannya
khusus mengambil cerita-cerita sejarah kraton Yogyakarta (Mataram).
Wayang-wayang ini kemudian disebut wayang Kuluk.
2.3.6.2 Wayang Dupara
Wayang ini dicipta oleh R.M. Danuatmojo, seorang penduduk
kota Sala dan tidak diketahui dengan pasti kapan wayang tersebut
dibuat. Disebut wayang Dupara, karena asal dari kata Andupara
yang artinya aneh dan dipergunakan untuk cerita-cerita babad Demak,
Pajang, Mataram hingga Kartasura. Wayang Dupara tersebut
dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging, seperti halnya wayang
kulit Purwa. Induk wayang Dupara ini adalah campuran, diubah pakaiannya
dengan ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan selera
pendapat penciptanya. Wayang-wayang tersebut kini disimpan di
Musium Radya Pustaka di Surakarta.
Gambar 1.21 Harya Panangsang (Wayang Dupara)
49
2.3.6.3 Wayang Jawa (1940)
Pencipta wayang tersebut adalah R.M. Ng. Dutodipuro, Abdi
Dalem Mantri Panewu Gandek di kraton Surakarta, yang juga seorang
guru dalang di Pasinaon Dalang Surakarta (Padasuka) berada
di Musium Radya Pustaka-Surakarta. Wayang-wayang tersebut dibuat
pada tahun 1940 dan keseluruhannya memakai baju lurik.
Semua wayang raja-raja (katongan) berbaju kuning lorek hijau
dan merah. Wayang satria (putran) berbaju hijau muda lorek hijau
tua dan satria sedang mengembara (lelana) berbaju lengan pendek
warna biru muda berlorek biru tua diselingi warna merah.
Pementasan wayang Jawa tersebut bermaksud mengisahkan
babad Tanah Jawa, ialah sejarah Demak, Pajang, Mataram
sampai Kartasura. Wayang Jawa tersebut tidak ada wayang bernama
khusus dan pakaian wayang tergantung selera sang dalang. Wayang-
wayang tersebut dibuat dari kulit yang ditatah serta disungging
dan pementasanya dapat memakai atau tanpa kelir. Sebagai gamelan
pengiring wayang ini dipakai gamelan Pelog dan gending-gending
(lagu-lagu) diciptakan khusus yang pada umumnya merupakan
gending ciptaan baru, tahun 1973.
Gambar 1.22 Wayang Jawa (Jaka Tingkir)
50
2.3.7 Wayang Moderen
Kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial dalam
media pewayangan kian meningkat. Wayang-wayang purwa,
Madya, dan wayang Gedog hasil karya pujangga-pujangga kuna sudah
tak sesuai lagi untuk keperluan yang khusus. Kemudian diciptakan
wayang baru yang bisa memadai faktor-faktor komunikasi yang
akan diperagakan seperti wayang Kancil untuk media pendidikan
anak-anak, wayang Suluh untuk media penerangan, wayang Wahyu
untuk media dakwah kerohanian dan wayang-wayang lainnya.
2.3.7.1 Wayang Wahana (1920)
R.M. Sutarto Harjowahono asal Surakarta pada tahun 1920
membuat wayang untuk cerita-cerita biasa yang bersifat wajar (realistis).
Bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan diberi
pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya berdasarkan
cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut dapat
dikatakan semacam wayang sandiwara. Kemudian wayang sandiwara
tersebut menjadi wayang perjuangan dan ketika Kementerian
Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan, wayang
tersebut menjadi wayang Suluh (1946 / 1947).
Dewasa ini wayang Suluh sudah sangat jarang atau tidak
pernah berpentas lagi dan tokoh-tokoh wayang tersebut terdiri antara
lain Bung Karno Presiden RI pertama (Ir. Sukarno), Dr. Schermerhorn
yaitu wakil kerajaan Belanda dalam zaman revolusi kemerdekaan
RI, serta tokoh-tokoh TNI lainnya yang sudah lama meninggal.
Gambar 1.23 Wayang Suluh
(Bung Karno, Bung Hatta, Schermerhorn serta orang belanda lainya)
51
2.3.7.2 Wayang Kancil (1925)
Pencipta wayang Kancil ini adalah orang Cina yang bernama
Bo Liem dan pembuatnya adalah Lie Too Hien pada tahun 1925.
Pementasan wayang Kancil tersebut menggunakan kelir, yang pada
sebelah kiri dan kanannya bergambar hutan. Wayang-wayangnya
berbentuk binatang-binatang buruan, seperti macan, gajah, kerbau,
sapi, binatang merangkak seperti buaya, kadal, binatang melata seperti
ular, dan binatang unggas seperti semua jenis burung, serta binatang-
binatang lainnya yang berhubungan dengan dongeng Kancil.
Gambar berupa orang untuk wayang tersebut hanya sedikit
dan jumlah wayangnya-pun sekitar 100 buah. Wayang-wayangnya
terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging serta digambar secara
realistis, fantastis yang disesuaikan dengan pergelaran wayangnya.
Adapun cerita cerita untuk pergelaran wayang Kancil tersebut
diambil dari kitab Serat Kancil Kridomartono karangan Raden
Panji Notoroto atau dari karangan Raden Sosrowijoyo dari Distrik
Ngijon di Yogyakarta.
2.3.7.3 Wayang Wahyu (1960)
Sejumlah 225 tokoh pria dan wanita dalam perjanjian lama
dan perjanjian baru yang telah diwayang kulitkan, dipasang berjajar
didepan layar. Jajaran sebelah kanan diawali tokoh Samson sebagai
tokoh golongan putih, dan sebelah kiri diawali tokoh Goliot sebagai
tokoh golongan hitam. Gunungan atau kayon mengandung makna
diambil dari wahyu 22 (Yerosalim baru), perjanjian lama Sepuluh firman
dan Yohanes 14:6 Akulah jalan kebenaran dan hidup.
Wayang Wahyu tersebut diciptakan khusus untuk cerita-cerita
zaman para Nabi yang berkaitan dengan cerita-cerita dari kitab
Injil oleh Broeder Temotheus Marji Subroto pada bulan Desember
1960. Cerita-ceritanya diambil dari Al Kitab perjanjian Lama dilanjutkan
ke Kitab Perjanjian Baru untuk pendidikan umat Katolik.
Pertunjukan wayang Wahyu diiringi gamelan dari karawitan
Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (LEPKI). Grup ini mencoba
mengaransir nada diatonik (musik) nyanyian gerejawi ke dalam nada
pentatonik (gamelan). Suluk dan lainnya seperti pada wayang kulit
umumnya.
52
Gambar 1.24 Wayang Wahyu
2.3.7.4 Wayang Dobel
Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa
Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berdasarkan
cerita-cerita Islam yang diambil dari Serat Ambyah. Disebut
wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab, sedangkan bahasa
yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah gamelan,
dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawatan.
Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan garis
tepi warna putih.
Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah
terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, sedangkan
yang disamping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang
Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail adalah berbadan tiga yang melekat
menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua kaki bersila. Ketiga
badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan
Supiah.
Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang
Wahyu, yang ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wayang
Dobel menceritakan kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an.
2.3.7.5 Wayang Pancasila (1948)
Suharsono Hadisuseno adalah seorang pegawai Kementerian
Penerangan RI dari Yogyakarta telah membuat wayang yang
disebut wayang Pancasila, yang dibuat dari kulit ditatah dan disungging
berdasarkan wayang kulit Purwa. Wayang tersebut dipergelar53
kan untuk menyajikan ceirta-cerita yang berhubungan dengan perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda serta peristiwaperistiwa
Kemerdekaan RI dengan tujuan memberi penerangan mengenai
falsafah Pancasila, UUD serta GBHN. Wayang tersebut diberi
baju, celana panjang, dan mengenakan peci tentara, bahkan menyandang
pistol pula.
Nama-nama wayang berupa sindiran, seperti tokoh Jendral
Spoor dari tentara kerajaan Belanda, diberi nama senopati Rata Dahana
(spoor = kereta api). Pementasan wayang Pancasila dilaksanakan
dengan menggunakan kelir serta blencong untuk menimbulkan
bayangan.
Gambar 1.25 Wayang Pancasila (Bima)
54
2.3.7.6 Wayang Sejati (1972)
Drs. Wisnu Wardhana telah mengadakan pergelaran wayang
kulit dengan bahasa Indonesia. Disamping itu telah dipergelarkan
pula secara terbuka pada tanggal 22 Maret 1973 di Yogyakarta
untuk pertama kalinya, jenis wayang baru hasil ciptaannya ini yang
kemudian disebut wayang Sejati.
Daris segi konsepsi, wayang Sejati ini mencerminkan konsepsi
moderen yang berazaskan semangat kebangsaan dengan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya serta
cerita yang menghidupkan episode-episode sejarah tanah air.
2.3.7.7 Wayang Budha
Wayang Budha dengan seperangkat gamelan sebagai musik
pengiringnya, dipergelarkan untuk pertama kalinya dalam Pekan
Wayang Indonesia ke III. Pertunjukan tersebut diawali dengan nyanyian
vokal tanpa iringan musik (bowo) sebagai pembuka lagu.
Pementasan wayang Budha dimainkan tiga orang dalang.
Disamping sebagai dalang juga merangkap sebagai penari. Pertunjukan
wayang Budha menggunakan kelir selebar + 8 meter serta beberapa
wayang orang sekaligus sebagai dalang dan menarikan wayang-
wayang kulit dalam bentuk besar-besar yang diterangi oleh beberapa
penerangan dari api (obor).
2.3.7.8 Wayang Jemblung
Suatu jenis kesenian wayang yang dalam pergelarannya
tanpa alat peraga wayang dan tanpa perlengkapan lainnya, maka
wayang tersebut adalah wayang Jemblung, seperti juga salah satu
kesenian tradisional daerah Banyumas (Jawa Tengah) yang disebut
Dalang Jemblung. Wayang Jemblung menggunakan bahasa Jawa
biasa untuk hal yang sama, selain itu pergelaran wayang Jemblung
tersasa lebih sakral dan unik dengan sifatnya yaitu Jemblungan.
Ki Tumin Sumosuwito mengisahkan, wayang Jemblung tersebut
timbul untuk pertama kalinya di kelurahan Semanu, Karangmojo,
Gunung Kidul, Yogyakarta. Kata Jemblung tersebut berasal
dari julukan gemblung yang artinya edan atau gila. Cerita yang disajikan
diambil dari cerita wayang Purwa, Panji, atau Menak bahkan cerita
Ketoprak seperti babad tanah Jawa. Disamping melakukan dialog,
dalang juga menyuarakan suara gamelan sebagai iringannya.
2.3.7.9 Wayang Sadat (1985)
Suryadi Warnosuharjo, 48 tahun (1986) Klaten, Jawa Tengah,
selaku pencipta dan sekaligus dalang wayang Sadat, menyatakan
“kalau umat Nasrani memiliki wayang Wahyu, maka umat
Islam mempunyai wayang Sadat ”. Wujud wayang kulit Sadat, jelas
bukan berbentuk wayang Purwa ataupun wayang Gedog, juga bukan
berbentuk wayang Menak atau wayang Beber. Bentuk wayang Sadat
55
ber-wanda mendekati realistis dan hampir serupa dengan wayang
Suluh atau wayang Wahyu. Bahkan sebuah gending utama sengaja
diciptakan untuk pergelaran tersebut bernama gending Istigfar.
Suryadi menciptakan wayang Sadat tersebut pada pertengahan
tahun 1985 sebagai imbangan bagi umat Islam di Jawa yang
berkaitan dengan pengembangan sejarah agama Islam dalam penyebarannya
oleh para Wali, di samping itu untuk melanjutkan roh
Islam yang pernah terdapat dalam sejumlah gubahan pakeliran wayang
purwa di masa zaman Demak antara lain cerita Jimat Kalimusadha.
Kata Sadat berasal dari kata Syahadattain atau sebagai
akronim dari kata dakwah dan Tabligh. Misi pergelarannya bernafaskan
dakwah agama Islam serta melanjutkan tradisi para Wali yang
pernah berdakwah pada perayaan Sekatenan di zaman kerajaan Demak.
Sebagaimana diketahui, Sekatenan merupakan pembacaan
Syahadat secara massal.
Gambar 1.26 Wayang Sadat
(Sunan Ampel dan Raden Patah)
56
Gambar 1.27 Wayang Diponegaran
2.3.8 Wayang Topeng
Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga salah seorang
dari Wali Sanga menciptakan topeng yang mirip dengan wayang
Purwa pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: hangesti
sirna yakseng bawana). Topeng ciptaan Sunan Kalijaga tersebut
luas dan hingga dewasa ini masih hidup dan berkembang sebagai
seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di tempat topeng
tersebut berkembang.
Penampilan topeng tersebut dilakukan bersama dengan
pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog sehingga
pertunjukan itu dikenal sebagai wayang Topeng atau dengan sebutan
suatu nama daerah dimana wayang Topeng tersebut berkembang,
misalnya wayang Topeng Malang, wayang Topeng Madura,
wayang Topeng Cirebon, dan lain-lainnya. Kemudian sebutan topeng
menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebutan
wayang.
2.3.8.1 Topeng Malang
Topeng Malang merupakan suatu pertunjukan wayang Gedog,
yang pementasannya mengenakan topeng. Pertunjukan tersebut
berkembang di desa Kedungmonggo dan desa Polowijen, Blimbing,
Malang-Jawa Timur, yang kemudian disebut dengan nama Topeng
Jabung, yang akhirnya terkenal disebut Topeng Malang.
Pementasan wayang Topeng Malang inipun menggunakan
sebuah tirai (langse) yang terbelah di tengah untuk pintu keluar dan
masuknya penari-penari topeng. Cerita-cerita Panji, seperti Sayembara
Sada Lanang atau Walang Sumirang sering kali dipakai sebagai
cerita pementasan dengan pemakaian topeng tokoh-tokoh Panji,
seperti Panji Inu Kertapati, Klana Sewandana, Dewi Ragil Kuning,
57
Raden Gunungsari dan lain-lain. Hingga dewasa ini sebagai iringan
pergelaran menggunakan gamelan dengan laras Pelog.
2.3.8.2 Topeng Dalang Madura
Topeng dalang Madura merupakan salah satu kesenian
rakyat yang paling populer dan klasik di Madura. Kesenian tersebut
merupakan pengganti pergelaran wayang kulit yang telah lama lenyap
sebelum Jepang menduduki Indonesia dan tidak aneh bila bentuk
atau figur topeng yang dipakai sebagai modelnya diambil dari figur
wayang kulit. Begitu pula cerita yang ditampilkan pada umumnya
adalah Ramayana dan Mahabharata.
Diperkirakan kesenian rakyat Madura tersebut telah berkembang
sejak abad ke XV, pada saat Prabu Menaksunoyo, cucu
Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang memerintah Paropo,
Pamekasan, ingin menghidupkan pewayangan dan seni pedalangan
di Madura. Topeng Dalang yang di Madura lebih dikenal segabagai
topeng saja, merupakan perpaduan antara wayang kulit dan wayang
orang.
Seluruh dialog dari pergelaran topeng tersebut, diucapkan
oleh sang dalang, sedang para pemain wayangnya hanya menggunakan
bahasa isyarat mengikuti dialog ki dalang belaka, seolah-olah
pemain wayangnya yang berbicara. Gerakan setiap pelaku pentas
pada dasarnya berupa gerakan panto-mimik dan sendra tari yang disesuaikan
dengan isyarat dalang. Seperangkat gamelan yang terdiri
dari kendang, gambang, saron, gong, kenong, gender, ponggang,
bonang dan peking serta ada kalanya ditambah dengan terompet
khas Madura (Sronen). Sronen juga berarti satu perangkat gamelan
untuk kerapan sapi. Sejak zaman dulu setiap pementasan Topeng
Madura selalu diawali dengan penampilan tari Gambu. Menurut cerita
yang terdapat dalam babad Sumenep, tari Gambu tersebut sudah
sering dipentaskan sejak zaman pemerintahan Arya Wiraraja (Adipati
Sumenep) yang diangkat oleh Kartanegara (1268 – 1292), raja Singasari
pada tahun 1269.
Perjalanan Topeng Dalang tersebut berawal sebagai kesenian
kraton dan dalam buku babad Madura dinyatakan bahwa teater
topeng berkembang pada abad ke-XV di Jamburingin, Pamekasan-
Madura, atas prakarsa Prabu Menaksunoyo, seorang bupati di bawah
kerajaan Majapahit.
2.3.8.3 Topeng Jawa
Ciri khas dari suatu tari, baik tari Jawa, Sunda, ataupun
Bali, adalah penggambaran karakter atau perwatakan manusia dalam
bentuk tari. Perwatakan tersebut dituangkan dalam bentuk tari,
dari tipe satriya, wanita, raksasa ataupun tipe binatang dan sebagainya
yang menggambarkan tingkah laku makluk-makluk hidup pada
masa lampau.
58
2.3.8.4 Wayang Wong
Wayang Wong Yogyakarta yang diciptakan oleh Hamengku
Bhuwana I (1755 – 1792) merupakan dramatari penuh dengan karakteristik.
Visualisasi karakter dituangkan dalam bentuk ragawi penari,
tata busana, tata rias serta gerak.
Pengekspresian gerak dari tokoh-tokoh wayang untuk peran
kera, raksasa dalam pentas Ramayana dan Mahabharata dilengkapi
pula dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk wanita serta
peran satria tidak menggunakan topeng. Dalam topeng Jawa, kita
jumpai dua macam jenis topeng untuk pementasan Ramayana versi
Yogyakarta, yaitu jenis raksasa dan jenis kera. Begitu juga topeng
untuk pementasan cerita Panji antara lain jenis Klana, Panji dan Panakawan.
2.3.8.5 Topeng Cirebon
Cirebon memberi kesan seperti asal-usul namanya caruban
yang berarti campuran. Suatu misal pada sebuah benda antik atau
pusaka yang biasa dianggap keramat dan ada isinya karena peninggalan
para leluhur yang berupa ukiran berhuruf arab dan berisikan
petikan ayat suci Al Quran, mewujudkan tokoh wayang Purwa Hindu-
Budha dilengkapi dengan pola hias seperti batu padas dan cawan
adri dari Cina. Tiga unsur kebudayaan tersebut diantaranya yaitu kebudayaan
Islam, Jawa, dan Cina, telah mempe-ngaruhi kebudayan
dan kesenian yang ada di Cirebon, sehingga Cirebon merupakan
tempat pertemuan beberapa corak kebudayaan.
Topeng Cirebon berkembang di desa-desa, meskipun ciri-ciri
sebagai unsur kesenian yang lahir di kraton masih menjadi pola dasarnya.
Konsep yang mendasar pada tari Topeng Cirebon tersebut
bersifat mengalir, yang dapat dihubungkan dengan gerak tari atau
kesenian wayang Golek Jawa Barat, hemat gerak dengan bentuk
gerak yang patah-patah.
2.3.8.6 Topeng Betawi
Pementasan Topeng Betawi sangat berbeda dengan pementasan
topeng-topeng lainnya seperti Topeng Malang, Topeng
Madura, ataupun Topeng Jawa (Yogyakarta) yang dalam pementasannya
menggunakan topeng. Pengertian topeng di sini bukanlah
kedok atau tutup muka, melainkan sebuah pertunjukan belaka dan
pementasanyapun tidak ada hubunganya dengan cerita-cerita pewayangan
baik Purwa maupun Gedog Panji.
Pementasan teater-teater topeng tersebut pada umumnya
dilakukan sebagai hiburan rakyat di pedesaan dengan cara mengamen
(pertunjukan keliling) atau panggilan karena hajatan. Sebagai
alat penerangan digunakan sebuah lampu coleng yang bersumbu tiga
dan bertiang kaki tiga pula setinggi dada manusia atau dengan
penerang lampu petromak.
59
Tema cerita dari teater-teater rakyat tersebut tidak lepas
dari kehidupan rakyat kecil dengan segala penderitaannya, anganangan
serta impiannya antar lain tentang kebahagiaan rumah tangga
dan lain-lain. Sebagai iringan pergelaran digunakan gamelan yang
bernadakan ke Sundaan, dan sebelum pertunjukan dimulai terlebih
dahulu di adakan pertunjukan tari topeng oleh penari wanita sebagi
tari pembuka, dan besar kemungkinan, karena adanya tari topeng
sebagai pembuka pentas itulah, maka teater rakyat tersebut dinamakan
Topeng.
2.4 Keindahan Wayang
Wayang adalah suatu karya kerajinan disamping karya seni
yang terbuat dari bahan kulit kerbau yang telah dikeringkan dan ditipiskan
menurut kepentingan, dan dipahat secara halus dengan motip-
motip yang khas, untuk selanjutnya diwarnai/disungging dengan
paduan warna yang indah dan khas pula, selanjutnya diberi tangkai
(gapit) yang dibuat dari tanduk (sungu) kerbau yang dikerjakan sangat
halus.
Pada umumnya semua jenis wayang kulit pada penampilannya
menggunakan kelir. Boneka wayang kulit menurut bentuk
dan sifatnya adalah merupakan gambar dekoratif yang berdimensi
dua, sehingga memungkinkan dalam pementasannya menggunakan
kelir. Karena terbawa oleh sifat dan bentuk wayangnya, maka dalam
cara memainkan dan menarikan wayang tersebut hanya diperlukan
ruang gerak yang sangat terbatas. Kemiskinan gerak wayang kulit
dapat dilihat dalam waktu mengisi ruang pentas tersebut, misalnya
wayang dapat digerak-gerakan ke depan, ke belakang, ke atas dan
ke bawah. Karena sifat wayang kulit sebagai gambar dekoratif dan
berbentuk dua dimensi, maka hanya dapat dilihat dengan jelas dari
satu arah pandangan saja.
2.4.1 Wujud Wayang
Bila dilihat dari wujudnya dan keadaanya, wayang dapat
dibedakan sebagai berikut, menurut bahannya terbuat dari kulit binatang,
kayu, kain, seng, kerdus, rumput dan sabagainya. Menurut
ukurannya adalah wayang Sabet yaitu wayang yang biasa dipakai
dalam pergelaran, wayang Jujudan adalah wayang yang diperpanjang
dari pola aslinya, wayang Kidang Kencana adalah jenis wayang
yang berukuran kecil, wayang Kaper yaitu wayang yang berukuran
lebih kecil dari wayang sabet.
Menurut bentuknya adalah wayang Gagahan yaitu tokoh-tokoh
wayang gagah, wayang Alusan adalah tokoh wayang alus, wayang
Gecul yaitu wayang yang bersifat humor, wayang Oyi yaitu wayang
putren yang paras mukanya menunduk (luruh), wayang Endel
adalah wayang putren yang paras mukany mendongak (lanyap), wa60
yang Bapang adalah wayang gagahan tetapi agak gecul, wayang
Ricikan atau rampogan yaitu wayang yang semata-mata tidak melukiskan
tokoh dan sebagainya. Menurut tingkatan jenisnya yaitu wayang
Dewa, wayang Pendeta, wayang Katongan, wayang putra atau
putri raja (Putran), wayang Bayen (bayi), wayang Raksasa (raseksa),
wayang kera (Kapi), wayang binatang (Khewan).
Menurut pemakaian dan penyusunannya yaitu wayang Sabetan
adalah wayang yang dimainkan, wayang Dudahan adalah wayang
yang tidak disimping, wayang Simpingan adalah wayang yang
ditancapkan berjajar pada gedebok sebelah kanan dan kiri tempat
dalang duduk di pentas. Menurut Gagrag adalah wayang Kulit Purwa
Mataram, wayang Kulit Purwa Surakarta, wayang Kulit Jawatimuran,
wayang Golek Sunda, wayang Pesisiran dan sebagainya.
2.4.2 Wanda Wayang
Wanda adalah ekspresi terutama pada wajah dan bentuk
tubuh dari tokoh wayang yang mengungkapkan watak dan kepribadian
dari tokoh wayang tersebut untuk mendukung suasana-suasana
tertentu dalam sebuah adegan. Sebagai contoh, Prabu Baladewa
mempunyai wanda sebagai berikut, Baladewa wanda Paripeksa, digunakan
untuk adegan yang memiliki suasana normal, tidak dalam
keadaan marah. Pada saat adegan Prabu Baladewa menghadiri suatu
perhelatan misalnya upacara perkawinan, maka dipergunakan
Baladewa wanda Jagong, Baladewa wanda Geger dipergunakan pada
saat adegan peperangan/pertempuran, sedangkan untuk mendukung
adegan dengan suasana marah, digunakan Baladewa wanda
Kaget (terkejut).
Secara umum wanda wayang merupakan kesatuan dari
berbagai unsur yang terdiri dari posisi menunduk atau tengadahnya
muka/wajah wayang, ukuran dan bentuk sanggul, ukuran dan bentuk
mata, kondisi badan, yaitu ukuran dan posisinya, ukuran dan keseimbangan
leher, sikap dan keseimbangan bahu, ukuran bentuk perut,
dan busana yang dipakai.
Dari hal yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa dari setiap satu tokoh wayang dapat memiliki bermacam-
macam wanda dan bentuk serta ukuran untuk mendukung disetiap
suasana adegan yang dibutuhkan. Memang ada beberapa perbedaan
tentang wanda dari gaya pedalangan tiap-tiap daerah, misalnya
antara pedalangan gaya Surakarta dengan pedalangan gaya Jawatimuran.
Muka/wajah tokoh wayang Bima atau Wrekodara pada
gaya Surakarta berwarna hitam, namun pada gaya Jawatimuran berwarna
merah, dan lain-lain. Perbedaan tersebut tidak berarti ada
yang salah dari salah satu daerah, namun justru menunjukkan kekayaan
karakter budaya dari daerah yang bersangkutan.
Berikut ini akan disampaikan beberapa contoh dari wanda
tokoh-tokoh wayang beserta ciri-cirinya, antara lain Batara Guru
61
wanda Karna. Ciri-ciri dari Batara Guru wanda Karna adalah muka
lebar agak menunduk, mata tegak, leher lebih condong ke depan, tangan
4 (empat) buah yang 2 memegang cis, dan yang 2 lagi bersilang,
dada tegak, mahkota topongan, praba kecil, busana bagian bawah
menggunakan sarung dengan penutup ukiran daun patran.
Fungsi dari tokoh wayang Batara Guru Wanda Karna adalah
untuk adegan dalam pathet Manyura, adegan Srambahan, artinya
dapat digunakan untuk segala suasana, adegan tidak dalam tahta/
singgasana, adegan jaman Prabu Parikesit.
Batara Guru wanda Rama, ciri-cirinya sebagai berikut muka
menunduk, leher panjang, menggunakan mahkota tinggi seperti
yang digunakan Prabu Kresna, posisi pundak tegak, posisi dada tegak,
busana bagian bawah menggunakan celana panjang, bersepatu
dan dipenuhi dengan ukiran daun patran. Fungsi dari Batara Guru
wanda Rama digunakan untuk adegan Jejer Kahyangan, atau adegan
batara guru duduk di singgasana.
Durga wanda Wewe disebut juga wanda Belis yang gunanya
untuk adegan-adegan srambahan. Sedangkan ciri-cirinya adalah,
muka menunduk, mata 2 (dua) buah berbentuk bulat, badan gemuk
seksi (bentrok), sanggul kelingan, pundak condong ke depan,
pundak bagian belakang lebih tinggi, busana bagian bawah dilingkari
daun patran.
Durga Wanda Surak sama seperti Durga wanda Wewe.
Durga Wanda Surak juga digunakan untuk adegan srambahan. Perbedaan
keduanya terletak pada bentuk tubuh, busana serta pemunculan
dan pembedaan karakter pada suasana adegan yang berbeda.
Sedangkan ciri-cirinya adalah muka tegak, pundak tegak, mata satu
buah berbentuk bulat, memakai praba, sanggul gembelan, busana
bagian bawah dilingkari daun patran.
Kresna Wanda Rondon digunakan untuk adegan jejer kerajaan
dalam pathet Nem. Sedangkan ciri-cirinya adalah wajah agak
menunduk, posisi mata agak tegak, posisi leher condong memanjang,
dada tegak, pundak tegak, badan berwarna prada emas dengan
bentuk agak gemuk.
Kresna Wanda Surak digunakan untuk adegan-adegan
srambahan. Ciri-cirinya adalah wajah lancap dengan posisi menengadah,
mata tegak, posisi bagian bawah agak turun, leher panjang,
posisi pundak bagian depan agak lebih tinggi dari yang belakang,
badan berwarna hitam dengan bentuk agak ramping, dada agak condong
ke belakang.
Gathotkaca Wanda Guntur digunakan untuk adegan srambahan
dalam pathet nem atau pada adegan terbang. Ciri-cirinya adalah
wajah menunduk, bentuk mulut ngawet (tampak seperti ditarik ke
belakang), ukuran sanggul agak besar, mata berukuran kecil, leher
condong ke depan, pundak tegak, dada membusung besar, seluruh
62
tubuh berwarna prada emas, jangkah (jarak langkah kaki) lebar, kaki
bagian belakang bertumpu mundur.
Gathotkaca wanda Kilat digunakan untuk adegan perang.
Ciri-cirinya adalah muka/wajah sedikit melongok tegak, ukuran sanggul
kecil, muka agak sempit, leher agak besar, posisi pundak depan
dan belakang sejajar datar, ukuran bentuk tubuh sedikit gemuk dan
tinggi, badan berwarna hitam, praba agak kecil dengan garuda
mungkur juga kecil.
Wanda tokoh-tokoh wayang yang dicontohkan tersebut merupakan
sebagian kecil dari wanda-wanda yang sesungguhnya masih
jauh lebih banyak lagi, misalnya tokoh wayang Arjuna tidak kurang
memiliki 14 macam wanda yaitu Arjuna wanda Bronjong, Arjuna
wanda Gendreh, Arjuna wanda Janggleng, Arjuna wanda Jimat, Arjuna
wanda Kadung, Arjuna wanda Kanyut, Arjuna wanda Kedhu, Arjuna
wanda Kinanthi, Arjuna wanda Lintang, Arjuna wanda Malat, Arjuna
wanda Malatsih, Arjuna wanda Mangu, Arjuna wanda Mangungkung,
dan Arjuna wanda Muntab.
Sedangkan tokoh wayang Bimasena memiliki 16 macam
wanda yaitu Bimasena wanda Bambang, Bimasena wanda Bedhil ,
Bimasena wanda Bugis, Bimasena wanda Gandhu, Bimasena wanda
Gurnat, Bimasena wanda Jagong, Bimasena wanda Jagor, Bimasena
wanda Kedhu, Bimasena wanda Ketug, Bimasena wanda Lindhu,
Bimasena wanda Lindhu Panon, Bimasena wanda Lindhu Bambang,
Bimasena wanda Lintang, Bimasena wanda Panon, Bimasena
wanda Mimis, Bimasena wanda Thathit.
Tokoh wayang yang banyak digemari dan memiliki peranan
yang juga banyak dalam mendukung suasana adegan memiliki wanda
yang banyak pula. Mungkin Bimasena dan Arjuna memiliki wanda
yang paling banyak dibandingkan dengan tokoh wayang yang
lain. Namun ada juga wayang yang tidak memiliki wanda karena tidak
populer.
2.4.3 Busana Wayang
Busana yang dikenakan oleh berbagai tokoh wayang memiliki
ragam nama dan bagian yang berbeda-beda dari tiap-tiap tokoh
yang menunjukkan tingkat kehidupan sosial dan karakter yang dimiliki
oleh masing-masing tokoh wayang, dan dari masing-masing
bagian busana tersebut memiliki jenis yang beragam pula, yaitu :
2.4.3.1 Busana Bagian Atas hingga Pinggang.
Busana bagian atas ini meliputi tutup kepala, sanggul, jamang,
sumping, kalung, kelat bahu, sabuk. Tutup kepala, jenis-jenisnya
adalah Mahkota (Makutha), Topong (raja muda/adipati), Kethu,
Kopyah mekena, Serban, Kopyah, dan Kethu depak.
63
Gambar 1.28 Makutha (Mahkota)
Gambar 1.29 Topong
64
Gambar 1.30 Batara Narada dengan mengunakan Serban
Gambar 2.1 Serban Pendeta
65
Gambar 2.2 Kopyah Panakawan
Gambar 2.3 Kopyah Mekena tanpa jamang
66
Gambar2.4 Kopyah berjamang sembuliyan dan menggunakan
garuda mungkur.
Jenis-jenis Sanggul (gelung) yaitu Sanggul Supit Urang (gelung
lengkung). Yang dimaksud dengan sanggul supit urang atau gelung
lengkung, ialah bentuk gelung yang melingkar dan melengkung
ke atas seperti bentuk capit udang. Sanggul jenis ini terbagi atas 3
(tiga) bagian, yaitu Supit Urang polos tanpa hiasan seperti yang dikenakan
oleh tokoh wayang Anoman, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa,
dan lain-lain yang sejenis.
Gambar 2.5 Gelung Supit Urang Polos
Supit Urang garuda mungkur, ialah bentuk gelung yang pada
bagian belakangnya menggunakan hiasan garuda mungkur seperti
yang dikenakan oleh tokoh wayang Setyaki, Samba, Abimanyu,
dan lain-lain yang sejenis
67
Garuda
mungkur
Gambar 2.6 Gelung supit urang dengan garuda mungkur.
Supit Urang Sanggan, ialah bentuk gelung yang bersumping
seperti yang terlihat pada wayang Nakula dan Sadewa
Gambar 2.7 Gelung supit urang sanggan.
Sanggul Keling terdapat 2 macam bentuk dari sanggul keling,
yaitu Gelung keling putri (putren) seperti yang dikenakan oleh
tokoh wayang Dewi Drupadi, Sumbadra, Supraba, dan kuntinalibrata.
Gelung keling putra seperti yang dikenakan oleh tokoh wayang
Prabu Puntadewa, prabu Drupada, Raaden Jayajrata, dan lain-lain
yang sejenis.
68
Gambar 2.8 Gelung keling pada wayang putri
Gambar 2.9 Gelung keling tanpa jamang, pada wayang putra
69
Gambar 2.10 Sanggul Keling menggunakan jamang dan garuda
mungkur
Gambar 2.11 Sanggul gembel menggunakan jamang dan garuda
mungkur
70
Gambar 2.12 sanggul bundel dengan garuda mungkur
Gambar 2.13 Sanggul ukel pada wayang putri
71
Jamang
Garuda mungkur
Jamang
Jamang sebenarnya merupakan ikat kepala apabila tokoh
wayang tersebut tidak mengenakan mahkota. Penggunaan jamang
pada mahkota untuk menandakan bahwa tokoh wayang tesebut memiliki
jabatan, misalnya wayang raja dan atau satria.
Jamang memiliki beberapa bentuk yaitu Jamang bersusun
2 (dua). Jumlah susunan tersebut berdasarkan tingkat keagungan tokoh
wayang raja. Jamang bersusun tiga atau bersusun dua tetapi
menggunakan hiasan garuda mungkur. Bentuk jamang dengan ragam
hias tanaman rambat, biasanya dekenakan oleh wayang satria
berwajah luruh. Jamang pancaran cahaya, ialah bentuk jamang dengan
motif cahaya yang sedang memancar.
Gambar 2.14 Mahkota (makutha) dengan jamang bersusun tiga
Gambar 2.15 Jamang bersusun tiga dengan garuda mungkur
72
Gambar 2.16 bentuk jamang dengan ragam hias tanaman rambat
Kilat/kelat Bahu ialah jenis hiasan yang dikenakan pada bagian
lengan yang menunjukkan tingkat jabatan atau harkat dan martabat
dari tokoh wayang. Ada 4 (empat) macam bentuk kelat bahu,
yaitu Kelat bahu Naga mangsa, Kelat bahu Garuda mangsa, Kelat
bahu Calumpringan, Kelat bahu Candrakirana.
Gambar 2.17 Kelat bahu Nagamangsa
73
Gambar 2.18 Kelatbahu Candrakirana
Gambar 2.19 Kelat bahu Calumpringan
74
Sumping merupakan hiasan pada daun telinga yang difungsikan
sebagai penjepit mahkota atau jamang. Jenis-jenisnya adalah
Sumping Surengpati, Sumping waderan, Sumping bunga kluwih,
Sumping pudak sinumpet, Sumping gajah oling, Sumping bunga pacar,
Sumping bunga telekan
Gambar 2.20 Sumping Surengpati
Gambar 2.21 Sumping Waderan
75
Gambar 2.22 Sumping Sekar Kluwih
Gambar 2.23 Sumping Pudak Sinumpet
76
Kalung merupakan hiasan pada leher, yang apabila ditilik
dari bentuknya dapat menunjukkan tingkat jabatan, harkat dan martabat
dati tokoh wayang tersebut. Terdapat beberapa jenis kalung
yaitu Kalung kebomengah atau kalung makara, Kalung tanggalan
atau kalung roda, Kalung ulur-ulur naga karangrang, Kalung saputangan,
Kalung selendang, Kalung genta.
Gambar 2.24 Kalung makara/kebo mengah
Gambar 2.25 Ulur-ulur Naga karangrang
77
Gambar 2.26 Kalung Saputangan
Gambar 2.27 Kalung Selendang
78
Adapun jenis-jenis ikat pinggang adalah Sembuliyan tunggal,
Sembuliyan rangkap, Lipatan kain (Suwelan), Sabuk setagen,
Sabuk pending, Sabuk kain (kemben), Sabuk rangkap, Sabuk sembung.
Gambar 2.28 Sembuliyan Tunggal
Gambar 2.29 Sembuliyan Rangkap
79
Gambar 2.30 Lipatan Kain (suwelan)
Gambar 3.1 Sabuk Kain (kemben)
80
Gambar 3.2 Sabuk Sembung
Gambar 3.3 Sabuk Stagen
2.4.3.2 Busana Bagian Bawah
Busana bagian bawah dapat dibedakan dari tingkat sosial,
jabatan dari tokoh wayang tersebut, misalnya raja, satria, pendeta,
punggawa, panakawan. Selain dibedakan dari kedudukan atau jabatan
masing-masing tokoh wayang dapat juga dilihat dari golongan
wayang yaitu wayang bokongan (bokong = pantat), wayang jangkahan
dan wayang raksasa.
Wayang Bokongan dengan tepi kain alusan (halus), sarung
keris jenis manggaran dengan untaian bunga. Tokoh wayang yang
menggunakan busana jenis ini yaitu golongan satria dengan bentuk
mata gabahan (gabah = padi), misalnya Arjuna dan Basukarna, golongan
satria dengan bentik mata kedelai misalnya Narasoma,dan
Matswapati, golongan satria dengan bentuk mata bulat misalnya
Kurupati.
81
Tepi kain
halus
Tepi kain halus
Manggaran
Gambar 3.4 Tatahan Manggaran
Wayang bokongan bertepi kain halus dalam bentuk tatahan.
Tokoh wayang yang menggunakan busana jenis ini memiliki watak
dan karakter yang lembut dan sederhana, misalnya Arjuna sepuh
(tua). Wayang bokongan dengan sembuliyan adalah busana bagi tokoh
wayang golongan satria muda, misalnya Permadi, Samba, Abimanyu,
dan sebagainya. Wayang bokongan bertepi sembuliyan, keris
manggaran dengan untaian bunga serta uncal.
Gambar 3.5 Wayang Bokongan tepi kain halus
82
Sembuliyan
Bokongan miring
Gambar 3.6 Wayang Bokongan dengan sembuliyan
Wayang bokongan bertepi sembuliyan, keris manggaran
dengan untaian bunga serta uncal. Busana jenis ini pada umumnya
merupakan busana yang dikenakan oleh para raja atau satria putra
raja, misalnya Pandudewanata, Prabu Sentanu, dan sebagainya.
Wayang bokongan miring atau lonjong. Busana jenis ini biasanya dikenakan
oleh raja, misalnya Prabu Drupada, Puntadewa, dan sebagainya.
Gambar 3. 7 Wayang Bokong Miring
83
Uncal kencana
Uncal Wastra
Uncal Kencana
Wayang Jangkahan dengan busana bagian bawah menggunakan
uncal kencana. Biasanya dikenakan oleh tokoh wayang golongan
putra raja atau satria, misalnya Abimanyu, Rama, dan sebagainya.
Gambar 3.8 Uncal Kencana
Gambar 3.9 Uncal Wastra
84
Uncal wastra
Uncal kencana
Wayang jangkahan dengan busana bagian bawah menggunakan
uncal wastra dan uncal kencana. Biasanya dikenakan oleh
golongan raja, misalnya prabu Baladewa, Prabu Boma Narakasura,
dan lain-lain. Wayang jangkahan dengan busana bagian bawah
menggunakan jubah, bersepatu, keris tersisip (yothe) di depan. Busana
jenis ini biasa dikenakan untuk tokoh wayang golongan dewa
dan pendeta, misalnya Resi Abiyasa, Brama, Wisnu, dan lain-lain.
Uncal merupakan kelengkapan busana bagian bawah yang
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu uncal kencana dan uncal wastra
(wastra = selendang). Uncal kencana biasa dikenakan oleh golongan
wayang satria dan golongan wayang putran (putera raja, putera pendeta,
patih, dan sebagainya), serta wayang golongan raja.
Wayang golongan raja jenis bokongan hanya mengenakan
uncal kencana, sedangkan wayang golongan raja jenis jangkahan
mengenakan uncal kencana dan uncal wastra.
Gambar 3.10 Uncal Wastra dan Uncal Kencana
2.4 Wayang Kayon
Wayang kayon juga disebut wayang gunungan, karena
bentuknya yang mirip sebuah gunung. Wayang tersebut adalah ciptaan
Kanjeng Sunan Kalijaga tokoh wali zaman keraton Demak. Hasil
daya cipta tersebut tersirat suatau ungkapan bergeloranya semangat
yang menuju ke satu cita-cita demi keselamatan jiwa manusia
untuk dapat terhindar dari bencana karena nafsu yang tak terkendalikan,
dengan mensucikan diri berdasarkan ke-Imanan. Ungkapan tersebut
kecuali tersirat pada susunan Candrasengkala yang diperuntukkan
sebagai data tahun di buatnya wayang kayon itu, yang berbunyi:
“Geni dadi sucining jadad” (th. 1443 C), juga sesuai dengan wak85
tu sedang bergeloranya penyebarluasan agama Islam yang dipelopori
oleh para Wali. Kata-kata “kayon” berasal dari bahasa Arab “Al
Khayu” yang artinya hidup, atau berasal dari bahasa kawi “Kayun”
yang artinya karsa/karep/kehendak, atau keinginan. Dengan demikian
kata-kata kayon sedikit banyak telah mengungkapkan pula tujuan
atau maksud yang terkandung di dalam bentuk wayang tersebut,
sehingga dengan adanya kayon maka dapat diambil kesimpulan
bahwa siapapun yang masih mempunyai keinginan berarti masih
mempunyai kehidupan.
Berbeda dengan wayang-wayang lainnya, wayang kayon
adalah sebuah wayang yang penuh dengan beraneka macam gambar/
pahatan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah
bentuk perwujudan yang indah dan serasi dengan pewarnaan
merah kehitam-hitaman atau gambar api yang berkobar, dan atau air
samudra yang kibiru-biruan.
Pada saat kayon belum bergerak tanda belum ada kehidupan
dan sebaliknya pada saat kayon bergerak tanda sudah ada kehidupan.
Isi kayon (isen-isen kayon) ada tujuh bagian. Tujuh bagian
tersebut dalam kehidupan melambangkan jumlah hari yaitu minggu,
senin, selasa, rabu, kamis ,jumat, sabtu dan juga dilengkapi dengan
kebutuhan sehari-hari. Di samping tujuh bagian tersebut sama dengan
jumlah hari, akan tetapi sesuai dengan wujud pada kayon, maka
bagian-bagian tersebut juga berarti isi yang ada pada kayon.
Isen-isen tersebut adalah pohon, binatang, samudra, gapura, penjaga,
warna-warni cahaya, gapit.
Pohon dengan dahan-dahan yang bercabang-cabang beserta
daun dan bunganya, penuh dengan binatang dan jenis unggas
atau burung yang hinggap di pohon. Di bawah pohon digambarkan
adanya berbagai binatang buas seperti macan, banteng dan lainnya.
Ada pula yang diberikan seekor ular besar (ular naga) yang melilit
pada pokok pohon. Adapun tafsir mengenai gambar pohon pada wayang
kayon baik dari segi nama atau sebutan maupun arti yang terkandung
di dalamnya, antara lain pohon hidup yaitu sumber hidup,
pohon kebahagiaan yaitu sumber kebahagiaan, pauh jenggi/puh
jenggi yaitu sumber keagungan, waringin sungsang yaitu sumber hidup
berada di atas, kalpataru adalah sumber/induk keagungan/ keluhuran,
pohon purwaning dumadi adalah sumber asal mula makluk hidup,
pohon sangkan paran yaitu sumber asal dan tujuan hidup. Adapun
tafsir mengenai pohon dengan lilitan seekor ular adalah sebagai
lambang badan jasmani dan rohkhani yang bersatu, yang diibaratkan
sebagai kayu mati rinambatan hardawalika.
Gambar binatang dan unggas atau burung-burung yang
bermacam-macam adalah menggambarkan macam tingkatan hidup
yang terdapat di dunia ini. Di bawah pohon terdapat gambar kolam/-
beji sebagai lambang air, yaitu salah satu anasir terjadinya manusia.
Pada bagian bawah wayang kayon terdapat pintu gerbang. Gambar
86
pintu gerbang tersebut menggambarkan pintu masuk ke alam kebahagiaan
abadi, yaitu akhir sebuah kehidupan yang menjadi tujuan
setiap manusia yang hidup di alam ini.
Yang dimaksud penjaga adalah dua raksasa di sebelah kanan
dan sebelah kiri gapura yang bersenjatakan pedang dan perisai.
Hal tersebut menggambarkan nafsu manusia. Untuk dapat memasuki
gapura haruslah melalui dan mengalahkan kedua penjaga pintu
yang terdiri dari dua raksasa sebagai lambang nafsu indria.
Warna yang ada di sisi lain diantaranya adalah warna merah
sebagai lambang api, warna biru melambangkan air warna hitam
atau coklat melambangkan tanah, dan lain-lainya. Dengan demikian
pada wayang kayon terdapat gambar-gambar yang dimaksudkan untuk
menggambarkan atau sebagai lambang keempat anasir yang
menyangkut terjadinya manusia. Keempat anasir tersebut adalah tanah,
api, air dan angin (bumi, geni, banyu lan angin).
Gapit adalah tangkai untuk pegangngan pada wayang agar
wayang dapat digerakan menurut kebutuhan serta dapat berfungsi
seperti apa yang diinginkan. Gapit pada wayang kayon melambangkan
daya berpikir manusia pada saat hidup di dunia bahwa manusia
hidup di wajibkan untuk berusaha sesuai dengan kemampuan masing-
masing agar tercapai apa yang di harapkan dan dicita-citakan.
2.5.1 Bentuk Kayon
Apabila di amati secara jelas maka kayon terbagi menjadi
dua bentuk. Pembagian bentuk tersebut adalah setengah bagian
atas berbentuk segitiga dan setengah bagian bawah berbentuk segiemat.
Bilangan dua (2) tersebut apabila dihubungkan dengan lingkungngan
maka melambangkan isi dunia (isen-isene donya), contoh
waktu yaitu siang dan malam, jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan,
tempat yaitu atas dan bawah, sisi yaitu kanan dan kiri, kelakuan
yaitu baik dan buruk, hukum yaitu benar dan salah, rasa yaitu
pahit dan manis, suasana yaitu senang dan susah, ukuran yaitu berat
dan ringan, dan lain-lainnya.
2.5.1.1 Bentuk Segitiga
Bentuk kayon setengah bagian atas adalah bentuk segitiga
yang mempunyai tiga sisi. Angka tiga melambangkan perjalanan kehidupan,
yaitu permulaan, pertengahan, akhiran (purwa, madya, wasana),
yang artinya adalah bahwa, kehidupan itu dari tidak ada, menjadi
ada, dan kembali menjadi tidak ada yang lebih dikenal dengan
istilah sangkan paraning dumadi yaitu lahir, hidup dan mati. Ucapan
dalang pada saat wayang sumbar khususnya dalang Jawatimuran,
akan menyebutkan tiga hal sebagai peringatan terhadap musuh. Tiga
hal peringatan tersebut adalah sebagai berikut “pisan tak sepura,
pindho kalamerta, ping telu rad pengadilan”, yang artinya pada saat
87
bertempur di meda perang, kekalahan pertama akan di maafkan, kekalahan
kedua anjuran untuk memilih maju atau mundur, kekalahan
ketiga berarti mati.
2.5.1.2 Bentuk Segiempat
Bentuk kayon setengah bagian bawah adalah segiempat
yang menunjukan arah kiblat, yaitu utara, selatan, timur, barat. Dalam
kehidupan melambangkan nafsu pada diri manusia, yaitu aluamah,
supiah, mutmainah dan amarah (empat nafsu manusia).
Sedangkan bentuk keseluruhan kayon adalah meruncing ke
atas, hal tersebut dapat diartikan bahwa semua kehidupan akhirnya
akan menyatu dan kembali menuju ke Yang Satu, yaitu ke Yang Maha
Kuasa.
Gambar 3.11 Kayon sebagai lambang api
88
Gambar 3.12 Kayon Sebagai lambang dunia
89
Gambar 3.13 Posisi kayon sebelum pertunjukan dimulai
90
Gambar 3.14 Posisi Kayon sebelum pertunjukan dimulai
(Gagrag Jawatimuran)
91
2.5.2 Fungsi Kayon
Adapun yang dimaksud fungsi kayon adalah untuk melambangkan
dan menggambarkan berbagai hal yang tidak dapat di wujudkan
secara nyata sehingga hanya merupakan lambang dan gambaran-
gambaran saja. Fungsi kayon tersebut di antaranya adalah sebagai
lambang benda mati, contoh batu, tanah, air dan lain-lainnya,
sebagai lambang benda hidup, contoh manusia, binatang, pohon,
dan lain-lainnya, alih adegan atau beralih tempat, contoh dari adegan
jejer ke adegan bedholan, dari adegan paseban njaba ke adegan
perang, dan lain-lainnya, alih pathet yang di bagi menjadi tiga
bagian, yaitu pathet Wolu, pathet Sanga, pathet Serang (pedalangan
Jawatimuran), pathet Nem, pathet Sanga, pathet Manyura (pedalangan
Surakarta). Ketiga pathet tersebut melambang kehidupan
manusia di masa kecil atau kanak-kanak, di masa remaja, dan di -
masa tua.
92
BAB III
SASTRA PEDALANGAN
3.1 Sastra Pedalangan
Kandungan nilai sastra yang ada pada seni pertunjukkan
wayang adalah sangat luas. Pada hakikatnya seni pertunjukkan wayang
ini sebagai pelaku utamanya adalah dalang, maka sastra dalam
seni pertunjukkan ini sering disebut Sastra Pedalangan.
Sejak dalang manggung di bawah lampu penerang (blencong)
untuk memulai karya mendalangnya, maka nilai sastrawi itu
langsung nampak jelas mulai tergambarkan, tergelar dan terucapkan.
Bahkan apabila nilai sastrawi tersebut dimaknai sebagai pernyataan
filosofis, maka sebelum ki dalang memulainya, nilai-nilai
sastrawinya telah kelihatan. Sejak wayang itu digelar, dinyatakan dalam
bentuk tata panggung, semua yang berada serta terkait pada
panggung itu akan nampak jelas nilai-nilai sastrawinya dan sudah
mulai bisa dibaca oleh penonton terutama bagi yang memperhatikan
dan para pengamat, juga para penggemarnya.
Bentuk-bentuk wayang, bentangan kelir, nyala blencong
yang sangat terang dan penataan gamelan yang rapi dan berwibawa
serta indah itupun sudah menyatakan suatu gambaran yang sangat
filosofis. Demikian juga seperti bentuk penataan wayang yang berada
pada deretan sebelah kiri maupun kanan yang saling membelakangi
(ungkur-ungkuran), gunungan (kayon) yang ditancapkan di tengah-
tengah batang pisang (gedebog) dan sebelum dalang menempatkan
diri, itupun jelas mengandung nilai-nilai sastrawi yang berbobot.
(Purwadi dalam makalah Konggres Pewayangan 2005 di Yogya,
hal Pendahuluan).
Kini seni pewayangan yang sangat berbobot itu merupakan
pengembangan dari hasil budaya cipta-ripta yang munculnya dari
kreativitas masyarakat Jawa sejak masa-masa sebelum Masehi. Maka
tidak mustahil apabila seni pertunjukkan wayang itu sangat erat
sekali keterkaitannya dengan hidup dan kehidupan masyarakat Jawa.
Justru seni pertunjukkan wayang ini di kemudian hari digunakan
sebagai sarana pendidikan lahir batin bagi kehidupan masyarakat
secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Memang tujuan hidup masyarakat Jawa, mengutamakan
pencapaian hidup sorgawi. Ini berarti mereka yang berada pada posisi
generasi pendidik akan sangat mengutamakan ajaran-ajaran kerohanian.
Theology mereka sebagian besar menggunakan seni pewayangan
sebagai media pendidikan di dalam proses pembelajaran,
yang dipastikan akan lebih mudah untuk diterima bagi anak cucu.
93
Selanjutnya ajaran-ajaran tersebut tertuang melalui aspek
seni, yang terkandung dalam pewayangan. Aspek-aspek seni itu
adalah seni rupa, seni suara, seni drama, seni gerak, seni sastra.
Seni rupa berupa bentuk dan warna wayang, ukiran, seni
suara berupa tembang, suluk dan gending, seni drama berupa likuliku
cerita/lakon, seni gerak berupa tari dan laku wayang, seni sastra
berupa dialog, narasi, lakon gending, suluk dan lain-lain.
Namun demikian pembicaraan pada bab ini hanya akan
dikhususkan mengambil dari aspek sastra saja. Sebab dengan sastra
ini aspek yang lainnya akan ikut terbawa aktif sebagai jalan tercapainya
system pendidikan yang menjadi harapan masyarakat.
Aspek seni sastra yang realisasinya termasuk satu cabang
seni pertunjukkan wayang di mana sebagai pelaku utamanya adalah
dalang. Maka aspek ini dinyatakan sebagai Sastra Pedalangan (istilah
satu mata ajaran pada jurusan Pedalangan Jawatimuran di SMK
Negeri 9 Surabaya).
Kata sastra yang dalam bahasa Jawa kuna tertulis Ćastra
berarti buku pelajaran, ilmu, pengetahuan, naskah, buku suci (Suwoyo
Woyowasito, Kamus Kawi Jawa Kuno-Indonesia). Dengan demikian
sastra artinya adalah tulisan (Bau Sastra Purwadarminta) juga
berarti piwulang/wewarah (pelajaran).
Namun sastra menurut pangawikan Jawa ialah pengetahuan,
bukan saja yang diperoleh dari apa yang tersurat, melainkan juga
yang tersirat. (R.M. Yunani Prawiranegara, Pemahaman Nilai Filosofi,
Etika Dan Estetika Dalam Wayang, makalah Konggres Pewayangan
2005 di Yogya, halaman XII – 16). Jadi segala buku atau segala
yang tersurat dan tersirat dalam cerita baik lama maupun baru,
yang dengan melalui tembang oleh dalang (suluk), dialog wayang
yang diakukan oleh dalang (antawacana) bisa dibicarakan bersamasama
dalam aspek seni sastra atau Sastra Pedalangan.
Dengan demikian BAB III dalam buku ini berisi pembicaraan
tentang sastra yang berupa suluk beserta isi dan analisa, sastra
yang berupa cerita dan analisa, sastra gending, sastra yang berupa
antawacana dengan pemilihan kata-kata, buku-buku sumber cerita.
Dan yang sama pentingnya adalah pandangan filosofis dan gambaran
simbolis bagi ajaran pangawikan Jawa.
3.2 Suluk Wayang
Sebelum uraian sastra suluk ini berlanjut, terlebih dahulu
akan dijelaskan tentang apa itu suluk. Seperti telah diketahui bersama
bahwa suluk ini adalah tembang yang dilagukan oleh seorang
dalang ketika menceritakan sebuah lakon wayang. Apalagi cara melagukan
terungkap melalui alunan suara dalang yang indah. Tentu
hal ini menambah kewibawaan dan kualitas sang dalang itu sendiri.
Jadi suluk itu indah. Lebih-lebih lagu suluk itu bersamaan dengan
94
ucapan-ucapan kalimat yang bergaya bahasa Jawa luhur atau tinggi
(lungit) dan bermakna. Kalimat-kalimat yang lungit, indah dan bermakna
di dalam suluk, itu disebut sastra suluk.
Sastra yang berada di dalam suluk dalang sebagian besar
berasal dari Kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu
Panuluh jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Kediri)
tahun 1157 (Soeroso, Gamelan A, 1983 hal 17). Dan di antaranya
ada yang berasal dari epos Ramayana karya Walmiki.
Kakawin berupa susunan kalimat berbahasa Kawi (Jawa
Kuna), setiap seloka (saloka atau sloka) terjadi dari empat baris. Dalam
kesusastraan Jawa menjadi bentuk tembang Gedhe/Ageng atau
sering juga disebut Sekar Ageng.
Menurut para ahli tembang tradisional dan secara structural,
Sekar Ageng merupakan urut-urutan yang berada pada tempat
paling atas dari 3 bentuk tembang Jawa. Sedangkan urutan kedua
adalah Tembang Tengahan atau Sekar Tengahan yang terbentuk
dengan menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Tempat ketiga
yaitu Tembang Cilik atau biasa disebut Tembang Macapat yaitu tembang
yang dalam aktifitasnya terbentuk dengan menggunakan bahasanya
rakyat kecil (kawula cilik). Tembang Macapat ini hidup dan
berkembang di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya berada
di pedesaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, susunan kalimat 4 baris
dalam Tembang Gedhe tadi tersusun dengan urutan sebagai berikut
setiap baris dinyatakan sebagai satu pada-pala (satu baris), dua pada-
pala (dua baris) dinyatakan sebagai satu pada-dirga, dua padadirga
(empat baris kalimat) dinyatakan satu padeswara.
Kata padeswara berasal dari kata pada dan iswara. Pada
berarti larikan (baris) dan iswara berarti raja dan identik dengan besar,
jadi padeswara adalah pada besar. Kakawin ini juga berpatokan
pada lampah (jumlah suku kata setiap baris) dan juga Guru- lagu
(dhong-dhing).
Dhong menyatakan suara berat (anteb) sebagai suatu pernyataan
rasa puas yaitu perasaan akhir, tanda akan dimulainya babak
baru. Dhing menyatakan suara ringan (ampang atau entheng)
sebagai suatu pernyataan rasa yang belum selesai (rampung). Dalam
hal ini perasaan belum (tidak) lega, masih menanyakan kelanjutannya.
Guru maupun Lagu bukan hanya pada akhir kalimat, tetapi
juga berada di tengah-tengah kalimat dan pada awal kalimat. Guru
dan Lagu dalam aturan bahasa Kawi merupakan sarana terbentuknya
kakawin. Sampai saat ini tidak ada seorang pun seniman dan
Budayawan Jawa yang berminat dan mampu untuk mencipta atau
mengarang kakawin lagi. Generasi sekarang ini hanya menerima peninggalan
saja.
95
Itulah sebabnya sastra kakawin yang tertulis dalam ĆlokaĆloka
Mahabharata, Ramayana, Bharatayuda atau yang lainnya diambil
sebagai sumber penulisan sastra suluk dalam karya tulis ini.
Inilah sastra suluk yang berupa Kakawin Bharatayuda:
LĆŖng- lĆŖng Åamnya nikang ƧaƧangka kumĆŖnar mangrĆŖngga
rūm ning puri
Mangkin tan pasiring halĆŖp nikang umah mÄs luwir murub
ing langit
TĆŖkwan sarwwa manik tawingnya sinawung sÄksÄt sĆŖkar
ning suji
Unggwan BhÄnuwatĆÆ yanÄmrĆŖm alangƶ mwang nÄtha
Duryyodhana.
Kalimat-kalimat kakawin di atas, disebut tembang Sardulawikridita,
artinya permainan harimau (L. Mardisuwito, Kamus Jawa
Kuna-Indonesia, tt. 563). Terjemahan Tembang Sardulawikridita itu
adalah:
Indah menarik hati, bulan yang bersinar menghiasi puri kedaton,
menjadikan semakin tidak ada yang menyamai keindahan
rumah emas, bagaikan menyala-nyala di atas langit,
lebih-lebih tebing yang dilapisi dengan mas manikam yang
berwarna-warni bagaikan rangkaian bunga indah, di tempat
itulah bila sang Dewi Banuwati sedang memadu kasih bersama
suami Sang Prabu Duryuddana.
Kakawin ini setelah dipakai oleh para dalang wayang sebagai
sulukan, ternyata mengalami penggeseran ucap dan pemenggalan
kata. Hal ini mungkin sekali akan bisa mengakibatkan perubahan
arti atau bahkan pengertiannya. Demikian inilah kalimat itu sekarang:
Lengleng ramnyaningkang, sasangka kumenyar
O.. Mangrengga ruming puri, O.. mangkin tanpa
Siring, halep ningkang ngumah, mas lir murub
ing langit, O.. tekyan sarwa manik O.. .
Sampai di sini kalimat itu diputus, kemudian diteruskan dengan permainan
gender (ompak-gender) sesaat, baru kemudian diteruskan:
tawingnya sinawung, O.. , O.. saksat sekar si
Nuji, unggwan Banowati, O.. yen amrema la-
Ngen, lan Nata Duryudana O.. Lan Nata Dur-
Yudana, O.. .
Terlihat sekilas kalimat itu seolah-olah tidak mengalami perubahan
makna. Andaikan berubah, hanya ucapannya saja. Hal ini
96
terjadi karena yang semula dari bahasa Jawa Kawi, kemudian dibawa
kepada ucapan bahasa Jawa Baru, di saat seni pertunjukkan wayang
kulit purwa menjadi garap kemasan baru, khususnya yang gagrag
Surakarta.
Dalam peristiwa demikian itu sering muncul suatu kekhawatiran
bagi sebagian seniman atau Budayawan. Namun perlu mengingat
terhadap hukum alam, bahwa kehidupan seni dan Budaya dari
jaman ke jaman, generasi ke generasi pasti mengalami perubahan.
Jika berpaling pada kondisi alami tersebut, maka perubahan
seperti yang ada pada Kakawin Sardulawikridita adalah sangat
wajar. Justru perubahan yang demikian itulah yang membuahkan hasil
pengayaan bagi seni dan Budaya dalam perkembangannya. Yang
penting sampai sekarang ini, generasi mudanya masih memiliki
catatan sejarah dari para pendahulunya. Biarkan sastra yang diambil
dalam seni pertunjukkan wayang purwa ini berkembang menurut jamannya
(anut jaman kelakon).
Dalam perubahan dan perkembangannya, tembang Sardulawikridita
setelah bersama-sama dengan seni pertunjukkan wayang
kulit purwa, berfungsi sebagai sulukan pengiring jejer I dalam laras
Slendro dalam waktu masih pathet Nem. Sehingga kakawin itu berubah
sebutan menjadi pathetan Nem Ageng, yang dalam gema lagunya
diiringi oleh instrument rebab, gender barung, gambang, suling,
kempul-gong dengan permainan menurut aturan tata nada dalam pathet
Nem.
Selanjutnya sebagai catatan kata-kata yang dipakai dalam
Kakawin Sardulawikridita tadi perlu diterjemahkan. Di bawah ini terjemahan
dari S. Padmosoekotjo dalam bukunya Suluk Pedalangan,
hal 14-15:
LĆŖng- lĆŖng tegesipun anglam-lami,
Åamnya tegesipun endah, nengsemake,
ĆaƧangka tegesipun rembulan,
KumĆŖnar tegesipun sumorot, sumunar,
MangrĆŖngga rÅ«m ning puri tegesipun ngrengga endahaning
puri (keputren),
Mangkin tan pasiring,
HalĆŖp nikang umah mÄs tegesipun endahe suyasa kencana,
Luwir murub ing langi tegesipu pepindhane kaya murub ing
langit,
TĆŖkwan tegesipun sarta, lan maneh, apa maneh,
Sarwa manik tegesipun sesotya manek warni,
Tawing artinya tebing, srawing tegesipun aling-aling,
Sinawung tegesipun dipun-salut, linapis,
Suji tegesipun eri, sunduk,
97
SÄksÄt sĆŖkar ning suji tegesipun pepindhane kados reroncening
sekar, kados sekar renonce,
Unggwan BhÄnuwatĆÆ tegesipun papan padununganipun
banuwati,
Yan ÄmrĆŖm alangƶ mwang Duryyodana tegesipun manawi
sari alelangen (sih-sinihan) kaliyan Prabu Duryyodana,
Langƶ endah tegesipun kaendahan, klangenan,
Alango tegesipun lelangen (sih-sinihan.)
Terjemahan:
menyebabkan orang terpesona,
indah, menawan hati,
bulan,
bersinar,
menghias indahnya keputrian atau tempat putri,
saya tanpa tandhing (semakin tidak ada yang sama), keindahan
kerajaan emas,
bagaikan menyala di langit,
serta, lagi-lagi, apa lagi,
segala macam manikam,
tirai, tabir,
diberi lapisan,
(duri, tusuk). Juga biasa berarti renda, sulam,
bagaikan untaian bunga,
tempat tinggal Banuwati,
bila (akan) tidur berkasih-kasihan bersama suami yaitu Prabu
Duryyodana,
indah, keindahan, kesukaan,
bersuka cita, berkasih-kasihan.
Sebagai urutan suluk yang kedua dalam pertunjukkan wayang
adalah disebut Ada-ada Girisa dalam laras Slendro yang masih
berada dalam kawasan waktu pathet Nem. Demikianlah kalimat Adaada
Girisa:
Lengleng gatiningkang awan saba-saba
Niking Ngastina, samankara tekeng,
Tegak Kurunararya, Kanwa Janaka dulur Nara-
Da, kapanggih ing ika, O.. tegal miluring karya, sang Bupati
ta la ya.
Itulah ada-ada Girisa, di mana kalimat-kalimatnya mengambil
dari petikan Bharatayuda. Sedangkan yang asli dalam bahasa Jawa
Kuna adalah sebagai berikut:
LĆŖngĆŖng gati nikang hawan sabha-shaba niking
HÄstina,
98
samantara tĆŖkeng tĆŖgal Kuru
narÄryya KÅÅÅÄn laku, sirang ParaƧurama, KaÅwa JanakÄdulur
Narada, kapanggih irikang tĆŖgal milu ri karyya sang BhÅ«pati.
Artinya:
Sungguh indah menakjubkan kondisi jalan yang menuju
(ke) bangsal (tempat dialog) Hastina,
setelah keberangkatan Prabu Kresna, di alun-alun Kuru,
ia bertemu dengan Parasurama, Kanwa dan Janaka yang
sudah berbadan dewa bersama-sama dengan,
Barata Narada, untuk ikut membantu arya Sang Prabu
Kresna.
Keterangan kata-katanya:
LĆŖngĆŖng tegesipun endah, edi, nengsemake,
Gati tegesipun kawontenan, Hawan tegesipun dalan/margi,
LĆŖngĆŖng gati nikang kawan tegesipun asri nengsemaken
kawontening marginipun / asri, edi nengsemake kahane dalane,
Sabha tegesipun bangsal papan sarasehan, papan rembagan,
pandhapa kraton,
Samantara tegesipun boten antawis dangu/ora antara suwe,
Tegal Kuru tegesipun ara-ara Kuru,
NarÄryya tegesipun Nara / tiyang (orang) + arrya tegesipun
minulya,
NarÄryya Kresna laku tegesipun tindakipun prabu Kresna /
prabu Kresna olehe tindak,
Kresna laku tegesipun Kresna / olehe / anggone - laku: tindakipun
Kresna,
Sirang ParaƧurama, KaÅwa…: Panjenenganipun Paracurama,
Kanwa..,
JanakÄdulur Narada tegesipun Janaka lan adulur /sesarengan
lan Narada / Janaka sesarengan kaliyan Narada,
Karyya tegesipun ayahan, padamelan,
Bhupati tegesipun Bhu /bumi lan pati / pengageng.
Terjemahan:
mempesona, menarik hati,
keadaan), (jalan,
indah mempesona keadaan jalannya,
pendopo sebagai tempat sarasehan,
tidak berapa lama antaranya / sementara itu, segera sesudah
itu,
99
alun-alun, tanah lapang Kuru,
dimuliakan, dalam tembang ini narÄryya sama dengan prabu
/ raja,
kepergian sang Prabu Kresna,
kepergian Kresna,
beliaunya adalah sang Paracurama, Kanwa..,
Janaka bersama Narada,
tugas, pekerjaan,
raja, ratu.
Kalimat-kalimat berbahasa Kawi Kuna yang berada di dalam
Kakawin Sardulawikridita itu menyatakan keindahan dan ketenangan
(ayom lan ayem) negara Hastina dalam pemerintahan Prabu
Duryudana (raja wangsa Kuru). Selanjutnya keterangan itu menjadi
agak tegang setelah kehadiran Kresna bersama Resi Ramaparacu,
Resi Kanwa yang sudah berbadan dewa di negeri Hastina, yang
mengucik untuk kembalinya Hastina kepada para Pandawa. Dan terjadilah
perang besar Bharatayuda Jayabinangun. Sampai hari ke-13,
dalam pertikaian dari kedua belah pihak, para pahlawannya saling
berguguran.
Kemudian pada hari ke-14, Sri Kresna sebagai dalang (botoh)
nya para Pandawa, memanggil Gathotkaca untuk menjadi Senapati
Pandawa. Demikianlah Ƨlokanya:
Irika ta sang Gathutkaca kinon mapagÄkkasuta,
TĆŖkap ira KÅÅÅa Partha manĆŖhĆŖr muji Ƨakti nira,
Sang inujaran wawang masĆŖmu garjjita harsa marĆŖk,
Mawacara bhagya yan hana pakon ri patik nÅpati.
Sesuai dengan isi Ƨloka itu yang menyatakan bahwa Gathotkaca
sebagai senapati (panglima) perang, maka kalimat-kalimat
Ƨloka itu oleh para dalang wayang kulit purwa diambil untuk mengiringi
saat Gathotkaca akan terbang.
Irikata sang Gathutkaca kinon, mapak Arkhasuta (ada yang
mengucapkan Argasuta), O.. tekapira Kresna, Parta maneher
muji saktinira, sang inujaran wangwang masemu nggarjita,
O..
Ada perubahan sedikit, khususnya pada kata arkha suta
ada yang mengucapkan arga suta. Dan kalimatnya dipenggal hanya
sampai pada kata garjita. Dalam pengetrapannya Ƨloka ini disebut
sulukan Ada-ada Greget saut Slendro Sanga.
Terjemahan Ƨloka itu adalah sebagai berikut: pada waktu
itu Sang Gathotkaca disuruh bertemu berhadapan melawan anaknya
Batara Surya yaitu Adipati Karna oleh Batara Kresna. Parta atau Ar100
juna menjunjung tinggi kesaktian Gathotkaca. Sesaat itu yang disuruh
yaitu Gathotkaca nampak suka cita. Maka dengan kegembiraan
hati ia menghadap ke Prabu Kresna dan kemudian berkatalah kepadanya
“Aku merasa senang karena ada perintah kepadaku.”
Bahasa Kawi Kuna dalam perkembangannya, oleh para generasi
pembaharu seni pewayangan di Kraton Surakarta Adiningrat
yang baru saja pindah dari Mataram Kartasura nampaknya dianggap
lebih luhur dibanding dengan bahasa Jawa Baru. Hal ini terbukti
dengan pemilihannya terhadap Kakawin yang dipakai dan diterapkan
pada suluk dalang meskipun harus mengalami perubahan. Menurut
Porbocaroko dalam Kesusasteraan Jawa-nya, perubahan bahasa
Kawi Kuna ini terjadi sejak sebelum Majapahit runtuh. Hal ini lebih disebabkan
oleh generasi penerus yang tidak mampu lagi mengetrapkan
bahasa tersebut dalam pergaulan. Maka mereka tinggalkan
bahasa itu. Anggapan mereka sampai saat ini bahwa bahasa Kawi
Kuna adalah Bahasa Leluhur.
Sebutan bahasa leluhur-pun mengalami penggeseran menjadi
Bahasa Luhur. Itulah sebabnya mengapa Kakawin atau tembang
Kawi terpilih oleh pembaharu seni pewayangan di kraton Surakarta.
Justru sampai saat ini, bukan hanya tembang Kawi-nya saja yang
terpilih, melainkan seluruh Bahasa Luhur Kawi menjadi bahasa pilihan
bagi seni pertunjukkan wayang secara umum. Bahasa Kawi Luhur
masuk dalam kategori bahasa Pedalangan, khususnya seni pewayangan
versi Jogyakarta dan Surakarta, baik yang klasik maupun
garapan barunya.
Berbeda dengan sastra suluk dalam seni pewayangan versi
Jawatimuran. Dalam proses perkembangannya, secara turun-temurun
hanya dengan system mendengarkan, melihat dan menirukan
dalang yang sedang menyajikan karya. Itulah system nyantrik. Hasil
cantrikan dalam prosesnya antara cantrik yang satu dengan yang
lain sering berbeda dalam ucap bahasa, misalnya ucapan kata Apituwi,
ada yang mengucapkan Kapituwi. Gelanggang perang, ada
yang mengucapkan Pemedan, ada yang mengucapkan Permedan.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab setelah munculnya
buku-buku terbitan baru oleh penulis wayang Jawatimuran, maka
para dalang tentu bisa menyatu dalam satu buku itu sebagai pacu
kawruh (pengetahuan). Seperti pertunjukkan wayang pada umumnya,
wayang Jawatimuran-pun dalam sajiannya juga menggunakan
suluk yang terhias sastra dengan sangat indahnya. Suluk yang pertama
kali berupa lagu yang disebut Pelungan atau Drojogan, yang
urutan barisnya adalah sebagai berikut:
Ingsun miwiti andalang,
Wayangingsun bambang paesan,
Kelire jagad dumadi,
Yana larapaningsun naga papasihan,
Pracike tapele jagad gumelar,
101
Drojogku sanggabuwana,
Gligen rajeging wesi,
Yana blencong kencana murti,
Kothake wayang kaya cendhana sari,
Tutupe ndhuwur jati kusuma,
Kepyke gelap ngampar,
Ingsun dalang purbawasesa,
Gamelan larase Slendro pengasihan,
Gambang garuting ati,
Gender panuntuning laras,
Rebab cindhe lara tangis,
Kendhang panggetaking ati,
Kempul panduduting ati,
Pradangga putraning jiwa raga,
Waranggana saking Suralaya,
Kinayut-kayut swaranya lir dewa,
(Djumiran RA, Lagon vocal Dalang Jawatimuran)
Terjemahan:
Aku akan mulai mendalang,
Wayangku adalah bambangan (pemuda),
Layarnya bagaikan jagad ciptaan Tuhan,
Gedebogku berkekuatan dua naga yang sedang memadu
kasih,
Kekuatan pracik (ikat atas dan bawah) layar bagaikan sabuk
jagad raya,
Drojogku (penyangga) bagaikan penyangga jagad,
Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai
pagar (rajeg) yang berkekuatan besi,
Adapun lampu penerangnya (blencong) bagaikan mas yang
dimiliki dewa,
Tempat wayang (kotak) memakai bahan sarinya kayu cendana
yang harum itu,
Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati
yang harum (kusuma = kembang),
Kepyak (sebagai sarana kekuatan sabet) bagaikan bunyi
petir (gelap) menyambar (ngampar),
Aku inilah seorang dalang yang dikaruniai kekuasaan untuk
menguasai, mengatur/menata pada alam raya ini,
Sebagai alat pengiringku (gamelanku) yang berlaras
Slendro itu memiliki daya tarik kuat yang tak tertandingi,
Gambang (gamelan kayu) sebagai penopang rasa keprihatinan,
Gender (gamelan renteng) sebagai penuntun (petunjuk) semasa
dalang hendak suluk,
102
Rebab (gamelan gesek) terbalut/terhias dengan kain cindhe
sebagai penopang suasana kesedihan,
Kendhang sebagai penopang suasana emosional (lembut
dan keras/tegas),
Kempul sebagai penopang tempo di segala suasana,
Pemain gamelan (pradangga/wiyaga) yang mengisi/menggerakkan
jiwa raga dalam gambaran hidup dan kehidupan,
Pengidung wanita (waranggana = pesindhen = bidadari)
dari kahyangan = sorga (Suralaya),
Mengalun (kinayut-kayut) suaranya bagaikan suara mas
(suara dewa = suara baik = suara yang berkualitas).
Pelungan ini sebuah nama judul yang diberikan oleh seniman
kepada sebuah susunan syair dalam sastra suluk pada seni
pertunjukkan wayang Jawatimuran versi Mojokerto-an. Bagi wayang
Jawatimuran versi Porongan disebut Drojogan. Di samping syair tersebut
di atas, ada lagi susunan kalimat syair yang lain, yaitu:
Swuh rep data pitana,
Rep swuh rep, rep swuh rep saking karsaningsun,
Sekar kawi kang sinawung,
Kinarya resmining kidung,
Binarung swaraning gending Gandakusuma munya,
Kekanthening Budaya, ing nguni Budaya iku tanama,
Anane Budaya iku saking Negara,
Dhawuhe andika wali,
Kang sinawung mring pra pujangga Jawi,
Kinarya tepa tuladha,
Karo dene para janma sujana,
Lan swartane budi kang wus uning,
Ginane krawitan angiringi Budaya,
Ana gambaran ……….,
Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sunandhi,
Kedhik janma ingkang udani,
Manawa tan parameng kawi,
Lungguh panggung nyawang gegambaran,
Gegambaraning agesang,
Manungsa kang ana madyapada,
Aja kate darbe tindak ala,
Ngudia mring kautaman,
Dimen manggih kayuwanan.
(Ki Piet Asmara Mojokerto)
Syair di atas biasa dilagukan oleh para dalang wayang Jawatimuran
gagrag Mojokerto-an yang wilayahnya berada di sekitar
Mojokerto dan Jombang. Adapun terjemahannya adalah:
103
Dari suasana sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemudian
ada cerita,
Sunyi karena kehendakku,
Sekar (tembang) kawi yang enyertai,
Sebagai kidung resmi (sejati = suci),
Bersama suara gending Gondokusuma,
Sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada,
Kalau ada berasal dari Negara,
Atas perintah para wali,
Yang direstui oleh para pujangga Jawa,
Sebagai suri teladan (contoh),
Bersama para cerdik-pandai,
Serta para budiman bijak,
(bahwa) fungsi gamelan sebagai pengiring seni Budaya,
Yang berujud gambaran,
Seperti wujud manusia ini mengandung sastra terselubung,
Sedikit orang yang mengerti/mengetahui,
Jika bukan ahli kawi (Budayawan),
Duduk di panggung mengamati gambaran,
Yaitu gambaran hidup dan kehidupan,
Manusia yang berada di dunia,
Jangan sampai berperilaku jahat,
Biarlah belajar tentang kebaikan/kesucian,
Agar mendapatkan keselamatan.
Menurut para dalang tua (sepuh) Ki Suleman dari Pasuruan,
Jawa Timur, dan Ki Toyib Gondocarito dari Krian Sidoarjo serta
para nara sumber lainnya yaitu Ki Bambang Sugiyo, Ki Surwedi, menyatakan
bahwa sastra tembang Pelungan / Drojogan itu sebenarnya
adalah doa yang dinyatakan dalam sastra suluk.
Apabila kita Mengamati kalimat Pelungan atau Drojogan
tersebut, ternyata berisi permohonan kekuatan alami agar menguatkan
pribadi si dalang dalam karyanya semalam suntuk (Ki Suleman).
Masih banyak sastra suluk yang ada, namun tidak mungkin akan diangkat
seluruhnya dalam karya tulis ini. Namun di bawah ini masih
ada beberapa yang perlu diungkap:
Sendhon Prabatilarsa Pathet Wolu
Nara nata nggonira miyos siniwaka
Sineba mring pra Santana
Sumewi munggwing ngayun
Ngelik:
Teja-teja, tejane wong kang Nembe kaeksi
Sumunar pindha Sang Hyang Bagaskara
104
Nyunani sagung para kawula
Ingkang ayem tentrem sami ngudi ngudi
Mring pakaryanira kinarya nyekapi
Ing kwajibanira………
(Ki Piet Asmara)
Sendhon Purwa Seba Pathet Wolu
Rupa candra sasi bumi
Nabi Budha roning medi
Sasadara wulan candra
Bumi watak siji
(Ki Piet Asmara)
Bendhengan Wayang Srambahan
Yana netra caksu naya
Dresthinya maluncana
Karna-karni suku loro
Wategana marang sawiji
Suku loro wategana marang sawiji.
(Ki Surwedi)
Yang disebut bendhengan sebenarnya greget saut yaitu sebuah
lagu ada-ada (daerah Solo). Di Jawatimuran Ki Suleman mengatakan
bendhengan bersuasana tegang. Bendhengan ini dimuat
dalam Lagon Vokal Dalang Jawatimuran tulisan Djoemiran RA.
Sendhon Angasih-Asih Slendro Sanga Jawatimuran
O..O.. dhahat atawang tangis e
Sambat amelas asih
Esmu kingkin ing panggalih
(Ki Cung Wartanu Mojosari-Mojokerto)
Oleh Ki Cung Wartanu, lagu sendhon ini dimunculkan secara
improvisasi. Menurutnya sendhonannya bukan itu. Sendhon yang
biasanya kurang/ tidak susah. Kecuali sastra suluk yang berupa lagon
dalang, masih ada lagi sastra suluk yang berupa suluk ilmu gaib.
Pada umumnya, sastra suluk ilmu gaib tidak terungkap melalui
lagon dalang, tetapi terungkap melalui tembang Macapat, berisi
ajaran tentang ilmu gaib, ilmu kebatinan atau ilmu kasampurnaning
pati. (S. Padmosoekotjo, Ngrengengan Kasusastran Jawi, tt. Hal.
80). Beberapa contoh sastra suluk ilmu gaib:
Maskumambang:
Batur tukon lamun nrima mesthi dadi
Ing kamardikannya
105
Nadyan wong mardika yekti
Yen loba dadi kawula
Artinya:
Budak (Batur tukon), maksudnya budaknya duniawi, orang
yang mudah terpengaruh oleh duniawi sebab dari watak
yang angkara murka
Kamardikan (kebebasan), tidak dikuasai duniawi
Rakyat kecil (kawula), yaitu Budaknya duniawi
Jadi makna tembang itu adalah orang yang senang terhadap
duniawi, sering disebut mangeran marang kadonyan. Mempertuhankan
barang-barang duniawi. Bagi mereka yang sudah tidak
membudak pada duniawi, disebut telah merdeka.
3.2.1 Mijil
Sagung pangkat kang sing alami,
Aywa sira raos,
Yeku apan warana jatine,
Marma singkirna aywa sira piker,
Terusa lumaris,
Nyenyandhang pitulung.
Samangsane sira sinung luwih,
Sing janma kinaot,
Poma aywa kasengsem den angge,
Nadyan katon solan-salin warni,
Singkirana kaki,
Ywa nganti kalimput.
Artinya:
Pangkat kemuliaan duniawi, kesenangan yang berada di
dunia, kenikmatan duniawi,
Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak
terpathok pada kenikmatannya duniawi,
Sebuah tirai. Maksudnya duniawi bisa menutupi jalan menuju
kearah kesempurnaan pati,
Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak
terpathok pada kenikmatannya duniawi,
Teruskanlah berperilaku yang menuju kepada kesempurnaan
pati,
Mohon pertolongan kepada Tuhan, dapatnya hati ini terbuka
sehingga mendapatkan jalan menuju kesempurnaan
pati.
106
Pada saat kamu kaya berlebihan,
Manusia mampu berbuat semuanya,
Jangan sampai larut kepada keduniawian yang dimiliki oleh
pribadimu,
Meskipun duniawi itu berganti-ganti warna, rupa dan tidak
membosankan….,
Jauhilah mumpung masih bisa,
Jangan sampai tertutup pemikiran atau penalaranmu oleh
duniawi sehingga lupa akan tujuan awal, yaitu kesempurnaan
pati.
Jadi tembang mijil yang terdiri dari 2 ayat atau 2 podo dan memuat
ajaran tasawuf ini merupakan tuntunan bagi manusia yang menghendaki
kesempurnaan.
Mijil Pituture Sri Rama Marang Wibisana
Damaring praja’ja mati-mati
Sadege keprabon
aywa kandheg madhangi jagad
mangka panariking reh sayekti
ing pati pinanggih
kautameng prabu
Artinya:
Diyan atau obor yang menjadi obor daripada tubuh adalah
hati atau pikir. Hati dan atau pikir adalah pelita hidup. Negara,
tetapi dalam suluk ini yang dimaksud negara adalah
tubuh,
Selama menjadi raja. Bagi ilmu kebatinan maksudnya adalah
selama hidup di dunia,
Jangan berhenti menerangi dunia, maksudnya jangan berhenti
berbuat baik,
Agar mendapat kesempurnaan yang semesthinya,
Kesempurnaan mencapai kematian,
Agar matinya bias atau mampu baik.
Tentu saja bila orang di dalam hidup dan kehidupannya senantiasa
berbuat baik dan berbakti serta berbuat darma tentu matinya
nanti akan mendapatkan kemuliaan sorgawi. Jadi dalam hal ini,
sang Ramawijaya di dunia sebagai jelmaan Wisnu memberikan ajaran
kepada seorang Wibisana yang telah bertaubat. Wibisana yang
kesehariannya bertempat pada keluarga yang jahat, merasa disia-siakan
oleh Rahwana kakaknya, maka atas pertolongan Anoman ia
mengabdikan diri dan sanggup membantu bersama-sama menghilangkan
laknat (iblis), yang berada pada diri kakaknya yaitu Rahwana.
Akhirnya Wibisana menjadi murid Ramawijaya.
107
Buku-buku yang memuat suluk, kebanyakan muncul pada
jaman Islam. Seperti misalnya suluk Sukarsa, suluk Wujil, suluk Malang
Semirang. Di bawah ini petikannya:
Suluk Sukarsa / Lagu: Girisa (Pelog)
Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan,
kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak,
yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan,
kebirira lan sumungah ujub loba singgahana.
Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara,
Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah,
Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak,
Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar.
Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana,
Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan,
Linyaran amangun hak winelahan niat donga,
Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat.
Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at.
Den pulangi lan wicara den damari lan makripat.
Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat.
Kawasa denira layar wus tekeng segara ora.
Demikianlah suluk Sukarsa. Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Purbocaroko
dalam Kepustakaan Jawa-nya, mengemukakan bahwa kitab
suluk Sukarsa ini dalam bentuk tembang (ciri suluk), berupa Ƨloka,
yaitu tembang cara kuna. Logat bahasanya adalah bahasa Jawa
Tengahan (pertengahan) yang muncul antara Jawa Kuna dan Bahasa
Jawa Baru. Ćloka ini terdiri dari 4 baris, di mana setiap baris terdiri
laku delapan dan delapan, sudah tidak berpatokan dengan Guru
dan Lagu. Suluk Sukarsa empat itu merupakan bagian terakhir.
Adapun terjemahannya adalah:
Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan
tentang tuntunan kesempurnaan,
tak ada hitam pada putih,
bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelanpelan,
takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan.
Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, sebagai
jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak memperhitungkan
hidup atau mati,
108
lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan
rusak,
bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa
luas.
Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesabaran,
shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahuan,
dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan kemudi
niat dan doa dengan segala permohonan,
diakhiri dengan pertobatan.
Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggunakan
kana’at,
dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’ripat,
si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan
rakhmat,
selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada lautan
tiada (meninggal dunia?).
3.2.2 Suluk Wujil
Kitab suluk wujil berisikan ajaran Sunan Bonang kepada seorang
bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajarannya
tentang mistik. Dalam suluk wujil memuat tembang yang bermacam-
macam sejumlah 104 pupuh.
Kitab suluk wujil ini di dalamnya berisikan sebuah kalimat
berbunyi Penerus Tinggal Tataning Nabi. Artinya, Penerus menyatakan
bilangan 9, Tinggal menyatakan bilangan 2, Tata menyatakan
bilangan 5 dan Nabi menyatakan bilangan 1. Jadi kalimat itu menyatakan
bilangan tersusun menjadi 9251. Kalimat yang setiap katanya
menyatakan sebuah bilangan seperti di atas, dalam kesusasteraan
Jawa disebut Sengkalan. Setelah terjemahannya berujud angka, maka
pembacaannyapun harus dibalik. Jadi bila jajaran angka itu berupa
9251, maka akan terbaca menjadi 1529. Jajaran angka terbalik
inilah yang akan dinyatakan sebagai angka tahun, yaitu tahun 1529,
pada jaman kerajaan Mataram diperintah oleh Ramanda Sultan
Adung, yaitu Sinuhun Seda Krapyak. Dengan demikian jelas bahwa
Kitab Suluk Wujil ini sudah ada sejak jaman Mataram. Di bawah inilah
petikan tiga bait tembang Suluk Wujil, berupa sekar Dhandhang
Gula:
dipun weruh ing urip sejati,
lir kurungan raraga sadaya,
becik den wruhi manuke,
rusak yen sira tan wruh,
109
hih ra wujil salakuneki,
iku mangsa dadya,
yen sira ‘yun weruh,
becikana kang sarira,
awismaa ing enggon punang asepi,
sampun kacakrabawa.
Terjemahan:
hendaklah tahu akan hidup sejati,
bagaikan sangkar badan ini,
sebaiknya diketahui oleh sang burung,
celaka bila tuan tak tahu,
wahai sang wujil akan segala peri kelakuan tuan,
tak akan bisa tercapai itu (oleh tuan),
jika tuan ingin tahu,
sucikanlah,
tinggallah di tempat suci,
yang tak diketahui orang.
aja ‘doh dera ngulati kawi,
kawi iku nyata ing sarira,
punang rat wus aneng kene,
kang minangka pandulu,
tresna jati sarira neki,
siyang dalu tan awas,
pandulunireku,
punapa rekeh prayitna,
kang nyateng sarira sakabehe iki,
saking sipat pakarya.
Terjemahan:
tidaklah tuan jauh-jauh mencari kawi,
kawi itu sungguh berada pada diri prabadi,
semesta alampun telah rekandung di dalamnya,
yang akan menjadi alat untuk melihat,
cinta sejati akan diri tuan,
ngat-ingatlah siang dan malam,
akan penglihatan tuan itu,
apakah (di manakah) tempat itu,
yang nampak pada tubuh secara menyeluruh,
yang muncul sifat fa’al.
mapan rusak kajtinireki,
dadine lawan kaarsanira,
kang tan rusak den wruh mangke,
sampurnaning pandulu,
110
kang tan rusak anane iki,
minangka tuduh ing Hyang,
sing wruh ing Hyang iku,
mangka sembah pujinira,
mapan uwis kang wruha ujar puniki,
dahat sepi nugraha.
terjemahan:
memang rusak keasliannya,
akibatnya ada pada diri tuan,
oleh karena itu yang tidak rusak hendaklah tahu,
kesempurnaan pandangan,
dan yang tidak rusak ini,
akan menjadi petunjuk untuk menuju ke tempat Tuhan,
yang tahu akan Tuhan,
sembah pujinya akan diterima,
memang jarang yang tahu akan sabda ini,
dan sangat sepi dari anugerah.
3.2.3 Suluk Malang Semirang
Suluk Malang Semirang ditulis oleh Sunan Panggung tatkala
masuk ke dalam tungku perapian (tumangan) yang dipakai untuk
membakar orang yang dianggap salah oleh pemerintah Demak sebab
merusak syarak. Buku ini berisi tentang perilaku kehidupan yang
sudah sampai pada kejatiannya. Suluk Malang Semirang terdiri dari
tembang Dhandhang Gula. Di bawah ini cuplikannya sebanyak 3
bait:
dosa gung alit tan den singgahi,
ujar kufur kafir kang den ambah,
wus luwung pasikepane,
tan adulu-dinulu,
tan angrasa tan angrasani,
wus tan ana pinaran,
pan jatine suwung,
ing suwunge iku ana,
iang anane iku surasa sejati,
wus tan ana rinasan.
pan dudu rasa karaseng lathi,
dudu rasaning apa ‘pa,
lawan dudu rasa kang ginawe,
dudu rasaning guyu,
dudu rasa kang angrasani,
rasa dudu rarasan,
kang rasa anengku,
111
sakehing rasa kurasa,
rasa jati tan karasa jiwa jisim,
rasa mulya wisesa.
kang wus tumeka ing rasa jati,
sembahyange tan mawas nalika,
lir banyu milih jatine,
tan ana jatinipun,
muni-muna turu atangi,
saresiking sarira,
pujine lumintu,
rahina wengi tan pegat,
puji iku rahina wengi sireki,
akeh dadi brahala.
Terjemahan:
dosa besar kecil tak disingkiri,
perkataan kufur kafir yang diturut,
telah mabuk akan kelengkapannya,
tiada pandang memandang,
tiada merasa tak pula melepas rasa,
tiada lagi yang (harus) dituju,
memang sesungguhnya kejatiannya kekosongan,
dalam kekosongan ada hadlir,
dalam hadlir itu tersimpan makna sejati,
tak ada yang harus dirasakan.
Bukanlah rasa terasa di bibir,
bukannya lagi rasa apa apa,
bukan rasa sesuatu yang dibuat,
bukan rasa tertawa,
bukan rasa melepas rasa,
rasa bukan untuk dirasakan,
rasa yang meliputiku,
semua rasa yang terasa,
rasa jati tak terasa roh jisim,
(yaitu) rasa mulia kuasa.
Yang telah sampai pada rasa jati,
sembahyang-nya tiada pandang waktu,
pada hakekatnya laksana air mengalir,
tiada jatinya,
barang dikatakan tidur atau jaga,
barang yang di angan,
pujinya terus mengalir,
112
tak putus siang dan malam,
pujiannya siang malam,
banyak menjadi berhala.
Demikian sastra suluk di bagian kedua yang tergolong suluk
ilmu gaib. Tentu bukan hanya seperti yang tertulis di atas. Itu hanya
sebagai contoh diambil sebagai gambaran saja. Masih banyak
suluk ilmu gaib yang semua itu merupakan ajaran-ajaran rohani bagi
umat manusia, khususnya masyarakat Jawa.
Seperti beberapa contoh di atas, bahwa suluk ilmu gaib biasa
disebar dan diajarkan melalui tembang-tembang Jawa dengan
sebagian besar berbentuk Tembang Macapat. Dari tembang-tembang
Macapat ini oleh para dalang sering diambil menjadi sebuah
wejangan dalam adegan-adegannya, meskipun tidak ditembangkan.
Beberapa dalang mungkin hanya mengucapkan kalimatnya secara
utuh, namun ada juga yang mengucapkan secara apa yang tersirat.
Baik yang secara ditembangkan maupun diucapkan saja, yang jelas
kesemuanya itu adalah Pitutur Luhur bagi penonton masyarakat agar
berperilaku suci.
3.3 Sastra Lakon
Setiap dalang wayang kulit ataupun wayang golek atau juga
wayang yang lain tentu mahir menampilkan lakon/cerita untuk disajikan
dalam karya pertunjukkannya. Bagi para dalang pecantrikan pun
tentu telah mendapatkan banyak lakon dari sang guru pecantrikannya.
Namun demikian, dalam perkembangan baik dalang senior maupun
yuniornya masih juga membutuhkan penambahan untuk lebih
banyak lagi mendapatkan perbendaharaan lakon/cerita demi kekayaan
lakon itu sendiri.
Untuk itu sebagai sarananya, mereka tentu harus banyak
membaca buku-buku atau tulisan yang memuat tentang lakon/cerita
wayang, baik yang berbentuk tembang (puisi) ataupun prosa. Buku
atau tulisan yang memuat dan mengungkapkan lakon/cerita wayang
dan identitas tokoh dalam pewayangan itulah yang disebut Sastra
Lakon.
Sejak jaman Hindu sampai sekarang buku-buku sastra lakon
telah banyak diterbitkan dengan jumlah yang sangat besar dan
berisi lakon/cerita yang hampir tak terbilang. Ada yang berbentuk
prosa dan ada yang berupa tembang. Buku-buku atau tulisan, sastra
lakon yang isinya berbentuk kalimat prosa, contoh:
3.3.1 Tantu Panggelaran
Kitab ini tergolong tua, tetapi sudah menggunakan bahasa
Jawa Pertengahan. Adapun isinya dengan berbahasa prosa, mengisahkan
beberapa cerita, misalnya Batara Guru menciptakan sejodoh
113
manusia di pulau Jawa yang kemudian berkembang biak. Mereka
belum berpakaian dan belum dapat bertutur kata.
Para dewa diperintahkan untuk turun ke tanah Jawa supaya
memberikan pelajaran kepada manusia agar mampu berbicara, berpakaian,
membuat rumah dan alat-alat rumah dan lain sebagainya.
Juga diceritakan bahwa pulau Jawa masih terapung sehingga mudah
bergerak-gerak dan sering seperti timbangan. Sebelah timur berat,
bagian barat mencuat ke atas dan sebaliknya. Dewalah yang
akhirnya menerima perintah untuk menyeimbangkannya. Mereka terbang
ke tanah Hindu (India) untuk mengambil puncak gunung Semeru
dibawa ke pulau Jawa. Dimulai dari sebelah barat tanah gunung
tadi dijatuhkan. Tetapi Jawa sebelah timur menjadi mencuat ke atas.
Kemudian dari sebelah timur bagian tanah yang dijatuhi muncullah
gunung-gunung, berupa gunung Katong atau gunung Lawu, gunung
Wilis, gunung Kampud (Kelud), gunung Kawi, gunung Arjuna, gunung
Kemukus dan puncaknya paling akhir jadilah gunung Semeru.
Dengan tertanamnya puncak yang memunculkan gunung
semeru, maka pulau Jawa tidak lagi bergerak dan bahkan tidak akan
bergerak-gerak lagi. Di situ juga diungkapkan tentang terjadinya gerhana
bulan yang menyadur cerita Mengaduk Samodera Manthana
atau samudera susu dari kitab Adiparwa.
Juga diceritakan tentang Batara Wisnu turun menjadi raja di
Jawa bernama Prabu Kandiawan. Kemudian menurunkan putera-puteranya
Sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Malaras,
sang Karung Kala dan Wreti Kandayun. Cerita prabu Kandiawan
diturunkan ke kitab-kitab babad. Hampir di setiap kitab babad
yang menceritakan jaman tersebut menyebut nama Kandiawan dan
putera-puteranya.
Kitab Tantu Panggelaran terkait dengan kitab babad. Dan di
dalam kitab tersebut terdapat nama-nama Medang Kamulyan, Medang
Tantu, Medang Panataran dan Medang Gana. Dalam kitab
Tantu Panggelaran juga memuat cerita yang bersifat Panggeli Hati
dan lain-lainnya.
3.3.2 Tantri Kamandaka
Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatantra.
Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun
kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam.
Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita
yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah keperawanannya.
Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satunya
yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri.
Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu
sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan
iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan sebuah
cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka
114
mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu menagih
janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelembutan
budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan
sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dirayu
minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu kawinnya
menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka tenanglah
negeri itu.
Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Anglingdarma
yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, ketika
sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah
dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati
dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabatnya
Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bahwa
perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka
sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi golongan
brahmana, ular jantan itu dibunuh.
Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis
keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan menghadap
sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan
sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena
tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang
brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang
prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah
menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan
sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan
perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri
Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari
bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan
rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Nagini
puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada
prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada
brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki!” Kemudian
sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari
semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabulkan,
dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa
binatang.
Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang
Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam keluhannya:
“Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Mayawati
permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah
menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu mengasihi
sang permaisuri Dewi Mayawati.”
Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya,
sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu
sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan
hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari115
darma tidak menjawab (ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti) kalau
menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dijawab,
maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan
untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian
itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri.
Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan
para biksu.
Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng tangan
terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya
sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan
jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan
janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak dicintai,
kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Banggali.
Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari
Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk
ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku perapian.
3.3.3 Kunjarakarna
Kitab ini berisi seorang raksasa bernama Kunjarakarna
yang ingin menghapus dosanya agar menjadi manusia. Ia kemudian
menghadap kepada Batara Wairocana (dalam Pedalangan Maharsi
Budha Wirocana) yang menjabat sebagai pimpinan Dyani Budha.
Sang Kunjarakarna kemudian diperintah oleh sang Wairocana
pergi ke neraka supaya mengetahui situasi kondisi neraka. Berangkatlah
ia ke kahyangan sang Batara Yama. Sampai di kahyangan
Yomani dan sesudah bertemu dengan sang Yama, kemudian diperlihatkanlah
akan segala macam hukuman dan jiwa yang disiksa.
Demi melihat sebuah kawah yang dibersihkan, sang Yama
memberi tahu bahwa kawah itu dibersihkan untuk menghukum sang
Purnawijaya putera Batara Indra yang sangat besar dosanya. Keluarlah
Kunjarakarna dari neraka itu dan langsung menemui kawannya
sang Purnawijaya. Kunjarakarna kembali menghadap sang Wairocana
dan kemudian diwejang. Dengan taat Kunjarakarna menjalankan
wejangan-wejangan itu, maka sang Kunjarakarna menjadi manusia
berwajah bagus. Sang Purnawijaya juga minta wejangan kepada
sang Wairocana. Maka ketika ia meninggal yang mestinya dihukum
100 tahun, hanya menjadi 10 hari dan nyawanya boleh dikembalikan
ke tubuhnya.
Kitab Kunjarakarna isinya sebagai pelajaran untuk orangorang
Budha golongan elit (Mahayana). Dan kitab ini juga promosi
agar mereka senantiasa melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan
ajaran sang Budha Gautama. Sudah barang tentu hal ini juga
merupakan ajaran kepada para birokrat lainnya, agar selalu berpegang
teguh sebagai umatnya Sang Hyang Maha Budha. Sedangkan
116
penganut Budha yang terdiri dari kaum bawah, orang-orang miskin
digolongkan sebagai umat Budha Hinayana.
3.3.4 Kitab Utara Kandha
Kitab ini termasuk kitab Kandha yang paling baru. Memang
dipetik dari cerita Ramayana Walmiki bagian akhir dari Kakawin yang
berbahasa Jawa Kuna. Kitab Utara Kandha yang baru, ditulis dengan
menggunakan gubahan baru, berbahasa prosa. Isinya bermacam-
macam gubahan. Rincian ceritanya banyak sekali, misalnya terjadinya
raksasa-raseksi, yaitu cerita tentang nenek moyang Dasamuka.
Juga tentang lahirnya Dasamuka dan sikap dan sifat Dasamuka
yang kejam dan tidak hormat kepada para dewa dan pendeta. Bahkan
cerita Arjunasasrabahu-pun dimuat juga. Dalam kakawin Ramayana
tidak memuat gubahan ini. Kitab Utara Kandha gubahan baru
ini isi pokoknya adalah menceritakan Dewi Sinta ketika sudah pulang
ke Ayodya.
Dikisahkan bahwa masyarakat masih mencemburukan kepada
Sinta tentang kesuciannya selama berada dalam belenggu Dasamuka.
Mendengar berita kecemburuan masyarakat, segeralah Rama
menyuruh Sinta pergi dari Ayodya dalam kondisi sedang hamil.
Dalam perjalanannya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh
seorang Empu bernama Walmiki. Kemudian Sinta tinggal di pertapaan
tersebut hingga melahirkan bayi kembar laki-laki diberi nama Kusa
dan Lawa.
Dua orang anak Kusa dan Lawa inilah yang kemudian dididik
Empu Walmiki sehingga pandai mampu membaca lontar, pandai
bercerita. Bahkan bisa menceritakan kehidupan sang ayah yaitu Sri
Rama hingga muncul buku Ramayana. Ketika Sinta akan kembali ke
Ayodya memenuhi panggilan Sri Rama, tiba-tiba setelah beberapa
langkah, buminya retak sangat lebar dan Sinta terjerumus ke dalamnya
dan meninggal. Sri Rama tidak lama kemudian harus pulang ke
kahyangan sebagai Wisnu.
3.3.5 KorawaƧrama
Dalam kitab ini menyebutkan sang Hyang Taya yang ditempatkan
di atas Sang Hyang ParameƧwara (Batara Ćiwa atau Batara
Guru). Dalam bahasa Jawa kata Taya berarti kosong atau tidak kelihatan,
tidak bisa diraba, bersifat gaib. Sang Hyang Taya adalah nama
untuk menyebut Tuhan orang Jawa-asli. Percaya kepada Sang
Hyang Taya disebut Kapitayan. Di Jawa Sang Hyang Taya sama dengan
Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, itulah Tuhan
orang Jawa asli dan masih ada nama lain.
Isi Kitab KorawaƧrama juga beraneka ragam. Tetapi pokok
isinya adalah para Korawa akan dilakonkan membalas dendam kepada
Pandawa.
117
Bagawan Abiyasa diminta untuk menghidupkan kembali para
Korawa dan para sekutunya. Mereka-pun hidup atas kehendak
Sang Begawan. Kemudian mereka merencanakan untuk mengadakan
pembalasan terhadap saudara-saudaranya yaitu Pandawa. Sudah
barang tentu dengan wataknya yang sombong itu mereka akan
membuat sakit dan siksa serta susah bagi orang-orang Pandawa, biarlah
hidupnya tidak tenteram. Tetapi apa mau dikata, belum lagi
sampai kepada pembalasan, habislah cerita itu.
3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru)
Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama.
Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu
saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran
dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti
unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya.
Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda
atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya sudah
mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sastra
yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam penyaduran
Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak mengerti
Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko
yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Kawi
bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang
Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra matya
laga”. Artinya, “Adapun tawur (tumbal atau korban) sang Duryudana
adalah seorang brahmana (dengan cara dibunuh), menyusullah
(tawur Pandawa), oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana
oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan bersama
wangsanya.
Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, bagian
ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngastina,
tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur
Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau
korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sungguh-
sungguh dibuat tawur ( korban ) oleh Hastina.” Adapun yang dianggap
salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang
sudah lama.
Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang
satriya gunung (bang-bangan) yang baru saja kawin, tetapi istrinya tidak
mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-duanya
mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami
istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika perang
Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur (korban) untuk para
Pandawa.”
Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena
kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi
118
bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapanya
atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya
yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisapwani
bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam kitab
Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Bagawan
Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani.
Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng
apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nanggaha
mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat (ewed)
orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si
patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pegangan
sekarang ini.”
Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh
tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “
Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutkaca.
Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”.
Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Gathotkaca
minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna.
Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran.
Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha
ya ta ‘jar i sira” (kita Kawi bagian 44 bait 1). Artinya ada prajurit yang
dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya
ta (tua ia itu) dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuhayata.
Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tuhayata
ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijau/biru.
Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut
terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih,
kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujudnya,
menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh
dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang
(cindhe) (Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241 )
Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak
disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka
yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sangasanga.
Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharatayuda
Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi
banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat.
Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara
Hastina.
3.3.7 Sena Gelung
Sena Gelung sebuah cerita wayang Jawatimuran petikan
dari lakon Ramayekti versi Jawatimuran. Lakon Sena Gelung belum
pernah terbukukan. Judul Sena Gelung-pun hampir-hampir belum
banyak yang mengetahui. Hanya beberapa dalang saja yang pernah
119
menampilkan. Mereka tahu dan mengerti apa maksud dan tujuan lakon
itu ditampilkan.
Atas persetujuan ki Dalang Suleman, seorang dalang senior
dari Gempol, Pasuruan, Jawa Timur dan didukung oleh para dalang
yang lain, lakon Sena Gelung ini disusun dalam pakeliran singkat
oleh Djumiran RA. Lakon ini dipentaskan pertama kali oleh ki Dalang
Suleman dengan waktu 3 jam, tahun 1995 di kota Malang.
Lakon ini terjadi setelah Bratasena selesai membabat hutan
Samartalaya. Sementara belum mampu membuat besar, maka mereka
para Pandawa hanya membuat rumah seadanya, dengan diberi
nama Pondhok Waluh (rumah janda).
Di luar Pondhok Waluh agak jauh, Bratasena yang juga
bernama Pujasena (Wijasena) sedang duduk di atas batu sambil melamun
dengan banyak pertanyaan. Aku ini bernama Sena, padahal
Sena berarti prajurit. Prajurit kan harus sakti. Benarkah aku ini sakti.
“Hm… kalau begini, aku jadi ingat pesan Abiyasa kakekku”. “Ketahuilah
cucuku Sena, kamu besok akan menjadi orang kuat, kamu suka
menolong, kamu akan menjadi sentosa dan kuat. Bersihkan dirimu,
sisirlah rambutmu yang gimbal itu dengan Jongkat – Penatas,
carilah !”. “Dimana aku harus mencari Jongkat Penatas? Siapa punya
Jongkat itu? Siapa yang menyisir ?
Demikian lamunan Sena tak kunjung henti. Semakin lama
semakin dia berpikir. Memikirkan ibunya yang adalah seorang Walu
(janda), adik dan kakanya dalam percarian makan sehari-hari masih
harus bergantung kepada kekuatan pribadinya… “bagaimana ini”?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikirannnya melalui
lamunan. Melamun, melamun terus melamun.
Dia sang Wijasena semakin lupa akan tempat dimana dia
berada. Siapapun yang lewat tidak akan tahu. Tetapi dengan tiba-tiba
ia tergerak keras sampai tergeser duduknya. Ada apa gerangan ?
Wijasena membelalakkan mata karena bahunya disentuh orang,
langsung berdiri secara reflek tangan kanannya bergerak Nempeleng
orang yang menyentuh tadi.
Sudah barang tentu yang ditempeleng itu jatuh terjungkal
jauh karena kerasnya tempelengan Wijasena. Tetapi orang itu terus
ditolong sama Wijasena, sebab ia tahu bahwa yang ditempeleng keras
sampai terjungkal itu Raden Patih Harya Suman. Sesudah agak
reda maka bertanya BrataSena (Wija-Sena) kepada Sengkuni. “Paman
Harya Sengkuni, ada apa sebenarnya bahwa patih meNemuiku
dengan sikap yang mengagetkan aku?” Patih Harya Sengkuni/Suman
dengan pura-pura bilang bahwa ada raksasa setan ngamuk
mencari Bratasena. Merasa pernah membabad hutan Samartalaya
dan serta merta membunuh setan, maka meloncatlah Wijasena lari
mencari raksasa setan yang akan membalas dendam. Hati Sengkuni
girang sukacita sambil meloncat-loncat bertepuk tangan.
120
Bratasena selalu ingat pesan Resi Wiyasa kakeknya, supaya
hati-hati dalam bertindak. Jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu
dalam setiap mengambil keputusan. Terpaksa berhenti Wijasena
sambil menanti patih Sengkuni. Wijasena bertanya: “Betulkah paman
yang mencari aku itu raksasa setan?” patih menjawab dengan purapura
“betul nak betul, mari nak keburu prajurit Astina banyak yang
mati.”
Seketika itu Wijasena meloncat dengan tiga loncatan, ternyata
sebelum mendekat “benar-benar ada raksasa setan mengamuk.”
Wijasena berdiri menyelinap sambil mengintip siapa sebenarnya
raksasa yang disebut oleh Sengkuni “Buta (raksasa) – Setan”
itu? Dari tempat mengintip, Wijasena sudah bisa memastikan bahwa
itu bukan raksasa-setan tetapi memang raksasa. Wijasena juga
mendengar raksasa itu mengatakan, namanya “Wreka” mencari kakaknya
bernama Wangsatanu yang berada di negeri Astina. “siapa
Wangsatanu?” pikir Wijasena. Dengan melihat perang kerubutan
orang Astina terhadap Wreka seorang, Wijasena meloncat mendekat
Wreka dipukuli, ditendang, dikenai pisau gobang, tusukan keris, tlorongan
tombak di tubuhnya tidak dirasakan, bahkan tidak mempan.
Bagi Wijasena, ini adalah penghinaan.
Setelah dekat dengan raksasa itu, semua prajurit Astina disuruh
menyingkir. Sekarang tinggal Wijasena dengan Wreka. Demikian
Wreka merasa menemukan apa yang dicari. Maka ditubruknyalah
Wijasena. “Lha… inilah yang kucari, he… kakang Wangsatanu,
aku adikmu Wreka sangat merindukanmu, hayo kakang terimalah
sembahku kakang.” Mendengar ajakan Wreka seperti itu, Wijasena
menjadi marah …, dan semakin marah…, bahkan menjadi marah
besar. Akibatnya dengan kekuatan yang sebesar kekuatan Wreka diringkus
dan diinjak sampai tidak mampu bergerak, maka katanya si
Wreka “jelas, jelas sekali kamu kakangku Wangsatanu, aku tidak
akan menang denganmu kakang, jika tidak menerima sembahku,
maka bunuh saja aku, asal yang membunuh kamu kakang Wangsatanu
ya kakang Wijasena. Aku lega karena yang kucari sudah kutemukan.”
Tidak berapa lama, datanglah wanara seta (kethek putih), si
kera putih melerai keduanya. Wreka diajak mundur berada di belakang
Wanara Seta (Anoman) yang berdiri berhadapan dengan Wijasena.
Wanara Seta (kera putih) menjelaskan bahwa Wreka itu cantriknya
sendiri di pertapaan Kendalisada. “Yang menempati Kendalisada
itu aku sendiri. Nama saya Bhagawan Kapiwara, juga bernama
Raden Anoman.”
Wijasena merasa heran, kera kok pendheta, kera kok Raden
(raden dari mana). Namun demikian Bratasena mengangguk
tanda setuju. Kemudian Bratasena bertanya, ”ada maksud apa Wreka
mencari Wijasena/Bratasena?” Anoman menjelaskan bahwa Wreka
baru saja bermimpi akan mendapat ketenteraman jika sudah ber121
temu kakaknya yang bernama Wangsatanu yang berada pada pribadi
satriya Astina. Kecuali itu Anoman juga menjelaskan bahwa syarat
ketenteraman itu bisa diraih Wreka yang harus juga menyisir rambut
gimbal milik seorang pemuda yang belum diketahui namanya. Syarat
yang lain ialah nama Wreka harus dipakai oleh pemuda yang disisir
itu. Wijasena rupanya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Anoman.
Kemudian menanyakan siapa diri Anoman itu dan kenapa busana
yang dipakai Anoman sama dengan busana yang dipakainya.
Padahal busana yang dikenakan Wijasena pemberian Sang Batara
Bayu.
Begitu mendengar pertanyaan Wijasena, Anoman sang wanara
seta (Anjila) teringat akan pesan sang guru nadi (Batara Vayu/
Bayu) bahwa kalau ketemu pemuda yang berbusana sama itulah
saudaramu Satu Puruhita bernama Bratasena/Wijasena (Bungkus).
Sesudah semuanya jelas maka Wreka yang sudah lama membawa
pusaka Jungkat Penatas segera menyisir rambut gimbalnya Wijasena.
Terurailah rambut gimbal Bratasena. Puaslah Wreka karena
sembahnya diterima. Oleh Anoman rambut yang sudah terurai bersih
kemilau kehijau-hijauan itu digelung. Karena digelung brodhol-brodhol
(terurai) terus, sehingga harus disangga dengan sumping Pudhak
Sinumpet. Maka selesailah Gelung Wijasena, dan diistilahkan
Gelung melengkung pindha lung gadhung (gelung melengkung seperti
ranting pohon gadung). Ketiganya saling merangkul dan nama
Wreka terus dipakai oleh Bratasena menjadi Wrekodara (Wreka artinya
anjing ajag, udara artinya perut). Upacara Sena Gelung diberi
nama Pujasena Cawis Prawira.
3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin
Buku/tulisan sastra lakon/cerita yang berbentuk tembang
Kawi atau Kakawin, di antaranya ialah:
3.3.8.1 Kresnayana, karangan Empu Triguna.
Isinya meriwayatkan Kresna yang sebagai anak nakal sekali,
tetapi dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai kesaktian
yang luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini
dengan jalan menculiknya.
3.3.8.2 GathotkacaƧraya, karangan Empu Panuluh
Isinya menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu dengan
Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantuan
sang Gathotkaca. Dalam kitab ini untuk yang pertama kali muncul
tokoh-tokoh punakawan, seperti Jurudyah, Prasanta dan Punta sebagai
pengiring Raden Abimanyu.
122
3.3.8.3 Arjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa
Isinya meriwayatkan Arjuna yang pertapa untuk mendapatkan
senjata, guna keperluan perang melawan Korawa, kelak dalam
Bharatayuda. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksasa
Nirwatakawaca yang menyerang Kahyangan. Sebagai hadiah, Arjuna
boleh hidup di Indraloka beberapa lama. Kitab ini digubah oleh
Empu Kanwa pada masa Airlangga raja di Jawa Timur dari sekitar
tahun 941 – 946 saka (019 – 1042 Masehi).
3.3.8.4 Smaradahana, karangan Empu Darmadja
Ketika batara Siwa sedang bertapa, seorang raja raksasa
bernama Nilarudraka datang di Kahyangan untuk merusak Sorga.
Sang Kamajaya disuruh oleh para dewa untuk menyusulnya. Sampai
di tempat bertapa, Kamajaya berkali-kali membangunkan tapanya
dengan berbagai cara, tetapi gagal. Dicoba dengan panah bunganya-
pun gagal juga. Akhirnya dipanah pamungkasnya yaitu panah
Pancawiyasa yaitu sebuah panah yang bisa membangkitkan rasa
rindu-dendam terhadap pendengaran dan persaan, penglihatan yang
serba nikmat.
Seketika itu juga, Batara Siwa rindu terhadap isterinya
Sang Batari Uma. Namun Batara Siwa marah karena tahu bahwa itu
adalah ulah Kamajaya. Maka dari “mata-ketiga” Batara Siwa terpancarlah
api menempuh dan membakar Kamajaya sehingga matilah
Kamajaya. Batara Siwa melenjutkan perjalanan pulang ke Sorga.
Sampai di Sorga bertemulah dengan permaisuri, kerinduan bisa lepas
dan tersalur hingga sang Batari hamil.
Sementara Kama Ratih mencari sang suami yang mati terbakar,
terlihat tangan Kamajaya bagaikan melambai-lambai, maka
Ratih menggelebyur ke dalam nyala api (dahana mulat) hingga terbakar
dan mati. Oleh Batara Siwa keduanya tidak dimaafkan, Kamajaya
disuruh menyatu dengan tubuh setiap lelaki dan Batari Ratih harus
menyatu pada tubuh setiap perempuan sampai sekarang.
Dicerikan kehamilan sang Batari Uma telah sampai pada
saat kelahirannya. Maka lahirlah seorang bayi (jabang-bayi) berkepala
gajah. Ini akibat dari waktu hamil sang Uma terkejut melihat gajah
yang dibawa oleh para dewa ketika pura-pura menjenguk Batara
Siwa. Bayi yang lahir itu diberi nama Batara Ganesa. Kehadiran raja
raksasa Nilarudraka yang akan merusak sorga itu dapat dipukul
mundur dan dibunuh oleh Ganesa.
Kitab Smaradahana juga menyebut nama raja Kediri Prabu
Kameswara titisan Kamajaya yang ke-3. Parameswari Sri Kirana Ratu
sebagai titisan Kama Ratih. Pemerintahan Kameswara ini terjadi
pada tahun 1037 – 1052 Saka atau tahun 1115 – 1130 Masehi.
123
3.3.8.5 Bomakawya
Kitab ini berisi cerita peperangan antara Sri Kresna melawan
sang Boma. Demikianlah cerita peperangan tersebut.
Kehadiran Batara Narada di negara Dwarawati minta tolong
kepada Sri Kresna agar membunuh para bala raksasa anak buah
(prajurit) sang Boma, yang sedang mengepung ke Inderaan. Samba
putera Sri Kresna diperintahkan untuk berangkat mendahului bersama-
sama beberapa tentaranya. Sampai di kaki gunung Himalaya,
bertempurlah mereka melawan raksasa-raksasa dan musnahlah semua
bala raksasa.
Dengan berakhirnya perang itu Raden Samba melihat sebuah
pertapaan rusak dan sepi, hanya ada seorang jejanggan bernama
Puthut Gunadewa. Di situlah Raden Samba menanyakan bagaimana
riwayat pertapaan itu. Sang Gunadewa kemudian menceritakannya,
bahwa tempat itu adalah bekas pertapaan Sang Dharmadewa
putera Batara Wisnu.
Sesudah sang Dharmadewa wafat, maka permaisurinya
menjadi tapa-tapi di pertapaan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian,
permaisuri yang bernama Yadnawati itu meninggal. Terakhir pertapaan
ini ditempati oleh seorang pendeta gurunya Gunadewa bernama
Pendeta Wismamitra.
Mendengar cerita si jejanggan Gunadewa, maka terlintaslah
kembali dalam ingatan Raden Samba bahwa Dharmadewa (putera
Wisnu) itu adalah dirinya sendiri. Ia sekarang sangat rindu kepada
Yadnawati.
Sementara kerinduan Raden Samba terhadap Yadnawati tidak
terbendung, datanglah Batari Titlotama yang mengatakan bahwa
Yadnawati menitis pada puteri raja dari utara nagara dan namanya
tetap Yadnawati. Tetapi karena kerajaan diserang oleh seorang raja
raksasa prabu Boma, ayah ibunya meninggal. Kini sang puteri dipelihara
sang Boma.
Raden Samba diantar oleh Batari Titlotama, dengan diamdiam
menemui sang Yadnawati. Di situ pula Samba berhadapan dengan
bala raksasa penjaga. Samba mampu mengalahkan para penjaga
dan matilah penjaga itu. Tetapi Yadnawati telah dibawa oleh
Boma ke negaranya yang lain di Projatisa.
Batara Narada datang memberitahukan agar Raden Samba
kembali ke Dwarawati, sebab di situ bahaya mengancamnya. Cepatcepat
Raden Samba ke Dwarawati tetapi tak bisa bertemu kekasihnya
sang Yadnawati. Gandrung tak terelakkan hingga sakit. Kresna
ayahnya marah, Boma dibunuhnya. Raden Samba sembuh dan lalu
dipertemukan dengan Yadnawati, bermadu asmara. Buku ini pengarangnya
tidak jelas.
124
3.3.8.6 Sutasoma
Raden Sutasoma seorang pangeran yang diperanakkan
oleh raja Mahaketu di negeri Astina. Ia tidak mau diangkat sebagai
pengganti ayahnya dan juga tidak mau dikawinkan, ia pemeluk Budha
Mahayana, sangat rajin. Suatu saat Raden Sutasoma pergi dari
istana, semua pintu terbuka bagaikan memberi jalan kepadanya. Dengan
kepergian Sutasoma tentu raja dan parameswarinya sangat sedih.
Penghibur istana tidak terhiraukan.
Perjalanan Raden Sutasoma sampai di sebuah hutan, melihat
kuil kecil dan masuklah ia memuja kepada Maha Budha. Datanglah
batari Widyukarali yang memberitahu bahwa permohonannya dikabulkan.
Kemudian Raden Sutasoma naik ke gunung Himalaya dengan
dihantar oleh para pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, semua
yang dilakukan Raden Sutasoma diceritakan kepada orang
yang ada di situ. Di samping itu, Raden Sutasoma juga mendapat
cerita tentang seorang raja yang bagus rupa tetapi titisan raksasa
yang gemar memakan daging manusia. Raja itu bernama prabu Purusada
atau Kalmasapada. Suatu saat daging yang akan disantap hilang
dimakan anjing dan babi.
Sudah barang tentu pelayan itu bingung. Maka dicarinyalah
mayat manusia yang baru untuk diambil dagingnya sebagai santapan
sang prabu Purusada. Ternyata pelayan itu langsung memasak
daging yang didapatnya. Setelah disantap, ternyata daging sebanyak
itu habislah. Dengan merasakan segar dan nikmat, sang prabu Purusada
menanyakan daging apa yang baru disantapnya? Dengan jujur
ia menjawab ”daging manusia”. Demikian kesenangan makan daging
manusia bagi sang Prabu Purusada semakin tak terbendung. Akibatnya
penduduk di negeri itu habis dimakan.
Karena kuasa Sang Hyang Wenang, raja raksasa itu terluka
kakinya dan tidak bisa disembuhkan, akhirnya ia benar-benar menjadi
raksasa penghuni sebuah hutan. Sang Purusada merasa tersiksa
atas kakinya yang sakit itu. Lalu berjanji akan mempersembahkan
seratus raja untuk santapan batara Kala bila sembuh kembali.
Batari Pertiwi dan para dewa meminta Sutasoma untuk
membunuh raja Purusada, tetapi tidak mau. Raden Sutasoma meneruskan
perjalanannya dalam rencana untuk bertapa. Dalam perjalanannya
Raden Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah
yang juga pemakan daging manusia. Kebetulan Raden Sutasoma tidak
mau dimakan, maka bergulatlah, dan raksasa terguling ditindih
olehnya. Ia merasa keberatan, bagaikan tertindih gunung. Raksasa
berkepala gajah itu kemudian tunduk kepada Raden Sutasoma. Diajarlah
ia supaya tidak suka membunuh orang dan kemudian menjadi
sahabatnya.
Seekor naga besar yang menyambar Raden Sutasoma ternyata
bisa ditaklukkan oleh raksasa kepala gajah dan menjadilah
125
muridnya. Ada seekor harimau yang akan memangsa anaknya sendiri
(gogor). Oleh Raden Sutasoma dilarangnya, harimau tadi memakan
dirinya. Langsung saja Raden Sutasoma ditubruknya dan matilah.
Dengan kesadaran sendiri harimau itu merasa berdosa dan menangislah
pada kaki Raden Sutasoma dan ingin mati saja.
Sutasoma dihidupkan oleh Batara Indra. Setelah saling berdialog,
Indra kembali ke Kahyangan. Raden Sutasoma lalu bertapa.
Meskipun banyak godaan tetapi tak tergoda, malah menjelma sebagai
sang Budha Wairocana. Setelah para dewa ingin menghormat
maka menjadi Raden Sutasoma kembali dan langsung pulang.
Sepupu Raden Sutasoma yang bernama Prabu Dasabahu
sedang berperang melawan tentara raksasa Prabu Kalmasapada.
Raksasa kalah mengungsi kepada Raden Sutasoma. Prabu Dasabahu,
mengejarnya ternyata ketemu dengan sepupunya. Bala raksasa
disuruh kembali. Raden Sutasoma diajak pulang ke negerinya, terus
dikawinkan dengan adiknya Prabu Dasabahu, dan berputralah mereka,
terus pulang ke Astina bergelar Prabu Sutasoma.
Prabu Purusada yang sudah mampu mengumpulkan 99
orang raja tinggal seorang saja segera akan diserahkan ke Batara
Kala. Ternyata setelah ketemu dengan Prabu Sutasoma yang sanggupkan
dirinya sebagai penggenapan jumlah 100 orang raja.
Sebelum sampai di hadapan Batara Kala, sang Prabu Purusada
terharu akan kesanggupan Prabu Sutasoma. Akhirnya bertobatlah
sang Purusada dan 99 orang raja tawanan dibebaskan.
Kitab Sutasoma ditulis pada jaman pemerintahan Raja Hayam
Wuruk di Kerajaan Majapahit. Induk karangan ada di negeri Indu.
Sayang sekali siapa penulisnya tidak diketahui dengan jelas.
3.3.8.7 Parthayadnya
Purbocaroko, dalam Kapustakan Jawa-nya mengungkapkan
bahwa buku Parthayadnya sederet dengan Kitab Arjunawijaya
dan Sutasoma. Pernyataan pada isi buku, bahwa buku ditulis pada
jaman Majapahit pertengahan sampai akhir. Isi kitab ini mengisahkan
kehidupan orang Pandawa sesudah kalah main dadu. Mereka dipermalukan,
dianiaya diseret ke hadapan para raja yang berkumpul di
negara Astina. Kemudian dibuang ke hutan selama 12 tahun.
Akhirnya dalam mempersiapkan diri, oleh Yudhistira, Arjuna
disuruh bertapa di gunung Indrakila. Dalam perjalanannya sang Arjuna
singgah di pertapaan Bagawan Mahayani di dalam hutan Wanawati.
Ketika laju perjalanannya Arjuna bertemulah dengan Dewi Sri
(wahyu istana Indraprastha) yang pergi meninggalkan istana karena
raja Yudhistira telah berbuat kurang pantas. Ia sanggup kembali ke
istana asal dipelihara. Maka gaiblah wahyu Dewi Sri.
Arjuna juga bertemu dengan Kamajaya dan diberi wejangan-
wejangan berharga dan diberi peringatan bahwa akan datang
mara bahaya yang dibawa oleh seorang raksasa bernama Nalamala
126
yang berkepala 3, yaitu sebuah kepala gajah, sebuah kepala raksasa
dan yang ketiga kepala garuda.
Setelah diperingatkan oleh Kamajaya, tidak lama kemudian
Arjuna diserang oleh Nalamala. Tetapi hanya dengan bersemedi
sang Arjuna nampak berbadan Batara. Nalamada takut dan pergilah
dengan ancaman suatu saat nanti akan ketemu berperang lagi, pada
jaman Kaliyuga.
Dalam perjalanan selanjutnya Arjuna bertemu dengan sang
kakek Maharsi Wiyasa. Diberi petunjuk dan wejangan tentang perilaku
hidup dan kehidupan bagi seorang satria bangbangan (bambangan).
Usai diberi wejangan, di antar ke Indrakila dan bertapalah.
Prof. Dr. R.M.Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawanya,
menjelaskan bahwa Kitab Parthayadnya tidak mengandung
lakon. Hanya menceritakan perjalanan Raden Arjuna untuk menuju
bertapa ke Indrakila yang dalam perjalanannya mendapatkan ajaran
dan ilmu bermacam-macam. Penulis buku Parthayadnya juga tidak
jelas, namun hal ini disejajarkan dengan kitab Sutasoma.
Demikian beberapa buku (tulisan/sastra) yang diambil dari
buku yang bertembang dan sastra prosa. Tentu masih banyak bacaan-
bacaan lain yang berhubungan dengan sastra lakon.
3.4 Sastra Gending
Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggunakan
gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan mengutamakan
masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesusasteraan
yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan
termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering terdengar
istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak,
senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, cengkok,
merong, dan pedhotan.
3.4.1 Syair (Cakepan).
Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemudian
tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam
tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi jangan
salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tembangnya,
melainkan kata-katanya.
Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat
bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memuat
parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya.
Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernyanyi
dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar
akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dimengerti
dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (suara
senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas.
127
3.4.2 Bawa / Buka
Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gending
yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gending
juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya menggunakan
instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga dengan
Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan menggunakan
Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Bawa
dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tumpang
tindih suasananya.
3.4.3 Jineman
Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan secara
bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah panembrama.
Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dilagukan
oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut
saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus
(Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Kenong,
contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan
sebagainya.
3.4.4 Umpak
Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi,
khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak
seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau
salah satu alat gamelan.
Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata
(cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan
cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka
rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua baris
yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada
setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak
emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang
menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora jujur.
Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap
umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran.
Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut
yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa purwakanthi.
Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Jawa
disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kembang
disebut purwakanthi aksara.
3.4.5 Senggakan
Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela
cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa
128
dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagukan
dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang
dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wadon
seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain.
Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan
tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi
bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan senggakan
yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho..,
ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin semarak
dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terungkap
dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gembira,
suka cita dan menyegarkan jiwa.
3.4.6 Gerong
Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan
gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan
sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang diambil
dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu,
misalnya:
Kinanthi
Nalikanira inga dalu
Wong agung mangsah semedi
Sirep kang bala wanara
Sadaya wus samiguling
Nadyan ari sudarsana
Wus dangu nggenira guling
Pucung
Ngelmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan khas
Tegese khas nyantosani
Setya budya pangekese durangkara
Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, misalnya:
Juru Demung
Cirine serat iberan
Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirahingsun
Katon pupur lelamatan
Kunir pita kusut kayu
Wulu cumbu madukara
Paran margining ketemu
129
Balabak
Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur
Dedege
Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok
Jenggote.
Girisa
Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginarbeging
upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang
manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata
ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya.
Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan
bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan
adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu
perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditembangkan
itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Sebagian
besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa
bagi semua umat manusia.
3.4.7 Sindhenan.
Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan berasal
dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi
kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga
menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata
sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu tegur,
disendhu artinya ditegur.
Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti
tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetembangan.
Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimatkalimat
bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun purwakanthi.
Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan:
sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak),
wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa),
kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan
mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sarira
(kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngrekapuspa
(nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar)
Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa
(pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang,
golek krawuh mrih kaonang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesindhen
dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bisa
disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia.
130
3.4.8 Irama
Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak
waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk mengatur
jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya
irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur
sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Irama
lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama dadi,
juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga
atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama
yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama
srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah,
Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah
irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut
irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa
yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng Andhengan.
Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama
dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi.
3.4.9 Cengkok
Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh
seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa
cengkok itu kedalam tabuhan.
3.4.10 Merong
Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,contoh
Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong
yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni
saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh
Pesindhen.
3.4.11 Pedhotan
Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam
tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam
gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih sering
di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) disebut
Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir
gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut
Andhegan.
Selanjutnya perlu diketahui dari sub poin 3.1 cakepan sampai
dengan sub poin 3.14 Pedhotan yang merupakan unsur-unsur
Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panembahan
Senapati Mataram tembang Sinom, contoh:
Marma sagung trah Mataram,
kinen wignya tembang kawi,
131
jer wajib ugring ngagesang,
ngawruhi titining ngelmi,
kang tumraping praja ‘di,
yembang kawi asalipun,
tan lyan titining sastra,
paugeraning dumadi,
nora nan kang liya tuduhing sastra.
3.5 Sastra Antawacana
Dalam pelajaran Antawacana pada Sekolah Menengah Kejuruan
Negeri jurusan Seni Pedalangan, dapat dibagi-bagi menjadi
Janturan, Ginem, Pocapan. Ketiga-tiganya tentu membutuhkan kecermatan
didalam pengucapan, memilih kata, ingat akan tingkatan
bahasa / unggah-ungguh basa dan parama sastra. ini harus dilakukan
dengan persiapan yang super hati-hati, agar di dalam sajian pertunjukkan
si penonton pulang dengan membawa kepuasan. Untuk itu
semua perlu dibicarakan satu per satu.
3.5.1 Janturan
Pada hakekatnya Janturan itu sebuah orasi seorang dalang
yang ingin menjelaskan tentang apa yang disajikan pada pakelirannya.
Kebanyakan janturan yang berlaku pada pertunjukkan wayang
berupa kalimat-kalimat indah (basa rinengga) diucapkan secara gancaran
dan lesan. Isinya janturan menceritakan dan mengupas situasi
dan kondisi suatu Negara. Namun sebagaimana umumnya yang berlaku
pada pewayangan jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Barat maupun
Jawa Timur dan Bali, orasi ini berwujud Jejer suatu Negara / kerajaan,
pertapaan, rumah panakawan. Janturan yang berisi panyandra
(menggambarkan) dan menceritakan bagaimana suasana suatu
Negara / pertapaan, rumah. Biasanya diambil dari hal-hal yang baikbaik
saja, kecuali Jejer Astina atau di tempat raksasa.
Dalam adegan Jejer, apabila masih dalam kondisi pathet
Nem (Solo, Yogya, Banyumas) suara dalang saat berorasi harus berada
pada bilah 2 atau 6. Kata-kata / kalimat-kalimat yang rangkaiannya
berupa gaya bahasa indah (Basa rinengga) tersusun dengan
memilih kata yang sudah berdasanama (sinonim) sehingga membentuk
menjadi basa pedalangan.
Jejer di dalam wayangan semalam suntuk terjadi minimal 3
kali, dan bisa sampai 5 atau 6 kali, yaitu jejer I, pada awal dimulai
pertunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kemudian jejer II terjadi sesudah
“Budhalan” prajurit dengan naik kuda, kira-kira pukul 23.00. selanjutnya
jejer ke III terjadi sesudah ada tanda peralihan waktu dari wilayah
pathet Nem masuk ke dalam wilayah pathet Sanga. Maka jejer
ke III ini terjadi sudah berada dalam wilayah pathet Sanga, sehingga
132
peristiwa jejer III sering disebut Jejer Sanga I. Sering juga sebelumnya
diisi gara-gara.
Peristiwa dari jejer I, jejer II dan seterusnya itulah janturan
ikut berpersan aktif sebagai sarana penjelasan kepada para penonton.
Secara structural, janturan jejer tersusun demikian Pertama
Adangiyah (kata-kata awal) Berbunyi “swuh rep data pitana” artinya
dari kosong (/suwung, sepi / mandheg / mati ), akan digelar kehidupan
di dunia ini.
Dalam hal ini sebagai penggelar kehidupan adalah Sang
Maha Hidup (yang punya hidup) yang di dalam seni pertunjukkan
wayang kulit dilambangkan bahwa Sang Dalang yang menceritakan
lakon. Kedua Pambuka berupa penjelasan Sang Dalang kepada penonton
di awal cerita, contoh janturan.
……….. Hanenggih nagari pundit ta ingkang kaeka adi dasa
purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan.
Sanadyan kathah titahing dewa, ingkang kasongan
ing angkasa, kasangga pratiwi kapiting samodra, kathah
ingkang sami anggana raras boten wonten kadi nagari
Dwaraka ya Dwarawati. Mila kinarya bubuka, ngupayaa nagari
satus tas antuk kalih, sanadyan sewu tan jangkep sadasa.
Mila winanstan Dwarawati dados palawangane jagad,
utawi wenganing rahsa, Dwaraka panggenan pambuka.
Ketiga isi berupa untaian kalimat yang menjelaskan tentang
Gambaran suatu Negara yang dikelirkan (dilakonkan). Biasanya tentang
kemakmuran Negara, keadilan (watak adil para marta) dan kebijakan
pemerintah. Bagian isi ini berbunyi agak panjang dan diakhiri
penjelasan. Tentang keperluan sang prabu pada pemerintahannya.
Isi dalam janturan itu biasanya berbunyi sebagai berikut :
………..Dhasar nagari panjang-punjung, pasir wukir loh jinawi
gemah aripah karta tur raharja. Pajang dawa, punjung
luhur kawibawane, pasir samodra wukir gunung, dene nagari
ngungkurake pegunungan, ngeringake pasabinan nengenake
benawi ngayunaken bandaran gedhe. Loh tulus
kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Gemah
para lampah dagang rahinten dalu tan ana pedhote,
labet tan ana sangsayaning margi. Aripah janma manca
kang samya gegriya ing salebeting praja katingal jejel riyel
aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak saking
rejaning praja. Karta kawula ing padhusunan padha tentrem
atine, mungkul pangolahing tetanen. Ingon-ingon kebo sapi,
pitik iwen tuwin raja kaya tan ana kang cinancang, yen rahina
aglar ing pangonan, yen bengi mulih marang kandhange
dhewe-dhewe. Raharja tebih ing parangmuka. Para mantra
133
bupati padha kontap kautame, bijaksana limpad ing kawruh,
putus marang pangrehing praja, tansah ambudidaya kaluhuraning
nata.
Dhasar nagari gedhe abore, padhang jagade, dhuwur kukuse,
adhoh kuncarane. Boten namung ing tanah jawi kemawon
ingkang sami sumujud, sanadyan para narendra ing
mancanagari kathah ingkang sumawita tanpa karana ginebaging
bandayuda, among kayungyun marang popoyaning
kautaman. Bebasan ingkang celak manglung, ingkang tebih
tumiyung. Saben antara mangsa sami asok bulubekti, glondhong
pangareng-areng. Peni-peni reja peni guru bakal guru
dadi mas picis rajabrana minangka panungkul. Sinten ta
jujuluking narendra ingkang anglenggahi dhamparing kaprabon.
Wenang den ucapna jujuluking nata, ajejuluk Prabu
Sri Batara Kresna, Harimurti, Padmanaba, Kesawa, Narayana,
Wasudewa, Wisnumurti, Danardana, Janardana. Mila
jejuluk Sri Batara Kresna, dene cemeng sarirane trus balung
sungsum ludirane, yen ayama ayam cemani, kenging
kinarya sarana. Nadyan Srinata dadi sarana ungguling
prang Bharatayuda darah Pandhawa. Arimurti luwih padhang,
dene wruh sadurunge winarah.
contoh janturan:
Ing pagelaran Jawi andher sowane para mantra bupati beg
amber mbalapar ngantos dumugi sanjawining taratag kaya
ndhoyong-ndhoyongna pancake sujining alun-alun para wadya
kang samya nangkil. Abra busananing wadya yayah
sekar setaman. Ing alun-alun papanjen umbul-umbul bendhera
lalayu paying agung miwah bawat tinon angendanu
pindha mendhung kaya nyurem-nyuremna sorote Sang
Hyang Pratanggapati. Dene ingkang anindhihi ing pagelaran
inggih ta Rekyana patih Udawa, bagus warnane sembada
prawireng yuda mumpuni salwiring guna ing aguna, putus
sandining weweka dhasar ambeg paramarta tansah
angresepi saisining praja marma wong sapraja wedi asih lahir
trus ing batin. Kacarita ing pagedhongan sri narendra arsa
mangun boja wiwaha. Lire boja dhedhaharan, wiwaha
darbe karya. Yektine sang nata arsa mantu. Sinten ta ingkang
den unggar-unggaring karya, tuhu rayi nata putrid ing
Banoncinawi asesilih dewi wara Sembadra ginadhang dhaup
lan raden Arjuna satriya ing Madukara.
Keempat penutup disebut wasana menjelaskan bahwa,
Sang nata akan mulai dialog (Ginem). Permainan gending berhenti
134
(suwuk). Bagian keempat penutup (wasana) contohnya adalah sebagai
berikut:
Ing pagedhongan sang nata sampun ndhawuhaken manguyu-
uyu, mangka dereng ngaturi uninga ingkang raka nata
ing Mandura Prabu Baladewa. Mila mangkana pangudyasmaraning
driya “Iya jagad dewa batara, yen kaka prabu miyarsa
mendah saiba dukane.
Demikianlah Janturan jejer I. Di sana dijelaskan, bahwa raja
Kresna akan menikahkan adik yang bernama dewi Wara Sembadra.
Selanjutnya Janturan jejer II, Janturan jejer III dan seterusnya. Secara
structural akan tersusun seperti pada Janturan jejer I, yaitu berupa
Adangiyah, Pambuka, Isi dan diakhiri dengan penutup (Wasana).
Tentunya ada perbedaan, misalnya waktunya lebih pendek
secara otomatis susunan kata-katanya pun akan lebih pendek pula.
Demikian juga Adangiyahnya pun tentu berbeda. Lebih-lebih isinya,
pasti akan berbeda jauh. Sedangkan pambuka dan panutupnya meski
berbeda, tetapi tidak terlalu jauh. Bahkan bisa juga dilakukan dengan
cara mengarang sendiri, atau membaca karangan orang lain.
Jika memang sudah memiliki perbendaharaan kata cukup maka Janturan
jejer bisa dilakukan secara improvisasi. Namun seyogyanya tidak
meninggalkan struktur.
Yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap pergantian jejer
harus menggunakan singgetan (wayang gunungan ditancap di tengah-
tengah jagadan), sebagai tanda aleh tempat. Sebelum kayon
dicabut untuk tanda akan ke jejer lanjutan dimulai, sang dalang mengucapkan
kalimat Adangiyah demikian, contoh:
Anenggih sinigeg gantya ingkang winursita ing kawi, ingkang
wonten nagari…, candrane kaya surya kalingan
mega.
(sasmita / tanda dalang minta gending Remeng Slendro pathet Nem)
Selanjutnya dalang harus memilih kata untuk disusun sebagai
pambuka janturan jejer lanjutan, contoh:
Minangka sambunging carita, seje panggonane, nanging
bareng angkate. Punika ta gelare nagari…………
Sedangkan untuk isi, dalang harus melanjutkan memilih kata
sebagai sarana untuk mengungkapkan kondisi alam suatu negara
atau pertapaan, pedesaan yang sedang jejeran. Ada beberapa hal
yang harus diucapkan sang dalang di antaranya yaitu mengenai kondisi
alam dari suatu negara atau pertapaan atau pedesaan, nama raja
atau nama pendeta atau tokoh pedesaan, yang sedang dialami ra135
ja, pendeta atau tokoh pedesaan. Sebagai penutup (pamungkas
atau wasana) tidak berbeda jauh dengan contoh Janturan jejer I.
3.5.2 Ginem
Ginem adalah dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain dalam seni pertunjukkan wayang purwa Jawa. Ginem dalam
pewayangan harus terucap jelas agar para penonton serta pendengar
bisa mengerti dengan mudah dan memahaminya, sehingga
pesan-pesan yang bersifat mendidik akan mudah diterima oleh masyarakat.
Ginem dalam penyajian wayangnya diatur berdasarkan
suara bilah gamelan, misalnya dalam kawasan waktu pathet Nem
suara tokoh Kresna mengikuti laras pada bilah 2, dan apabila dalam
lingkungan pathet Sanga mengikuti laras pada bilah 1, dalam pathet
Manyura mengukuti laras pada bilah 2. Suara tokoh Duryudana dalam
pathet Nem mengikuti bilah 6, dalam pathet Sanga mengikuti bilah
1 dan dalam pathet Manyura mengikuti suara bilah 6.
Sedangkan tokoh wayang lainnya bisa dilakukan dengan
cara mendasar pada bentuk wayang (wanda). Secara structural, ginempun
juga tersusun seperti pada janturan, yaitu terdiri dari bagianbagian,
yaitu Adangiyah, Pambuka, Isi, dan Wasana. Contoh ginem:
Kresna : Jagad dewa batara wayah batara jagad.
Nganti sapandurat kalepyan yen den
adhep para nayaka myang Santana .
(Adangiyah). Kulup Samba apa baya ora
dadi guguping atinira ingsun piji aneng
ngarsaningsun (Pambuka)
Samba : Kawula nuwun-nuwun sareng kula tampi
dhawuh timbalan paduka, dhahat guguping
manah, nalika wonten jawi kados sinamber
gelap tuna, tinubruk ing mong tuna, upami
uninga gebyaring caleret tuhu mboten uninga
dhawahing gelap, raosing manah kumepyur
kados panjang putra dhumawahing
sela kumalasa, upami kambengan salamba
pinanjer ing madyaning alun-alun katiyubeng
samirana sakalangkung anggen
kula kumejot kumitir carob wor lan maras,
sareng dumugi ing ngarsa nata, asreping
manah kula kados siniram toya ing wanci
enjing, babar pisan datan darbe maras.
Kawula nuwun-nuwun………………
Dialog Raden Samba yang no. 2 di atas merupakan dialog
yang masih berada pada bagian pambuka, dan dialog pambuka ini
136
juga diisi dengan ucapan selamat kepada kawan bicara (bage-binage).
Bage-binage tersebut biasanya agak panjang, sebab tokoh yang
dikelirkan juga banyak. Sekarang contoh dialog pada bagian isi.
Kresna : Kulup Samba, seje ingkang ingsun pangandikake.
Mungguh bakal gawene bibinira
Bratajaya dhaup lan pamanira Premadi.
Ing samengko kurang pirang dina, lan
kang padha nindakake pakaryan tarub-tarub
makajangan ing para mantri bupati sarta
pondhok-pondhok apa wus rumanti?
Samba : Kawula nuwun-nuwun kangjeng dewaji. An
dangu badhe damelipun kanjeng bibi Bratajaya,
namung kirang sacandra kalenggahan
punika. Dene panggarap-ipun tarubtarub
makajanganipun para mantri bupati
sampun sami paripurna sadayanipun. Dalah
para among tamu sarta sapasren-pasrenipun
sampun sami mirantos, malah
sampun wiwit manguyu-uyu. Kawula nuwun-
nuwun…….
Kalimat-kalimat ginem di atas hanya merupakan cuplikan
saja. Berisi tentang persiapan menjelang akan adanya perhelatan
perkawinan dewi Wara Sembadra. Namun yang perlu diamati adalah
susunan kata-katanya yang indah, berdasarkan unggah-ungguh basa
yang benar.
Seperti sastra-sastra yang tergabung dalam sastra pedalangan
lainnya, sastra antawacana pada bagian ginem-pun terkandung
unsur-unsur purwakanthi (kalimat bersajak), tingkatan bahasa
(unggah-ungguh basa), tata bahasa (paramasastra), kalimat emosional
(ukara sesumbar) dan lain sebagainya. Kalau di depan diberikan
contoh tentang kalimat ginem dalam kondisi yang tenang, maka
dibawah ini adalah contoh ginem pada saat dua tokoh bersitegang.
Dalam hal ini ki dalang saat memilih kata harus jeli, karena akan memilih
kalimat emosional (ukara sesumbar). Contoh prajurit berhadapan
dengan prajurit.
Prajurit 1 : Hayo, yen pancen sugih kendel, bandha
wani tandhingana aku
Prajurit 2 : Waaaaahh, sumbarmu kaya bisa mutung
wesi gligen. Kaya lanang-lananga dhewe.
Apa wis sacengkang kandele kulitmu. Hayo
dak teter kaluwihanmu.
137
Prajurit 1 : Heeee…… majua sayuta ngarsa, sakethi
wuri ora bakal mundur sajangkah
Prajurit 2 : Kopat-kapita kaya ula tapak angin, kekejer
kaya manuk branjangan, lena pangendhamu
kena dak saut, sabetake prabatang sirna
ilang kuwandhamu!
Prajurit 1 : Tumengaa ing akasa tumungkula ing pratiwi
dak tebak dhadhamu sumyur…..
Contoh ginem raksasa melawan satriya:
Raksasa : Yen kena tak eman, hayo balia
Satriya : ora gawar, ora ana kentheng sarta tan ana
awer-awer kena apa ngalang-alangi laku?
Raksasa : Ndhas buta pating jenggeleg kang minangka
gawar kentheng
Satriya : Ndhas buta pating jenggeleg dak sampar
dak sandhung rambute nggubed ana ing
suku dak tigas curiga lebur tanpa dadi
Raksasa : We lha dala. Ora kena dieman. Wani kowe
karo aku
Satriya : Apa sing dak wedeni?
Raksasa : He…satriyaaaa…..dhuwurmu cendhek, gedhemu
cilik.
Satriya : Ora ana satriya Nempiling ndhase buta
ndadak nganggo ancik-ancik
Raksasa : Kecek sugih japa mantra
Satriya : Ora watak satriya maguru bathangmu
Raksasa : Ngati-ati dak paribasakake timun mungsuh
duren dak bruki remuk dak glundhungi ajur
Kalimat-kalimat ginem di atas dalam kasusasteraan Jawa
sering direkayasa menjadi kalimat tembang Macapat. Misalnya cerita
Partakrama R.Ng. Sindusastra ada yang dibentuk dalam tembang.
Tembang Pangkur:
Denira arsa mangsulana,
Wrekodara krodha sru turireki,
Eh pambarep kadangingsun,
Aja mangsuli sira,
Ingsun ingkang mangsuli prakara iku,
During tutug wong Astina,
Nggone ngajak ora becik.
Tekan si Bule Mandura,
Wiwit milu-milu atining iblis,
138
Jalithenge teka katut,
Yen pareng karsanira,
Si Janaka ingsun arak sesuk esuk,
Sarta sun payungi gada,
Sun iring kaprabon jurit.
Pangantene wadon kana,
Si Bule kang amayungana bindi,
Kurang kurawa kang wuwuh,
Kang njajari gegaman,
Mring panganten sun tunjange ganjuringsun,
Singa tiwas ing ayuda,
Kang raka datan nauri.
3.5.3 Pocapan
Seorang dalang disamping mengucapkan janturan jejer juga
sering memberikan penjelasan kepada para penonton atau pendengar
dengan melalui sebuah narasi yang mengungkapkan tentang
kejadian di suatu tempat atau kejadian yang sedang dilakukan oleh
seorang tokoh wayang, atau kejadian itu baru akan dijalankan. Ungkapan-
ungkapan melalui narasi itulah yang dimaksud dengan pocapan
(pa-ucap-an atau pa-omong-an). Kalimat kejadian yang dimaksud
adalah seorang tokoh bertamu, seorang tokoh melamun, bersemedi,
seorang tokoh dirundung kesedihan, seorang tokoh yang sedang
jatuh cinta (gandrung), seorang tokoh yang akan berangkat ke
medan perang, kejadian sesudah perang, kejadian sedang geger,
bencana alam, dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh pocapan
seorang tokoh yang bertamu ke suatu negara, Prabu Baladewa bertamu
ke suatu negera.......,biasanya pocapan dimulai dari negara
yang akan menerima kehadiran Prabu Balawadewa, misalnya:
Reg reg reg, wauta gumeder, gumarenggeng, gumuruh
swaraning janma padha salang-tunjang kaya gabah den iteri
kaya jebug sinemburan, bledug mangampak-ampak, cingak
para mantra bupati kang padha sumewa temahan sami
taken tinakenan “hehehe dialon kanca, dialon kanca..”
Pocapan di atas terungkap untuk penggambaran di pihak
negara yang akan kedatangan tamu. Hal Ini dilakukan sebagai tanda
hormat suatu negara kepada Prabu Baladewa. Selanjutnya apabila
tamu sudah berada di dalan pasewakan, dalang kembali pocapan,
misalnya:
Lah ing kana ta wau, dupi srinarendra kakalih nenggih Prabu
Duryudana kalayan Prabu Baladewa sampun aben
ajeng nulya gapyuk rerangkulan samya kangen-kangenan.
139
Saparipurnaning rerangkulan nulya samya lenggah sekeca.
Kakalih-kalihipun yen sinawang saking mandrawa candrane
pindha Sang Hyang Bhathara Sambu miwah Bhathara
Brahma angejawantah neng jagad sigra andum bagya. Prabu
Baladewa rawuh ing nagari Astina mahanani sepi sidhem
ing pasewakan wit kaprabawan maring pangaribawaning
nata Mandura kang amengku gati. Mangkana pangandikane
prabu Duryudana : “kaka prabu, sakecakna”!
Pocapan / Kandha Bedholan Jejer I (gaya Jawatimuran)
Parpurna pangandikaning sang nata Sri Batara Kresna
sigra paring sasmita kundur angedhaton. Tedhak jog saking
palenggahan “dhampar dhenta” Kadherekaken para emban
cethi biyada srimpi manggung ketanggung jaka palara-lara,
sami ngampil pirantining kanarendran. Tindake sang nata
ngagem bungkul kencana, keclap-keclap kinarya tindak
amecak. Sapecak mandheg sapecak tumoleh. Sri nata datan
karsa mriksani adi rengganing gapura. Laju manjing kadhaton
trus kadhatulaya, kapapag garwa prameswari tetiga.
Sagunging para seba nuli bibaran saking sitinggil solahe
kaya seinamberan dhandhang.
(Ki Dalang Cung Wartanu, Mojokerto-an 1979)
Pocapan / Kandha Semedi
Sri Batara Kresna dupi manjing kedhaton sarta sampun kapapag
ingkang garwa tetiga nulya manjing sanggar pamujan
sarwi ngagem busana sarwa seta, sigra nenuwun dhateng
panguwasane batara srana semedi. Traping Semedi
kanthi sedhakep asta, suku tunggal. Sedhakep wus ngarani,
asta tangan, tunggal kumpul. Tegese Srinata ngeningaken
ciptane, ngempalaken pancaindriyane nutupi babahan
hawa sanga. Mandeng pucake grana mandeng nyawang,
pucak pucuk, grana irung. Lire sajuga kang sinidikara. Keplasing
cipta amung sawiji kang sinedya, sowan marang
ngarsane Sang Hyang Pramesthi Guru, amung nyuwun pangayoman
mrih wudharing reruwet.
(Ki Dalang Cung Wartanu 1979)
Kandha / Pocapan Ajar Kayon
Bubaring para seba kanthi tandha tengara panabuhe beri,
swarane gumonthang mengungkang-ungkang saksad sundhul
ing akasa.Tineteg, tinitir kaya pecaha-pecaha, kaya
butul-butula. Sepisan tandha pasewakan bubaran, ping pin140
dho pratandha ana prakara. Patih Kala Rangsang duta saking
nagari Rancang Kencana dutane Prabu Kala Kumara
sigra den pilara Prabu Baladewa. Mila ribut sagung para seba.
Pating sliri pating bilungkung pindha kawula ngluru bendara,
bendara ngluru kawula. Solah nganti kaya gabah den
interi. Golong-golong mangulon, golong-golong mangetan
candrane kaya sela blekithi. Sela arane watu, blekithi semut,
kaya semut lumaku ana sak ndhuwure watu mujudake
barisan kaya prajurit ngadhepi bebaya.
(Ki Dalang Cung Wartanu 1979)
Pocapan Kresna Semedi
Kacarita, Sri Batara Kresna sigra patrap semedi maladi hening,
sedhakep saluku juga nutupi bahahan hawa sanga,
ngeningaken pancadriya. Panca ateges lima, driya pangangen-
angen, sekawan kang binengkas sajuga kang sinidikara
anut lebu wetuning bajra herawana kinarya nut laksitaning
brata, ana rupa tan dinulu ana ganda tan ingambu, ana
swara tan rinungu. Hanapas hanupus pan yayah mati sajroning
urip, amung warana ingkang taksih lumaris, campur
kalayan layap liyeping aluyup, pindha pesating sukma sumusup
ing rasa jati sejatine tumlawung. Jagad wus rinegem
dadi sawiji amung kari samrica binubud. Dudu jagad kang
gumelar, nanging jagade Sri Kresna kang wus datan kaendhih
dening Sir-Budi-Cipta-Rasa, amung kari satata nedya
hormat ingkang tanpa karana. Datan antara dangu wus antuk
wewengan bakal kasembadan sasedyane nanging yaamung
sinimpen ing driya, temahan amung nalangsa marang
kang akarya jagad saisine. Dhasar Sri Batara Kresna
narendra kang widagda ulah puja.
(Kastana-Supriyono-Partakrama Pakeliran Gaya Surakarta 2003)
Demikianlah beberapa contoh pocapan. Sebenarnya masih
banyak lagi pocapan yang harus ditampilkan dan diungkapkan oleh
dalang selama penyajiannya. Hampir setiap jejeran dan adegan dari
awal hingga akhir pertunjukkan, dalang selalu bernarasi (pocapan).
Ada pocapan yang dalam suasana tenang, merdeka tetapi
juga ada pocapan yang bersitegang, keras, emosional sehingga dalam
sajian harus bersama dengan dhodhogan kothak dan ucapannya
lebih keras. Para ahli nabuh gamelan mengatakan bahwa grimingan
gender, dalam mengiringi pocapan yang tegang, harus grimingan
ada-ada (vokal dalang dalam suasana tegang), misalnya pocapan
tokoh Gathotkaca ketika akan terbang. Demikian juga pocapan
tokoh Wrekodara mlumpat (meloncat) dan ketika seorang bang-bangan
(bambangan) akan masuk hutan (alas-alasan) dalam suasana
141
tegang, maka dhodhogan, grimingan gender ada-ada harus mengiringinya.
Berbeda dengan pocapan yang dalam susana merdeka,
maka grimingan gender menggunakan grimingan pathetan, tanpa
dhodhogan kothak.
Dalam pertunjukkan wayang kulit Jawatimuran, pocapan ini
pasti ditopang dengan iringan gending/lagu yang dilagukan oleh alat
gamelan yang lembut: slenthem, gambang, siter, gender babok, suling
yang diawali gender lanang yang dinamakan gadhingan.
Contoh pocapan alas-alas :
Laju lampahira wong bagus sang hamara tapa satriya ing
Plangkawati kekasih Raden Angkawijaya ya Raden Abimanyu,
kadherekaken abdi panakawan catur Semar-Gareng-
Petruk lan Bagong. Purna angambah geriting ancala tepining
waudadi. Sigra laju manjing wana wasa. Wana gung liwang
liwung alas angker gawat kaliwat sabab dadya panonopane
jim setan peri parayangan engklek-engklek balung
atandhak. Bebasan sato mara sato mati, janma mara janma
mlayu.Tan ana janma wani mlebu mring wana Tri Baya, sapa
wani bebasan mulih kari aran. Nanging dupi katrajang
marang lampahe sang abagus Raden Angkawijaya sadaya
buron alas samya bubar lumajar salang tunjang. Yen ta bisa
tatajalma teka mangkana pangucape: ”He para kanca
padha piyak sumingkira, aja wani-wani midak wayangane
mesthi lebur tanpa dadi, sabab iki dudu wong lumrah nanging
maksih turasing kusuma rembese madu, wijiling kang
handanawa rih.” Sak-sak-sak-sak gropak gedebug sanalika
kaya sinapon jumedhule para raseksa sigra ngamuk panggung
marga liwung.
Pocapan alas-alasan di atas dapat dipakai untuk bambangan
yang lain. Artinya bukan hanya tokoh Abimanyu saja.Tokoh pewayangan
yang tergolong bambangan kecuali Abimanyu yaitu Raden
Irawan, Bambang Priyambada, Pramusinta, Nakula dan Sadewa
ketika masih muda dan mungkin masih ada lagi. Disebut tokoh bambangan
karena usia tokoh tersebut masih muda, masih sendirian dan
baru saja lolos dari perguruan di mana sebagai gurunya adalah seorang
pandhita, pertapa, begawan, resi, maharsi, wasi dsb. Sebutan
bambangan berasal dari bahasa Jawa. bang-bang-an yang mulanya
dari kata bang berarti harap. Bang-bang-an berarti pengharapan.
Gelar atau sebutan bang-bang-an (bambangan) diperoleh oleh seorang
pemuda yang sudah memiliki semua ilmu pengetahuan, perang
dan berulah senjata, guna kasantikan, pengetahuan tentang lahir
dan batin (kesaktian) yang didapat dari seorang guru/pendeta di
142
pertapaan. Pertapaan (pertapan) biasanya berada pada tempat jauh
dari kehidupan masyarakat ramai atau jauh dari kota, dan pada
umumnya pertapaan berada di lereng gunung, di tepi hutan dan di
pedasaan. Oleh karena itu bambangan sering disebut satriya gunung.
Bila hal ini dilakukan oleh seorang gadis, maka gadis itu mendapatkan
sebutan/gelar yaitu Endang yang artinya gadis gunung. Jadi
pada hakikatnya satriya gunung atau gadis gunung adalah sebuah
generasi harapan yang harus bisa dan mampu untuk meneruskan
perjuangan para generasi sebelumnya.
Bila generasi bambangan ini merupakan generasi harapan
maka lamanya pendidikan tidak ditentukan oleh waktu bulan atau tahun,
melainkan sangat tergantung kepada calon bambangan itu sendiri.
Mereka dituntut menjadi seorang bang-bangan (bambangan)
yang berkualitas. Sang guru pun ikut menentukan bagi selesainya
para calon bambangan. Bila sang guru sudah mengatakan bagus
(paripurna) maka sang bambangan bisa melanjutkan kariernya sebagai
satriya yang harus menunjukkan karya-karyanya bagi keluhuran
nusa dan bangsa.
Mengamati kondisi bambangan yang begitu berkualitas,
maka para dalang dalam penggambaran pocapan bambangan diungkapkan
melalui pemilihan kata dengan bahasa Jawa yang luhur
dan lungguh (pantas). Dalam pocapan bambangan ini, sang dalang
harus mengucapkan dengan bersama-sama dhodhogan dan dengan
nada emosional. Demikian pocapan yang penyajiannya sebagai narasi,
menjelaskan sebuah perilaku seorang tokoh pewayangan baik
raksasa, satriya yang dikaitkan dengan kondisi alam.
143
BAB IV
SILSILAH TOKOH – TOKOH WAYANG
4.1 Definisi Silsilah
Menurut Kamus Basa Sunda oleh M.A. Satjadibrata, arti silsilah
itu ialah rangkaian keturunan seseorang yang ada kaitannya
dengan orang lain yang menjadi istrinya dan sanak keluarganya. Silsilah
tersebut adalah merupakan suatu susunan keluarga dari atas
ke bawah dan ke samping, dengan menyebutkan nama keluarganya.
Arti silsilah itu bersifat universal, yang artinya orang-orang
di seluruh dunia mempunyai silsilah keturunannya dan pula, di seluruh
benua akan dimaklumi, bahwa semua orang pasti akan mengagungkan
leluhurnya. Kita sering membaca silsilah keturunan para raja
yang termasuk sejarah atau silsilah para penguasa yang memerintah
suatau daerah, baik yang ditulis pada prasasti maupun benda lain
yang artinya bukan hanya untuk dikenal saja, tetapi untuk diagungkan
oleh segenap masyarakatnya, dan dikenang akan jasa-jasanya.
Jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan silsilah itu,
ialah suatu daftar susunan nama orang-orang yang merupakan susunan
keturunan dari suatu warga atau dinasti (wangsa), misalnya
Dinasti Sriwijaya, Dinasti Syailendra, dan dinasti-dinasti lainya yang
pernah berkuasa.
Demikian pula dalam pewayangan, ada salah satu nama
keluarga besar yang menggunakan nama leluhurnya, contoh Kurawa.
Kurawa artinya keturunan raja Kuru yang dahulu pernah memerintah
negara Astina dan menjadi leluhur prabu Suyudana beserta
adik-adiknya. Demikian pula dengan keluarga Pandawa atau sering
disebut Barata Pandawa. Nama barata adalah juga merupakan nama
leluhurnya, yang pernah berkuasa di Astina, sehingga diabadikan
oleh para Pandawa degan Sebutan keluarga Barata Pandawa.
Apa sebabnya Pandawa dan Kurawa memakai dua nama
leluhurnya yang berbeda, padahal mereka itu dari satu nenek moyang
? mereka hanya menggunakan nama leluhurnya yang dipandang
pada saat itu memerintah, sebagai orang yang patut dan wajar
untuk diabadikan namanya menurut meraka masing-masing.
4.1.1 Maksud Adanya Silsilah
Maksud penyusunan silsilah ini adalah sebagai ucapan syukur
kepada para leluhurnya yang telah memberi bimbingan serta mengayomi
dan yang lebih utama lagi, adalah bahwa seseorang lahir
ke dunia, adalah karena adanya leluhurnya itu.
144
Penyusunan silsilah keturunan ini mempunyai arti yang
penting bagi suatu keluarga, seperti untuk mengetahui keturunan siapa
orang itu, untuk mengetahui siapa dan bagaimana leluhurnya
itu, dan yang utama sekali, ialah bagaimana pandangan masyarakat
terhadap leluhurnya itu, untuk dijadikan kenangan secara turun-temurun,
agar keturunannya tidak kehilangan jejak leluhurnya, agar
dapat dijadikan kebanggaan seluruh keturunannya dan dapat pula
dijadikan contoh bila leluhurnya salah seorang pahlawan.
Dari segi lainpun silsilah ini mempunyai maksud yang penting
pula dan dapat dibenarkan oleh agama dan negara manapun juga.
Ada beberapa sudut pandang tentang adanya silsilah, yaitu dari
sudut perorangan, dari sudut lingkungan masyarakat, dan dari sudut
kepercayaan.
Ditinjau dari segi perorangan, pangagunggan leluhurnya itu
dimaksudkan agar perilaku yang pernah dijalankan para leluhurnya
menjadi contoh bagi keturunnan yang ditinggalkan dan diceritakan
kembali kepada keturunan berikutnya tentang betapa besar jasanya
dan keagunganya leluhur mereka tersebut. Dalam hal ini tentu hanya
kebaikan-kebaikan saja yang diceritakan kembali, Demikian pula kadang-
kadang ada yang menceritakan kagagahan dan kesaktiannya.
Maksud silsilah seseorang dalam lingkungan masyarakat
ini, adalah untuk dikenal dan dikenang oleh masyarakat agar dijadikan
seorang pahlawan dalam sejarah hidup bangsa tersebut. Sedangkan
maksud utama penggunaan silsilah ini adalah sebagai tanda
terima kasih kepada para leluhurnya atas suatu usaha pemulyaan,
sebagai kenangan akan kebaikannya dan usahanya dalam mengayomi
dan menjaga keselamatan keturunannya atau usaha pelestarian
keturunannya. Sesuai dengan kepercayaan penduduk, di Bali
misalnya, lain lagi dengan di Jawa atau daerah lain yang menganut
ajaran Islam, demikian pula dengan masyarakat yang memeluk agama
lain. Walaupun berbeda kepercayaan, tetapi di setiap suku bangsa
memegang teguh terhadap adat-istiadatnya. atau kebiasaan dalam
cara mengagungkan leluhurnya.
Ditinjau dari segi kepercayaan, telah menjadi kewajiban seseorang
atau sekeluarga untuk mengenang dan mengagungkan leluhurnya
dengan cara dan peraturan kepercayaannya masing-masing
yang dianutnya. Bagi penganut ajaran Islam, para leluhurnya tersebut
tidak boleh disembah dan dipuja, kecuali dikenang dan diagungkan,
karena hanya Tuhan sajalah yang disembah dan dipuja. Maksud
mengagungkan leluhurnya tersebut, agar kebaikan-kebaikan
yang pernah dilaksanakan para leluhurnya menjadi bagian bagi keturunannya
dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Adapun tujuan penyusunan silsilah adalah sebagai usaha
pumuliaan artinya untuk memuliakan leluhurnya, usaha pelestarian
kebijakan leluhurnya artinya agar leluhurnya itu tetap dikenang dan
145
segala perilaku yang baik dijadikan contoh keturunannya. Kedua
usaha tersebut disebut Dwi Dharma Bakti.
4.1.2 Penampilan Silsilah
Secara umum, penampilan silsilah tersebut hanya dipergunakan
oleh orang-orang penting saja yang pada umumnya ditulis dalam
buku-buku sejarah. Sedangkan pada zaman pemerintahan Hindia
Belanda antara tahun 1610 sampai tahun 1942, hanya para raja
dan para bupati saja yang silsilahnya ditullis dan disusun dalam kitab-
kitab sejarah.
Pada zaman Pra sejarah atau kepercayaan Animisme Dinamisme
di Indonesia, di mana masyarakat mendewakan semua benda
hidup dari roh nenek moyangnya. Jelas bagi kita bahwa bangsa
Indonesia sejak dahulu telah terbiasa mengagungkan leluhurnya
yang diwujudkan dengan jalan upacara penyembahan leluhurnya,
baik di rumah maupun di tempat yang khusus yang disediakan secara
beramai-ramai.
Ketika kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia pada
umumnya, di Jawa pada khususnya, penyembahan terhadap roh itu
tidaklah hilang hanya sifat dan bentuknya yang berubah. Selain mengagungkan
leluhurnya dengan jalan menceritakan kembali kebaikannya,
juga disatukan dengan penyembahan dan pemujaan terhadap
para dewa yang menjadi mitos India, seperti Dewa Siwa, Dewa
Wisnu, Dewa Brahma dan ada pula yang menyembah Batari Durga.
Dengan jalan demikian, maka kesusasteraanpun ada dua macam,
yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata, disamping itu terdapat
pula cerita-cerita legenda rakyat, seperti Prabu Mikukuhan, Sri
Sadana, dan lain-lainya.
Lakon-lakon tersebut di atas, dipergelarkan di muka umum,
sehingga tidak terbatas pada lingkungan keluarga saja, namun
umumpun dapat mendengarkan kabaikan-kabaikan apa yang diperbuat
oleh leluhurnya itu. Hal tersebut jelas bahwa pangagungan kepada
leluhur bangsa Indonesia itu sangat menguntungkan bagi kemekaran
kebudayaan Hindu, karena dalam upacara tersebut dapat
pula disisipkan kisah para dewa, yang disampaikan kepada masyarakat
dalam bentuk cerita Ramayana dan Mahabharata. Akhirnya kedua
cerita yaitu cerita dari India dan legenda rakyat disatukan, dengan
jalan cerita pokok dalam pergelaran tersebut, ialah kisah-kisah
dari India dan adat kebiasaan hidup dan kehidupan serta kebiasaan
lingkungan diambil dari kisah-kisah legenda rakyat.
Adapun cerita Mahabharata tersebut mengisahkan kepahlawanan
Pandawa yang dianggap sebagai leluhur bangsa India, karena
leluhur Pandawa menurut gaya India ialah raja Barata yang pernah
memimpin di India. Karena silsilah Mahabharata gaya India tersebut
tidak sesuai dengan adat kebiasaan dan lingkungan hidup
bangsa Jawa, maka silsilah Mahabharata tersebut dirubah, seperti
146
yang kita lihat pada Kitab Pustaka Raja Purwa, karya R, Ng. Ronggowarsito.
Disamping itu perlu pula diketahui bahwa Mahabharata
adalah hasil sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa dan
Kitab.
4.2 Silsilah Bharata.
Meneliti silsilah wayang dalam cerita Mahabharata tersebut,
kita akan mendapat kesulitan kiranya, karena pada cerita itu terdapat
dua jalur silsilah yang dihasilkan oleh dua kepercayaan, yaitu silsilah
Mahabharata gaya India dan silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja
Purwa.
Sebagaimana telah kita ketahui, cerita Mahabharata adalah
hasil karya sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa, maka
silsilahnyapun tentu silsilah yang berdasarkan cerita Hindu di India,
dan bukan keturunan dari para Dewa, namun para Pandawa merupakan
keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India.
Lain halnya dengan silsilah para Pandawa menurut gaya
Indonesia, bahwa para Pandawa adalah keturunan dari para dewa.
Dari dewa turun temurun sampai kepada raja-raja yang memerintah
di tanah Jawa.
Cerita Mahabharata versi Indonesia tersebut telah disesuaikan
dengan tradisi bangsa Indonesia, di mana yang menjadi pusat
perhatian dan pusat perkembangan silsilah yaitu Batara Guru, maksudnya
agar masyarakat pada waktu itu percaya bahwa para raja Jawa
adalah keturunan para dewa.
147
Keterangan:
= Menurunkan = Menikah = Penghubung
Silsilah Mahabharata India
Prabu Nahusta
Prabu Yayati
Prabu Yadawa Prabu Kuru
Prabu Dusanta
Prabu Barata
Prabu Hasti
Prabu Puru
Prabu Pratipa
Dewi Gangga Prabu Santanu Dewi Durgandini Parasara
Dewabrata
Dewi Ambika Citrawiria Dewi Ambiki Citragada Abiyasa
Dewi Gendari Destrarasta Dewi Kunti Pandu Dewi Madrim
Kurawa Kontea Bima Arjuna Dewi Subadra
Drupadi Nakula Sadewa
Arimbi Dewi Utari Abimanyu
Parikesit
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 34, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
148
Menurut Mahabharat versi India, susunan silsilah itu disusun
sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah Prabu
Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja
yaitu Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Prabu
Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu
hingga sampai Pandawa dan Kurawa.
Prabu Yadawa menurunkan raja-raja yang memerintah Mathura,
seperti: Basudewa, Baladewa, Kresna dan lain-lainya. Prabu
Puru yang menurunkan raja-raja yang memerintah negara Hastina,
seperti Sentanu, Abiyasa, Pandu, Duryudana, Parikesit.
Prabu Kuru berputra Prabu Dusanta yang menikah dengan
Dewi Sakuntala dan berputra Prabu Barata yang namanya dipakai
gelar/julukan para Pandawa, sedangkan nama Prabu Kuru dipakai
gelar para Kurawa. Prabu Barata dikaruniai seorang putra yang bernama
Prabu Hesti yang namanya diabadikan menjadi nama negara
Hastina. Hesti artinya gajah, negara Hastina artinya negara gajah.
Pemakaian nama leluhurnya sebagai gelar suatu golongan keluarga,
dimaksudkan untuk mengagungkan dan menyemarakan salah seorang
leluhurnya, karena jasanya, dan karena amalnya terhedap negara.
Penggunaan gelar leluhurnya yang berlainan dengan keluarga
dekatnya yang menggunakan nama leluhurnya dalam satu rumpun
atau satu keluarga, menandakan bahwa leluhurnya itu, kesemuanya
adalah seorang raja yang patut dibanggakan dan namanya
diabadikan.
4.2.1 Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa
Dalam perkembangan dan penyebaran di Indonesia, kedua
cerita epos mitos tersebut bercampur dengan legenda-legenda rakyat,
dan disampingnya masuk pula pengaruh kebudayaan Jawa asli
sebagai peninggalan zaman Pra Sejarah dimana masyarakatnya
berkepercayaan Animisme-Dinamisme.
Tokoh-tokoh yang pernah dipuja pada zaman Pra Sejarah,
seperti Hyang Tunggal, Hyang Wenang, dimasukkan ke dalam silsilah
Mahabharata dan dijadikan leluhur para Pandawa yang menurunkan
raja-raja Jawa, sehingga merupakan silsilah campuran antara
kepercayaan Hindu dan kepercayaan zaman Pra Sejarah. Maksud
uraian ini adalah untuk menyatakan kepada masyarakat, bahwa para
Pandawa adalah keturunan para Sang Hyang, demikian pula para
raja yang memerintah pulau Jawa adalah keturunan para Pandawa.
Silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa ini, dimulai
dari Batara Guru yang menikah dengan Dewi Uma, berputra empat
orang di antaranya Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Batara Brahma
menikah dengan Dewi Raraswati berputrakan sebelas orang, di antaranya
Batara Brahmanaraja yang menikah dengan Dewi Widati
dan berputra Batara Parikenan. Sedangkan Batara Wisnu berputra149
kan Prabu Basurata yang menikah dengan putri Batara Brahma bernama
Dewi Brahmaniyuta, dan berputrakan Dewi Brahmaneki.
Begawan Parikenan kemudian menikah dengan Dewi Brahmaniyuta
berputrakan Dewi Kaniraras, Raden Kano, Raden paridarma.
Karena Dewi Kaniraras putri sulung, maka calon raja di Purwacarita
adalah Begawan Manumayasa yang menikah dengan Dewi
Kaniraras. Raden Kano dan Raden Paridarma menjadi raja di negara
lain. Dewi Kaniraras menkah dengan Begawan Manumayasa berputra
Begawan Sekutrem dan menikah dengan Dewi Nilawati, dari pernikahan
itu berputra Begawan Sakri yang menikah dengan Dewi Sati
dan berputra Parasara.
Diceritakan, bahwa Begawan Parasara hendak menyeberangi
Bengawan Jamuna, ia diseberangkan oleh seorang wanita
yang badanya bau amis dan anyir karena menderita penyakitat bau
anyir, dia adalah Dewi Rara Amis (Durgandini) putra Prabu Basuketi
raja negara Wiratha. Dew Rara Amis diobati Raden Parasara yang
kemudian diperistri dan berputra Abiyasa, mereka bersama-sama
membangun negara Gajahoya.
Perbedaan yang jelas dari kedua silsilah itu adalah silsilah
Mahabharata versi India disebutkan leluhur Pandawa adalah Prabu
Nahusta, leluhur Pandawa versi Pusta Raja Purwa adalah Sang
Hyang.
150
Sislilah Mahabharata Versi Pustaka Raja Purwa
(yang dipakai di Indonesia)
Betara Guru Betari Uma
Betara Wisnu Betara Brahma
Betara Sri Unon Betara Brahmani
Begawan Parikenan Dewi BrahmaneKita
Begawan Manumanasa Dewi Kaniraras
Begawan Sekutrem Dewi Nilawati
Begawab Sakri Dewi Sati
Dewi Gangga Sentanu Rara Amis (Durgandini) Parasara
Citrawiria Citragada Abiyasa Ambika Ambiki
Dewabrata
Dewi Gendari Prabu Destrarasta
Dewi Kunti Prabu Pandu Dewi Madrim
Kurawa Kunta Bima Arjuna Nakula Sadewa
Dewi Utari Abimanyu
Parikesit
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 43, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
151
4.2.2 Silsilah Ramayana
Seperti halnya dengan Mahabharata, Ramayanapun mempunyai
nenek moyang dewa, yaitu Batara Wisnu yang turun-temurun
sampai Batara Rama. Silsilah Ramayana tidak serumit silsilah Mahabharata,
karena silsilah Ramayana tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan
kekeluargaan. Lagi pula silsilah Ramayana tidak banyak
sangkut pautnya dengan keluarga lain.
Ramayana juga hasil sastra India yang bersumberkan kepada
Dewa Wisnu. Kalau Mahabharata disusun oleh Empu Sedah
dan Empu Panuluh, maka Ramayana .disusun oleh Empu Walmiki
dan merupakan cerita epos mitos Hindu yang berbentuk legenda
rakyat India. Prabu Airlangga pernah menitahkan bahwa “sebenarnya
Ramayana 1000 tahun lebih tua dari Mahabharata”, maka dalam
beberapa lakon, ucapan Prabu Airlangga itu seolah-olah benar adanya.
Lakon Rama Nitis, dan Makuta Rama, adalah salah satu contoh
yang menunjukan bahwa Ramayana itu benar lebih tua daripada kelahiran
Mahabharata, walaupun kebenaranya itu masih diragukan.
Hal yang pokok adalah, bahwa Batara Rama adalah titisan Batara
Wisnu yang dalam peranannya ditampilkan sebagai pembasmi kejahatan,
keangkara murkaan, kedoliman yang merajalela di dunia.
Bila dibandingkan dengan daerah lainya cerita Ramayana
ini sangat digemari masyarakat, baik di Jawa Tengah di Jawa Barat,
Bali dan Di Jawa Timur. Dari ke empat wilayah tersebut hanya di wilayah
Jawa Barat yang kurang menggemari lakon Ramayana.
Beberapa hal yang terkait dengan cerita Ramayana, antara
lain adalah permintaan Dewi Kekayi yaitu ibu Raden Barata yang
menjadi selir Prabu Dasarata untuk menggagalkan penobatan Regawa
atau Rama sebagai raja di Ayodya, pengusiran Rama selama 14
tahun meninggalkan Ayodya, penculikan istri Rama yaitu Dewi Sinta
yang dilakukan oleh Rahwana raja dari negara Alengka, peperangan
adik kakak antara Prabu Subali melawan Prabu Sugriwa (Bala Wanara/
monyet) akibat salah faham, matinya Rahwana, pembakaran
diri Dewi Sinta sebagai bukti akan kesucian dirinya.
Keturunan terakhir dari Batara Rama ini adalah Kusya dan
Lawa. Kusya dan Lawa adalah putra kembarnya yang tidak diketahui
akhir ceritanya, karena tidak ada kanda yang menceritakan akhir kisah
Ramayana tersebut.
152
Silsilah Raja-raja Ayodya
Prabu Banaputra Begawan Rawiatmaja Prabu Sumaresi
Dasarata Dewi Ragu Dewi Kekayi Dewi Sumitra
Ragawa (Rama) Barata Lasmana Satrugna
Prabu Janaka
Dewi Sinta
Kusa Lawa
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 47, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
153
Silsilah Dewi Sinta
Batharadi Weja
Danuja Danuwati Sumali
(raja Mantili)
Sukesi Prahasta
Dewi Marawa Banapati Danupati
(raja Mantili)
Dw.Tunjungbiru Banaputra Beg. Rawatmeja
(Raja Ayodya)
Prabu Janaka
(raja Mantili)
Prabu Dasarata Dewi Raghu (Sukasalya)
Dewi Sinta
Rama
Kusa Lava
(Prabu Kusiya (Rama Batlawa)
(Sumber: Layang Arjunasasrabahu, Batharadi Weja)
154
4.2.3 Silsilah Raja-raja Lokapala
Babad Lokapala dimulai dari Begawan Wisrawa ke atas.
Tokoh-tokoh sebelum Begawan Wisrawa ini jarang sekali dipentaskan,
karena itu banyak sekali masyarakat yang tidak mengenal siapa
tokoh-tokoh Lokapala sebelum Begawan Wisrawa yang memerintah
kerajaan Lokapala.
Peristiwa-peristiwa penting dalam cerita Lokapala, diantaranya
adalah peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi
Sukesi yaitu putra Prabu Sumali raja Alengka. Semula Dewi Sukesi
akan dijodohkan dengan putra Begawan Wisrawa sendiri yaitu Prabu
Danaraja. Akibat peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan
Dewi Sukesi tersebut maka menimbulkan kehebohan dan pertentangan
antara ayah dan anak, dan kehancuran negara Lokapala karena
diserang Rahwana raja Alengka, yaitu adik tiri Prabu Danaraja.
Leluhur raja-raja Lokapala adalah para dewa juga, diantaranya
adalah Batara Guru dan Dewi Uma, yang berputra Batara Sambu
yang menikah dengan Dewi Hastuti dan turun temurun sampai
Prabu Darudana.
Prabu Darudana mempunyai putra dua orang. Putra sulung
bernama Begawan Wasista dan adiknya bernama Prabu Herudana.
Begawan Wasista berputra Begawan Pulastra, sedangkan Prabu
Herudana berputra Prabu Andanapati. Kedua kakak adik ipar tersebut
menurunkan raja terakhir, yaitu Begawan Wisrawa yang menjadi
keturunan Begawan Wasista dan Dewi Lokati sebagai keturunan
Prabu Herudana. Begawan Wisrawa dinikahkan dengan adik iparnya,
yang menurut hukum kerajaan menjadi ratu negara Lokapala.
Begawan Wisrawa berputra Wisrahwana dan setelah Wisrahwana
dinobatkan menjadi raja bergelar Prabu Danaraja.
Peristiwa menyedihkan yang terdapat dalam lakon ini, yaitu
peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Pernikahan
tersebut terjadi karena akibat pelanggaran janji Begawan Wisrawa
tentang Sastra Jendra Hayuning Rad Pangruwating Diyu,
yang tidak boleh di ajarkan kepada setiap orang. Sedangkan dalam
kisah tersebut, Sastra Jendra Hayuning Rad Pangruwating Diyu diajarkan
kepada Dewi Sukesi, seorang putri keturunan raksasa.
Akibat peristiwa tersebut Dewi Sukesi malahirkan Rahwana
(Dasamuka) yang berwujud raksasa dan berkelakuan jahat. Putra
yang kedua bernama Kumbakarna juga berwujud raksasa, namun
berwatak mulia. Putra ketiga adalah seorang putri raseksi (raksasa
perempuan) bernama Dewi Sarpakenaka, dan putra terakhir berwujud
manusia biasa dan sangat tampan bernama Wibisana.
155
Silsilah Raja-raja Lokapala
Batara Guru Dewi Uma
Batara Sambu Dewi Hastuti
Batara Sambudana
Batara Hestijumili
Prabu Amulasidhi
Prabu Darudana
Begawan Wasita Prabu Herudana
Begawan Pulasastra Prabu Andapati
Begawan Supadma Prabu Lokawana
Begawan Wisrawa Dewi Sukesi Dewi Lokati
Wisrahwana (Danaraja)
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 50, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
156
Silsilah Wisrawa dan Keturunannya
Sang Hyang Manikmaya Dewi Umayi
(Putra sulung): Batara Sambu Dewi Hastuti
(Putra Bungsu): Batara Sambodana
(Lima Keturunan)
Resi Supadma
Dewi Sukesi Begawan Wisrawa Dewi Lokati (Lokapala)
Wibisana Dewi Triwati Danaraja
(Putra Bungsu)
Dewi Trijata Resi Jembawan
Dewi Jembawati Kresna
(Raja Dwarawati)
Samba
(Sumber: Buku Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan
Wayang, hal 300, 1988).
157
4.2.4 Silsilah Raja-raja Alengka
Silsilah Alengka juga bersumber pada Batara Guru yang
menjadi pusat kelahiran manusia, yang pada kenyataannya masih
seketurunan dengan silsilah Lokapala. Silsilah Alengka juga jarang
diketahui masyarakat penggemar wayang, karena tidak pernah dipergelarkan.
Babad Alengka menceritakan kelahiran Rahwana dan
adik-adiknya yang megang peranan penting dalam zaman Batara
Rama.
Peristiwa-peristiwa penting yang terdapat dalam Babad
Alengka adalah pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi
sehingga membawa akibat perpecahan antara anak dengan bapak,
kelahiran Rahwana dengan adik-adiknya dan perbuatan-perbuatan
angkara yang dilakukan Rahwana tahap pertama, peristiwa runtuhnya
negara Lokapala karena diserang Rahwana.
Kisah pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi
tersebut di atas, di awali dengan adanya berita bahwa di Alengka sedang
ada sayembara Dewi Sukesi atau sering disebut Alap-Alap Sukesi.
Persyaratan sayembara tersebut berbunyi apabila dapat mengalahkan
pamannya Dewi Sukesi yang bernama Jambumangli sebagai
pahlawan Alengka, maka pemenang tersebut berhak untuk
mendapatkan Dewi Sukesi.
Berita sayembara tersebut akhirnya sampai pula kepada
Prabu Danaraja, dan Prabu Danaraja bermaksud mengikuti sayembara
tersebut. Akan tetapi Begawan Wisrawa Ayah Prabu Danaraja
tidak mengijinkan dan tidak rela kalau Prabu Danaraja sendiri yang
harus melamar, sehingga Begawan Wisrawa yang pergi ke Alengka
guna mengikuti sayembara tersebut.
Begawan Wisrawa telah mampu mengalahkan Jambumangli,
dan peminangan dilaksanakan. Akan tetapi masih ada permintaan
satu lagi yang harus dipenuhi calon mempelai pria, yaitu mengajarkan
Sastra Jendra Hayuning Rad kepada Dewi Sukesi yang jelas
keturunan raksasa. Sedangkan menurut aturan tidak diperbolehkan
keturunan raksasa mempelajari ajian tersebut.
Demi seorang putra maka Begawan bersedia mengajarkan
ajian tersebut, dan akibatnya mendapat murka dari Batara Guru. Kiranya,
keruntuhan negara Lokapala adalah juga akibat daripada dosa
yang harus dipikul Begawan Wisrawa, bahkan lebih jauh menurunkan
keturunan jahat dan nafsu angkara murka.
158
Silsilah Rala-raja Alengka
Batara Guru Dewi Uma
Batara Brahma Dewi Saraswati
Dewi Bremani Batara Brahmana
Prabu Banjaranjali
Prabu Jatimurti
Prabu Brahmanakanda
Prabu Getahmanatama
Prabu Lokawana Prabu Suksara
Wisrawa Dewi Lokati Prabu Sumali Arya Maleawan
Danaraja Dewi Sukesi Prahastha
Rahwana Kumbakarna Sarpakenaka Wibisana
Indrajid Kumba-kumba Dewi Trijatha
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 54, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
159
4.2.5 Silsilah Raja-raja Mahespati
Babad Mahespati ini merupakan kelanjutan petualangan
Rahwana dalam melakukan perbuatan angkaranya, yang harus diimbangi
dengan kewajiban Batara Wisnu dalam mengamankan dunia.
Karena itulah, maka Batara Wisnu menitis ke dalam raga Prabu Harjunasasrabahu
atau yang disebut Prabu Harjuna Wijaya salah seorang
keturunan Hyang Tunggal, yang menjadi raja di Mahespati.
Silsilah Mahespati ini masih terkait dengan Resi Gotama
yang ada di pertapan Grastina, dan Resi Suwandageni di pertapan
Jatisrana. Resi Bargawa adalah seorang Brahmana yang mencari
kematiannya dengan jelan berkelana, untuk mencari kematiannya di
tangan Batara Wisnu.
Hanya sedikit yang kita ketahui tentang silsilah Mahespati
ini, di mana raja terakhir adalah Prabu Harjunasasrabahu yang memerintah
negara Mahespati dan kemudian gugur oleh Begawan Rama
Bargawa, yang menyangka bahwa Prabu Harjunasasrabahu
adalah titisan Batara Wisnu. Memang benar bahwa Prabu Harjunasasrabahu
adalah titisan Batara Wisnu, akan tetapi pada saat bertempur
melawan Begawan Rama Bargawa, Batara Wisnu sudah meninggalkan
raga Prabu Harjunasasrabahu. Menurut beberapa kitab,
Prabu Harjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, karena memiliki
ciri-ciri yang sama dengan Batara Wisnu, salah satunya yaitu bisa
ber-Triwikrama.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam babad Harjunasasrabahu
adalah pengabdian Bambang Sumantri yaitu putra Begawan
Suwandageni dari pertaapan Jatisrana, pernikahan Prabu
Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati yaitu putra Prabu Citradarma
dari negara Manggada, penaklukan raja Rahwana oleh Prabu
Harjunasasrabahu di mana Rahwana berjanji akan menjadi manusia
yang baik tetapi ternyata setelah Prabu Harjunasasrabahu mangkat
Rahwana mengingkari sumpahnya, kematian Bambang Sumantri setelah
di angkat menjadi patih di Mahespati dengan gelar Patih Suwanda.
Baik babad Mahespati maupun cerita Ramayana, menonjolkan
Dewa Wisnu sebagai sumber peranan, sumber kesaktian dalam
mengamankan dunia.
160
Gambar 3.15 Raden Kertawirya
Gambar 3.16 Begawan Suwaja
161
Silsilah Raja-raja Mahespati
Hyang Ismaya
Hyang Surya
Hyang Rawiatmaja
Hyang Karaba
Hyang Dewangkara
Hyang Dewanggana
Resi Dewasana Resi Dewatama
Prabu Heriy Begawan Wisanggeni
Prabu Kertawirya
Prabu Harjunasasrabahu
Resi Suwandageni Resi Jamadagni
Sumantri Sukasrana
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 57, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
162
Gambar 3.17 Sumantri
Gambar 3.18 Sukasrana
163
4.2.6 Silsilah Raja-raja Wiratha
Bila kita lihat silsilah Wiratha dengan silsilah Mahabharata
versi Pustaka Raja Purwa, maka kekeluargaan yang terjalin antara
Wiratha dan Mahabharata telah ada sejak leluhur Pandawa. Kekeluargaan
antara kedua keturunan tersebut diperkuat dengan adanya
perkawinan, diantaranya adalah perkawinan antara Begawan Parikenan
dengan Dewi Bramaneki, perkawinan antara Palasara dengan
Rara Amis (Durgandini), perkawinan antara Abimanyu dengan Dew
Utari. Dari perkawinan tersebut menurunkan raja-raja Hastina, bahkan
dipercaya oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai leluhur para
raja yang memerintah di pulau Jawa.
Dalam silsilah Wiratha inilah terdapat penyimpangan silsilah
Mahabharata versi India yang akhirnya lurus kembali menjadi Mahabharata
versi Puataka Raja Purwa. Hal tersebut terjadi karena adanya
perkawinan antara Abiyasa dengan putri-putri bekas janda Raden
Citrawirya dan Raden Citragada.
Pelurusan silsilah ini, dimaksudkan untuk menghilangkan
kesimpang siuran silsilah Mahabharata, dan untuk pergelaran wayang
di Indonesia di ambil dari silsilah Mahabharata versi Pustaka
Raja Purwa. Pelurusan silsilah tersebut adalah hasil jasa Dewi Durgandini
yang besar niatnya untuk menurunkan raja-raja yang memerintah
negara Hastina sampai akhir zaman, menurunkan satriya jujur
dan berbudi luhur, adil paramarta dan gagah perkasa. Karena pertalian
keluarga yang masih dekat itulah, maka dalam perang Bharatayuda
keluarga Wiratha ada di fihak Pandawa, dan para putra Wiratha
gugur semuanya.
Dalam jalinan cerita Mahabharata, Wiratha tidak kalah pentingnya
dengan negara Hastina. Jasa yang sangat besar yang diberikan
Wiratha kepada para Pandawa, ialah dalam Wiratha-Parwa, mulai
dari penyamaran para Pandawa dan mengabdi kepada Prabu
Matswapati, hingga sampai terjadi pertemuan besar antara Batara
Kresna dengan Prabu Matswapati yang berembug akan meminta sebagian
negara Hastina yang menjadi milik Pandawa pula.
Peranan kedua yang penting bagi generasi penerus Pandawa,
adalah dinikahkannya Dewi Utari putra Matswapati dengan Abimanyu
putra Arjuna. Adapun pertalian keluarga antara Pandawa dan
Wiratha dinyatakan bahwa Prabu Matswapati adalah buyut para
Pandawa, jadi Abimanyu menikahi neneknya sendiri.
Hubungan keluarga antara Wiratha dan Mahabharata ini,
bukanlah secara kebetulan, seperti perkawinan antara Parasara dengan
Dewi Rara Amis. Menurut kisah, bertemunya Bambang Parasara
dengan Dewi Rara Amis itu ketika hendak menyeberang Bengawan
Jamuna, tetapi memang sudah di takdirkan Dewata untuk
membuat suatu kisah hidup yang panjang untuk mencapai akhir cerita
yang mantap, dan diselingi kisah sedih, gembira seperti halnya
perjalanan hidup manusia di alam fana ini.
164
Gambar 3.19 Matswapati (Raja Wiratha)
165
Gambar 3.20 Jejer Negara Wiratha
(Rajamala, Kencakarupa, Rupakenca, Matswapati, Seta)
Gambar 3.21 Dewi Utari
166
Silsilah Raja-raja Wiratha
Batara Wisnu Dewi Pratiwi Batara Brahma Dewi Rarasati
Dewi Suyati Prabu Basurata Dewi Bramaniyuta
Dewi Wahiswara Brahmaneka Dewi Widradi
Prabu Basumurti Prabu Basunanda Dewi Sugandi
Dewi Sriwati
Prabu Basuketi Prabu Basukiswara Dewi Ratnadi
Dewi Kanaka Awanti Prabu Basupati Dewi Yukti Dewi Sentani
Santanu Dewi Durgandini Parasara Dewi Sudesma Durgandana
Citrawiria Citragada Seta Utara Wratsangka Utari
Ambika Abiyasa Ambiki
Prabu Destrarastra Pandu
Arjuna
Abimanyu
Parikesit
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 59, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
167
4.2.7 Silsilah Abiyasa
Batara Wisnu
Dewi Sripujayanti Dewi Srisekar Dewi Pratiwi
Dewi Srihunon Bremana
Parikenan Dewi Bramaneki
Kariyasa Dewi Kaniraras
Sekutrem Dewi Nilawati
S a k r i Dewi Sati
Parasara Durgandini
Dewi Ambiki Abiyasa Ambika
Pandudewanata Kunti Destarastra Gendari
Arjuna Dewi Sumbadra Suyudana Dewi Banowati
Abimanyu Dewi Utari Lesmana Mandrakumara
Parikesit Dewi Satapi
Yudayana Dewi Gendrawati
(Raja terakhir zaman Purwa) Gendrayana Dewi Padmawati
Prabu Jayabaya
(Wayang Madya)
(Sumber: Buku Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan
Wayang, hal 283, 1988).
168
4.2.8 Silsilah Raja-raja Mathura (Mandura)
Keturunan raja-raja Mandura ini disebut pula Yadawa, artinya
keturunan bangsa Yadu, karena Prabu Yadawa pernah memerintah
negara Mandura, dan sebagai sumber leluhurnya adalah Batara
Guru. Yang termasuk keturunan Yadu ini adalah Baladewa, Kresna,
dan Dewi Sumbadra, Aria Setyakita, Udawa, Basudewa, Ugrasena,
Arya Prabu, dan lain-lainya, yang di akhiri dengan tumpasnya keluarga
Yadu, karena perang saudara. Hal ini dikisahkan dalam Mausalaparwa
yaitu salah satu dari tujuh belas parwa.
Pertalian kekeluargaan dengan Pandawa, karena pernikahan
Dewi Kunti dengan Prabu Pandudewanata, sebagai orang tua
Pandawa yang ternyata menurunkan raja-raja yang baik, jujur dan
berbudi luhur. Kemudian dari Pandawa menurunkan raja-raja yang
terdapat dalam cerita wayang Madya, mulai dari Prabu Udrayana
sampai kepada Prabu Anglingdarma.
Peristiwa penting dalam silsilah ini, adalah sebagai berikut
keturunan Yadawa telah turut serta dalam perang Bharatayuda dan
berada di fihak Pandawa, bahkan memegang peranan penting, contoh
Prabu Kresna sebagai penasehat Pandawa atau disebut pula sebagai
dalangnya Pandawa, kepunahan keturunan Prabu Yadawa
adalah karena perang saudara.
Salah satu keturunan Yadawa adalah Prabu Kresna yang
merupakan titisan Batara Wisnu yaitu titisan ke sembilan (9), untuk
membasmi kejahatan dunia. Watak kejahatan tersebut diwujudkan
tokoh Kurawa raja negara Hastina yaitu Prabu Duryudana yang masih
saudara Pandawa.
Di Mandura pernah pula terjadi perjuangan para putra Basudewa,
ketika terjadi perebutan kekuasaan oleh Prabu Kangsadewa.
Dikisahkan bahwa raja tersebut mendapat ilham yang intinya
Prabu Kangsadewa harus membunuh dua orang anak berkulit hitam
dan putih. Kedua anak tersebut yang berkulit hitam adalah Narayana
yang kemudian menjadi Prabu Kresna, dan yang berkulit putih (bule)
adalah Kakrasana yang kemudian menjadi Prabu Baladewa. Namun
berkat bantuan para Pandawa, rencana pembunuhan tersebut dapat
digagalkan, bahkan dapat membinasakan Prabu Kangsadewa, dan
rakyat Mandura bisa hidup tenang, aman, dan sentosa.
169
Gambar 3.22 Basudewa (Raja Mandura)
Gambar 3.23 Narayana
170
Bila kita perhatikan silsilah
Mandura tersebut di atas,
maka leluhur Mandura adalah
diambil dari Mahabharata
versi India. Yang memegang
peranan penting dalam
cerita pewayangan, sebagai
keturunan Yadawa,
ialah Kresna yang pada hakekatnya
menjadi perwujudan
Batara Wisnu yang turun
ke marcapada untuk menumpas
segala kejahatan dan
keangkaramurkaan. Peranan
Dewi Kunti adalah sosok
wanita teladan, sebagai seorang
ibu yang sanggup
menjalankan kewajibannya
menjdi ibu sejati, memberi
contoh kepada kaum wanita
tentang kecintaan seorang
Ibu terhadap anaknya yang tidak terbatas. Dewi Kunti mengikuti segala
gerak-gerik putranya, demikian pula ketika para putranya berkelana
akibat kejahatan Kurawa, tidak ketinggalan Dewi Kunti ikut pula
berkelana.
Gambar 3.24 Kakrasana dan Baladewa
Gambar 3.33 Kresna
171
Silsilah Raja-raja Mandura
Prabu Nahusta
Prabu Yayati
Prabu Yadawa
Prabu Basuketi
Prabu Basukunti
Prabu Kuntiboja
Basudewa Dewi Kunti Arya Prabu Ugrasena Pandhudewanata
Dewi Badraini
Dewi Rohini
Dewi Maerah
Gorawangsa Kakrasana
Kangsadewa Narayana Rukmini Sumbadra Arjuna
Dewi Setiboma Abimanyu
Jembawati Dewi Pertiwi
Setiyaka Samba Suteja (Boma) Siti Sendari
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 61, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
172
4.2.9 Silsilah Para Dewa
Seperti halnya dengan dewa-dewa Yunani kuno, maka para
dewa yang ada dalam pewayanganpun merupakan insan Tuhan
yang serupa dengan manusia. Perbedaannya hanya kedudukan dan
harkatnya baik secara lahiriah maupun sebagai rohaniah lebih tinggi
daripada manusia.
Tempat kelahiran dewa dan kelahiran cerita Ramayana dan
Mahabharata adalah di India. Sedangka di Indonesia kedua cerita
tersebut bersumberkan kepada para Sang Hyang yang pernah dipuja
dan disembah masyarakat Jawa pada zaman Mithos Kuna.
Pada masa pemerintahan Kediri di Jawa Timur, antara tahun
900 hingga tahun 1045, tokoh Sang Hyang tersebut diabadikan
lagi dalam cerita pewayangan, bahkan tercantum pula dalam kitab
kesusasteraan pedalangan, sedangkan harkat derajatnya berada di
atas para Batara dari India.
Mungkin akan berlainan pandangan bagi dewa-dewa India
dan para Batara di Indonesia, karena dengan sebutan dewa bagi Batara
Guru dan Batara-Batara lainnya, kiranya kurang tepat. Oleh sebab
itu bagi dunia pewayangan kita, akan lebih tepat kiranya, bila sebutan
bagi para dewa itu disebut Batara, misalnya Batara Guru, Batara
Brama, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan Kitab Pustaka Raja Purwa yang di susun
oleh R.Ng. Ronggowarsito, maka para dewa dari India berada di bawah
para Sang Hyang, baik dalam susunan kekeluargaan maupun
dalam kedudukannya. Hal tersebut mungkin karena adanya pergeseran
dan perubahan zaman, di mana perubahan kepercayaan sering
terjadi, umpamanya dari Mithos Kuna ke Mithos Hindu, dari Mithos
Hindu ke Mithos Islam.
Gambar 3.25 Batara Narada
173
Di samping perubahan kebudayan akibat perubahan kepercayaan
tersebut, mempengaruhi pula akan kehidupan sosial masyarakat
Jawa dan mempengaruhi pula akan ketatanegaraan. Namun
yang tetap utuh dalam perubahan zaman tersebut adalah pengagungan
masyarakat terhadap rajanya yang berkepercayaan bahwa
raja-raja yang memerintah tanah Jawa adalah keturunan para Pandawa,
artinya bahwa para raja di tanah Jawa adalah keturunan para
Sang Hyang.
Munculnya seorang tokoh Sang Hyang yang kita kenal sekarang
dengan nama Semar, yang tersurat dalam beberapa kitab
yang diterbitkan pada zaman kebudayaan Jawa-Hindu. Kitab tersebut
seperti kitab Sudamala, kitab Gathotkacasraya dan cerita-cerita
Panji. Kitab-kitab tersebut merupakan pembuka jalan bagi pengenalan
kembali tokoh-tokoh Sang Hyang, di antaranya Semar yang dalam
cerita Pewayangan sebelumnya dikenal sebagai jodek Santa,
Smarasanta. Kemudian nama-nama Jodek Santa, Smarasanta diabadikan
dalam cerita Ramayana dan Mahabharata dan dipuja masyarakat
sebagai leluhurnya, karena tingkah laku Semar melambangkan
kemasyarakatan yang abadi.
Tokoh yang memegang peranan utama dan hampir pada
setiap lakon ditampilkan ialah tokoh Semar yang juga disebut Sang
Hyang Ismaya. Keistimewaan Semar ini adalah dalam bentuk badannya
dan silsilahnya yang sampai kini masih menjadi teka-teki bagi
rakyat Indonesia, siapakah sebenarnya Semar itu. Karena sifatnya
yang samar-samar itulah, maka bentuk Semar dibedakan dengan
wayang lainnya. Kita ketahui bahwa Semar putra Sang Hyang Tunggal,
saudara tua Sang Manikmaya atau Batara Guru.
Adapun tugas Semar dalam dunia (mercapada) ini, ialah
mengayomi dan mengiringi para satriya yang jujur, adil-paramarta. Di
Mahabharata, Semar digambarkan oleh para Pandawa dalam menunaikan
tugas hidupnya.
Gambar 3.26 Semar
174
Silsilah Para Dewa
Sanghyang Wenang Dewi Sahoti
Hyang Tunggal Hyang Wening Batara Anantadewa Dewi Sati
Hyang Punggung Hyang Ismaya Hyang Manikmaya Dewi Uma
Dewi Kanastren
Dewi Superti Anantara
Batara Ramaprawa
Resi Ramayadi Resi Harmaya Resi Anggajali
(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 66, Departemen P &
K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, 1983).
1. Batara Sambu
2. Batara Brahma
3. Batara Indra
4. Batara Bayu
5. Batara Wisnu
6. Batara Kala
7. Batara Cakra
8. Batara Mahadewa
9. Batara Asmara
1. Batara BasuKita
2. Btr. Anantadewa
3. Btr. Nagatatmala
4. Batara Basundara
5. Batara Basuwati
6. Btr. Rukmawati
7. Dewi Nagagini
8. Batara Nagapasa
1. Batara Wungkuan
2. Batara Siwah
3. Batara Wrahaspati
4. Batara Yamadipati
5. Batara Surya
6. Batara Candra
7. Batara Kuwera
8. Batara Temburu
9. Batara Kamajaya
10. Batara Darmastuti
175
4.2.10 Silsilah Resaseputra
Wisrawa Dewi Sukesi
(Putra ke dua): Kumbakarna Dewi Kiswani
Aswanikumba Kumbaaswani Kumbakinumba
Wangsatanu Wangsajalma Kalakirna Sumaliwati Werka
Pujawati Narasuma
(Styawati)
Erawati Surtikanti Banuwati
(Sumber: Buku Layang Kandha Kelir versi Jawa Timuran)
176
BAB V
SUMBER CERITA
5.1 Sumber Cerita
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ada penyelenggaraan
seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, dapat dipastikan
si dalang akan menceritakan lakon tentang Rama, Sinta, Rahwana
atau Pandawa dan Kurawa. Hal ini menyatakan bahwa sumber
cerita wayang kulit purwa Jawa adalah mengambil dari epos Ramayana
dan Mahabharata. Kedua epos ini berupa buku yang dibawa
oleh orang-orang Hindu masuk ke bumi Indonesia sekitar abad ke-5.
Sampai sekarang cerita Ramayana dan Mahabharata ini
sangat populer di hati masyarakat Indonesia, terlebih di hati para dalang.
Cerita Ramayana dan Mahabharata ini benar-benar dihayati
sampai detail.
Karena buku ini dibawa orang Hindu aliran Siwa, maka tokoh
pewayangan Batara Siwa atau Batara Guru diabadikan oleh para
dalang Jawatimuran dengan cara diletakkannya tokoh tersebut di
atas simpingan di sebelah kanan dalang. Demikian juga pada simpingan
kiri dalang, di atasnya diletakkan tokoh Batari Candika atau
Dewi Maut yaitu Durga yang merupakan saktinya Batara Siwa. Dalam
falsafah Jawa, saktinya sama dengan istinya.
Perlu dijelaskan keterkaitan pengabdian kedua tokoh yaitu
Siwa dan Durga dalam pewayangan Jawatimuran masih tersambung
dengan pernyataan adanya tokoh Semar dan Bagong yang sebelum
pertunjukan dimulai telah ditancapkan di tengah-tengah layar wayang
kulit (jagadan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pada hakekatnya
keempat tokoh yaitu Siwa, Durga, Semar, dan Bagong
adalah satu, yaitu sebagai manifestasi Sang Hyang Maha Tunggal
dalam mengelola karya AgungNya. Siwa dan Durga sebenarnya
adalah satu artinya suami isteri adalah dua yang menjadi satu. Semar
dalam menjalankan karyanya menginginkan pasangan sehingga
ia mencari teman. Kemudian mencipta bayangannya sendiri dan
muncullah Semar bayangan yang dinamakan Bagong. Jadi Semar
dan Bagong sebenarnya adalah satu. Semar sama saja dengan Bagong,
Bagong tidak berbeda dengan Semar.
Tokoh Semar sering juga disebut Batara Ismaya adalah
saudara tua Batara Siwa yang juga bernama Batara Manikmaya dari
Buah Karya Sang Bapa Sang Hyang Maha Tunggal (Jawatimuran:
Sang Hyang Wenang). Buah karya Sang Hyang Maha Tunggal seluruhnya
ada tiga, yaitu Sang Hyang Punggung yang disebut Togog,
Sang Puguh atau Sang Hyang Ismaya yang disebut Semar dan
177
Sang Hyang Siwa atau Sang Hyang Manikmaya yang disebut Batara
Guru. Dalam pemberian hak kewenangan, Sang Hyang Maha Tunggal
bersabda kepada ketiga puteranya ”Heh sira puteraku sakatelune
pisan, sejatine sira iku ingsun, ingsun iku sira.”
Apa yang disabdakan sebenarnya merupakan pernyataan
bahwa mereka adalah satu, Sang Hyang Tunggal tidak berbeda dengan
mereka. Jika demikian Semar sama dengan Batara Siwa. Jika
Batara Guru tidak berbeda dengan Semar, maka dapat disimpulkan
bahwa Siwa, Durga, Semar, dan Bagong pun adalah tokoh yang satu
yang tidak berbeda dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang
Hyang Wenang yang menciptakan dunia seisinya.
Sekarang kita tengok kembali tokoh Semar dan Bagong
yang ditancapkan pada jagadan bagian tengah, yang kedua mukanya
ditutup dengan gunungan (kayon) dan masing-masing merangkul
kayon. Hal ini melambangkan bahwa Sang Hyang Maha Tunggal
(Maha Wenang/Kuasa) masih diam, belum bekerja. Sang Maha Kuasa
(Tuhan) belum melakonkan kehidupan. Dunia masih sepi, sunyi
belum ada hidup, belum terang, masih gelap, belum ada gerak.
Setelah sang dalang menduduki tempatnya, ia akan menceritakan
lakon melalui medium wayang. Ini sebuah lambang bahwa
Sang Hyang Maha Kuasa (Tuhan) mulai menceritakan hidup dan kehidupan
manusia di dunia fana ini.
Pendapat ini agak berbeda sedikit dengan pendapat Ki dalang
Suleman, seorang dalang senior dari desa Karang Bangkal,
Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berpendapat bahwa gambar
Semar dan Bagong sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang
Kuasa yang diam tetapi mengintip (nginjen) dunia yang akan dihidupkan.
Kemudian gambar Batara Siwa dan Batari Durga, Ki Suleman
menafsir bahwa kedua-duanya adalah yang satu dan yang
menciptakan alam raya sedang meneliti dan melihat kondisi ciptaan-
Nya. Bandingkan dengan kitab Purwaning Dumadi dalam Kitab Suci
(alkitab) umat Kristen, “Ing dina kang kapitu bareng Gusti Allah wus
mungkasi pakaryane anggone yeyasa, ing dina kang kapitu banjur
kendel anggone karya samubarang kang wus kayasa iku” (Purwaning
Dumadi 2:2).
Tentang penciptaan ini, bandingkan pula dengan kitab Ambiya
dalam Kapustakaan Jawa tulisan Prof. Draden RM. Ng. Purbocaroko,
”Tatkala Tuhan mulai menciptakan dunia, mula-mula diciptakan
cahaya, kemudian kentallah cahaya itu menjadi ratna lalu menjadi
air dan buih, buih itulah yang kemudian menjadi langit yang tujuh”
(Kapustakaan Jawa hal 140).
Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penancapan
wayang Semar dan Bagong di tengah jagadan dan Batara
Guru serta Durga pada simpingan kanan dan kiri dalam seni pertunjukan
wayang Jawatimuran merupakan akulturasi budaya Jawa Hindu
yang perlu dilestarikan. Termasuk cerita Ramayana dan Maha178
bharata perlu dikembangkan dengan motivasi melalui seni pertunjukan
wayang kulit purwa dan wayang wong yang kini perlu dibangun.
Pada pedalangan Jawa buku Ramayana dan Mahabharata
yang sering disebut sebagai pakem cerita, telah membuat para dalang
merasa kurang pas apabila sebuah tontonan wayang kulit purwa
dalam sajiannya tidak menggunakan salah satu di antara kedua
cerita itu. Akhirnya kitab Ramayana dan Mahabharatalah yang merupakan
sumber ceritanya.
5.1.1 Cerita Ramayana
Di tinjau dari segi kepercayaan, cerita Ramayana merupakan
suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang sangat
dalam artinya. Walau cerita ini fiktif, Ramayana merupakan cerita mitos
kuna yang bersumber pada pendidikan. Cerita Ramayanan sesuai
dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan
hidup yang sempurna.
Cerita Ramayana menyinggung pula kebaikan dan kesetiaan
Dewi Sri kepada suaminya yaitu Sri Rama, karena Sri Rama adalah
titisan Dewa Wisnu, sedangkan Dewi Sri adalah istri Dewa Wisnu
yang digambarkan sebagai bumi manusia. Dari segi sosial masyarakat
membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sri adalah merupakan tokoh-
tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya.
Kitab Ramayana merupakan hasil sastra India yang indah
dan berani. Menurut perkiraan, di India ada lebih dari 100 juta orang
yang pernah membaca kitab Ramayana, artinya bahwa penggemar
cerita Ramayana melebihi pembaca WedaMenurut para budayawan,
kitab Ramayana digubah oleh seorang Empu agung, yaitu Empu
Walmiki. Kitab ini terbagi-bagi menjadi 7 bagian atau 7 kandha. Bagian-
bagian tersebut yaitu Bala Kandha, Ayodya Kandha, Aranyaka
kandha, Kiskindha kandha, Sundara Kandha, Yudha Kandha, Utara
Kandha.Pada kandha yang pertama yaitu Bala Kandha, dikisahkan
tentang Rama dan saudara-saudaranya ketika masih kecil.
Diceritakan, di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya dipimpin
oleh seorang raja bernama Prabu Dasarata. Ia mempunyai 3
istri yaitu Dewi Kausalya (Sukasalya) yang berputra Rama sebagai,
Kekayi yang melahirkan Barata, dan Dewi Sumitra yang berputra
Lasmana dan Satrugna (Satrugena). Dalam sayembara (swayamwara)
di Wideha (Manthili) Rama berhasil memboyong Sinta putra Janaka.
Sinta kemudian menikah dengan Rama.Bagian ke dua disebut
Ayodya Kandha mengisahkan Raja Dasarata sudah tua. Maka Sang
Prabu menghendaki turun tahta dan Rama diserahi untuk menggantikannya
sebagai raja di negeri Ayodya. Tanpa berpikir panjang tentu
saja Rama sebagai anak sulung menyanggupkan diri. Raja Dasarata
memerintahkan agar negeri dihias dengan sebaik-baiknya untuk peresmian
penobatan raja bagi Sri Rama yang baru saja menikah.
179
Tetapi alangkah kagetnya sang Raja Dasarata bahwa di
malam hari menjelang penobatan Rama, dewi Kekayi mengingatkan
pada Dasarata akan janji yang telah diucapkan tentang anaknya si
Barata agar bisa naik tahta. Dan selanjutnya agar Barata tenang memerintah
Ayodya, Dewi Kekayi memerintahkan kepada Rama dan
Sinta agar meninggalkan Ayodya dan hidup di hutan Kanyaka atau
Dhandaka selama 14 tahun.
Tentu saja sang Prabu Dasarata sedih sekali dan tidak kuasa
menolak janji yang telah diucapkan kepada Kekayi. Hampirhampir
sang Dasarata lari akan bunuh diri. Namun Sri Rama tahu
akan gelagat itu, dengan rela hati bersama Sinta untuk melepaskan
haknya dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Tidak mau ketinggalan
Raden Lasmana ikut dalam pengungsian ke hutan.
Sejak itulah Sang Dasarata meninggal. Barata diangkat sebagai
raja. Sesaat menduduki singgasana ia kemudian jatuh. Selanjutnya
Barata tidak mau naik tahta malahan lari mencari Rama di hutan
untuk menyerahkan kembali pemerintahan kepada kakaknya, tetapi
Sri Rama harus menggenapkan14 tahun di hutan. Untuk itu terompah
Sri Rama dibawa kembali ke Ayodya sebagai ganti Sri Rama,
maka raja terompah memerintah Ayodya.
Aranya kandha adalah bagian yang ketiga mengisahkan
tentang Batara Wisnu yang menitis ke Rama. Rama memang titisan
Batara Wisnu yang ke sembilan kalinya. Penitisan ini menjadikan karakter
Rama benar-benar bertindak ingin meluruskan perilaku umat
yang jahat dengan cara kesabaran dan kebenaran. Rama dalam pengasingan
di hutan sudah berkali-kali membantu para rohaniawan
yang diganggu oleh raksasa.
Bagian ke empat disebut Kiskindha kandha yang menceritakan
perjalanan Rama hingga sampai ke negara Kiskindha. Sebelumnya
Sri Rama telah bertemu dengan burung Garuda Jatayu yang
sudah sekarat dan maut hampir menjemputnya. Peristiwa tersebut
terjadi karena burung Jatayu bertempur guna merebut Sinta dari tangan
Rahwana Setelah burung Jatayu menyampaikan semua yang
dialaminya akhirnya mati kemudian Rama dan Lasmana melanjutkan
perjalanan. Dalam perjalanan Rama bertemu dengan Sugriwa sang
raja kera yang terjepit pada dua cabang asam yang berhimpitan dan
tak akan bisa lepas tanpa pertolongan orang lain. Himpitan cabang
itu dipanah (jemparing) oleh Sri Rama dan lapaslah Sugriwa dari jepitan
cabang pohon. Kemudian berkatalah kepada Sri Rama, bahwa
dirinya adalah Sugriwa si raja kera dari Kiskindha. Sugriwa akhirnya
minta tolong kepada Sri Rama agar sudi membantu melawan kakaknya
yang bernama Subali.
Bersekutulah Sugriwa dengan Rama dan saling berjanji
akan tolong-menolong di dalam segala kerepotannya. Akhirnya matilah
Subali dalam peperangan melawan Sugriwa yang dibantu Sri Rama.
Setelah meraih kemenangan bertahtalah Sugriwa di kerajaan
180
Kiskindha. Selanjutnya Sugriwa memerintahkan prajurit kera berangkat
ke Alengka. Setelah sampai di pantai, maka para kera bingung
karena tidak mampu menyeberangi laut.
Sundara Kandha adalah bagian yang ke lima mengisahkan
perjalanan sang Hanuman yang menjadi utusan Sri Rama. Hanuman,
kera putih (wanara seta) kepercayaan Rama, si anak dewa
Angin menuju ke negara Alengka dengan cara mendaki gunung Mahendra,
kemudian meloncati menyeberang samodra dan tibalah di
Alengka. Seluruh kota dijelajahinya hingga masuk di istana dan bertemu
dengan Sinta. Setelah saling mengabarkan kususnya Sri Rama
yang suatu saat akan menjemputnya ke Alengka.
Saat itu Hanuman diketahui oleh Indrajid, Hanuman ditangkap
lalu diikat dan kemudian dibakar. Dengan ekornya yang menyala
itu mengakibatkan seluruh kota itu terbakar, kemudian kembalilah
Hanuman ke Ayodya melaporkan peristiwa itu ke hadapan Sri Rama.
Bagian ke enam yaitu Yudha Kandha menceritakan tentang
Wibisana yang diusir Rahwana dan akhirnya Wibisana bergabung
dengan sang Rama. Sebelumnya Wibisana memberikan petunjuk
agar kakaknya yaitu Sang Rahwana mau mengembalikan Sinta ke
hadapan Rama, namun petunjuk tersebut membuat Rahwana marah.
Wibisana disuruh pergi dari Alengka. Ia pergi bergabung dengan
Sri Rama. Hal ini mengakibatkan Indrajid mati, Kumbakarna beserta
prajurit dan para senapati gugur dalam perang berebut Sinta. Rahwana
yang sakti itu mengamuk, peperanganpun berlanjut dan banyak
pula prajurit kera yang mati. Hampir saja Rama kewalahan karena
kesaktian Rahwana, akhirnya Rahwanapun mati.
Selesailah peperangan antara Sri Rama melawan Rahwana.
Wibisana diangkat oleh Rama menjadi raja Alengka. Di hati Rama
ternyata ada keraguan tentang kesucian Sinta. Untuk membuktikan,
maka ia menyuruh membuat api unggun. Masuklah Sinta ke dalam
api itu. Ternyata tidak mati, justru dewa Agnilah menyerahkan
Sinta untuk Rama sebab Sinta memang masih suci. Kini Sinta bersama
Rama pulang ke Ayodya, diiringi oleh tentara kera. Mereka disambut
oleh Barata, yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada
Sri Rama.
Bagian ke tujuh disebut Utara Kandha. Dua pertiga dari buku
Utara kandha ini berisi tentang cerita yang tidak ada kaitannya
dengan riwayat Sri Rama. Dalam kitab ini disebut-sebut tentang nama
raja Dharmawangsa Teguh.
Kitab Ramayana ini berisi bermacam-macam cerita, misalnya
terjadinya raksasa-raksasa nenek moyang sang Rahwana atau
Dasamuka. Terjadinya Dasamuka dan sikapnya yang kurang sopan
terhadap para dewa dan para pendeta.
Di kisahkan pula mengenai Sri Harjuna Sasrabahu yang
mengamuk kepada Dasamuka, disiksa ditarik dengan kereta kencana,
diikatkan badannya dengan roda kereta sampai kesakitan. Siksa181
an terhadap Dasamuka ini terpaksa dilakukan oleh Sri Harjuna sebab
patihnya yang bernama patih Suwanda (Sumantri) mati dibunuh
olehnya, namun Dasamuka ditolong oleh Pandya Batari Durga.
Isi pokok dari bagian ke 7 ini sebenarnya berupa lanjutan
dari riwayat Rama Sinta, tetapi ada perbedaan dengan bagian akhir
kitab yang ke 6. Menurut para ahli sastra bagian ke 7 ini memang
berupa kandha gubahan baru.
Diceritakan setelah Sinta diboyong ke Utara (Ayodya), maka
Sang Batara Rama mendengar desas-desus rakyat bahwa kehadirannya
sangat disangsikan akan kesuciaannya. Demi memperlihatkan
kesempurnaannya, maka Sinta yang pada saat itu dalam keadaan
hamil diusir dari Ayodya oleh Rama.
Pergilah Sinta dengan tiada tujuan tertentu dengan mengenakan
pakaian orang sudra papa dan sampailah di pertapaan Empu
Walmiki. Usia kehamilan Sinta semakin besar, maka setelah tiba
waktunya lahirlah dua anak yang ternyata lahir kembar, diberi nama
Kusa dan Lawa.
Keduanya diasuh dan dibesarkan oleh Empu Walmiki dan
dididik membaca kakawin. Sang Walmiki juga menulis cerita riwayat
Rama dalam kakawin. Suatu saat ketika sang Rama mengadakan
aswameda yaitu korban pembebasan kuda, Kusa dan Lawa diajak
hadir oleh sang Walmiki. Kedua anak muda inilah yang membawa
kakawin gubahan sang Empu.
Setelah pembacaan Kakawin dengan riwayat Sang Rama,
barulah tahu bahwa Kusa dan Lawa adalah anaknya sendiri. Maka
segera Walmiki diminta untuk mengantar Sinta kembali ke istana.
Setiba di istana Sinta bersumpah “janganlah kiranya raganya tidak
diterima oleh bumi seandainya tidak suci.” Seketika itu juga bumi terbelah
menjadi dua dan muncullah Dewi Pretiwi yang duduk di atas
singgasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sinta dipeluknya
dan dibawanya lenyap masuk ke dalam belahan bumi.
Tentu saja Sri Rama sangat menyesal atas semua itu. Perasaan
Rama sangat haru melihat sang Dewi Pretiwi yang berkenan
untuk muncul menjemput Sinta. Peristiwa tersebut telah membuat
Rama mengerti akan kesetiaan Sinta kepadanya. Itulah penyesalan
Rama, yang kemudian dinyatakan pada semedinya di pantai samudra
dan lepaslah penitisan Wisnu kembali ke Sorgaloka untuk bertemu
dengan sang istri yaitu Dewi Pretiwi.
5.1.2 Cerita Mahabharata
Menurut M.A Salmoen dalam bukunya Pedalangan Di Pasoendan
dan dalam Kitab Filsafat dan Masa Depan Pewayangan
karya Ir. Moelyono, Mahabharata berasal dari cerita bangsa Aria, yaitu
suatu bangsa yang mendiami tanah dataran tinggi Kasymir di India
utara yang bernama Wedda. Kitab Mahabharata yang berasal
dari cerita rakyat, berubah menjadi cerita mitos yang disetarafkan
182
dengan kitab-kitab lainya di India, seperti Jayur wedda, rig wedda,
sama wedda dan lain-lainya.
Pada awal abad ke 20, kitab Mahabharata telah diterjemahkan
ke dalam + 300 bahasa sehingga hampir seluruh dunia mengenalnya.
Asal mula cerita itu ditulis dalam bentuk puisi yang disebarkan
secara lisan dan turun-temurun, kemudian setelah manusia bisa
menulis dan membaca barulah dijadikan cerita tertulis yang disusun
dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa.
Kedua cerita tersebut kadang-kadang dikaburkan oleh pendapat-
pendapat atau pengertian yang campur aduk, karena perkembangan
kedua cerita itu tidak terlepas dari pengaruh dan perubahan
zaman, seperti perubahan politik, perubahan kepercayaan, perubahan
sosial ekonomi dan lain-lainya, yang kemajuan alam pikiran manusia
mempengeruhi perubahan-perubahan itu. Pada zaman Majapahit
dan zaman-zaman sebelumnya, cerita wayang bertindak sebagai
sumber penyebaran ajaran agama Hindu. Tetapi pada zaman Islam
digunakan sebagai media pengembangan dan penyebaran agama
Islam yang tentu berbeda maksud dan tujuannya, baik dalam pengertian
maupun dalam falsafahnya.
Kitab Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa.
Astha berarti delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian
atau bab. Jadi kitab Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau
18 parwa. Sebagian besar menceritakan peperangan sengit antara
Pandawa dan Kurawa selama 18 hari, sehingga ada yang menyebut
dengan nama yang lengkap yaitu kitab Mahabharatayudda yang artinya
peperangan besar antara keluarga Bharata
Kitab Mahabharata ditulis oleh Empu Wiyasa. Nyoman S.
Pendita dalam halaman pendahuluan Mahabharatanya menyebutkan
bahwa Mahabharata dikarang oleh 28 Wiyasa (Empu sastra) yang
dipersonifikasikan sebagai seorang Maharsi Wiyasa (kakek Pandawa
dan Kurawa). Asthadasaparwa artinya 18 parwa atau 18 bagian,
diantaranya yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathaparwa,
Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa,
Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedaparwa,
Asramawasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa,
Swargarohanaparwa.
Dalam parwa yang pertama yaitu Adiparwa, dimuat beberapa
macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk
laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya
gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap
bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada
juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya
lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu.
Negeri Hastina yang rajanya bernama prabu Santanu mempunyai
anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya
teguh janji. Suatu saat prabu Santanu tertarik dengan kecantikan de183
wi Satyawati. Padahal prabu Santanu sudah pernah sumpah tak
akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.
Bisma pun mengetahui pula bahwa sang ayah telah bersumpah
tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati
melihat sang ayah prabu Santanu jatuh cinta kepada dewi Satyawati
yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Melihat
gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan haknya
sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah
akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti
Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa kawin
dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati
berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada tidak lama
hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan
sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua dewi Ambika dan
Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu
Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini
kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian dewi
Satyawati menyuruh anaknya si Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya
dengan begawan Parasara untuk mengawini si janda Ambika
dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata
yang meneruskan menjabat sebagai raja di negara Astina.
Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan
laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita
buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa
dengan Dewi Ambalika menurunkan anak laki-laki bernama
Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki singgasana
kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu
Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi
berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna. Sedangkan pernikahanya
dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan
Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima
anak tersebut disebut Pandawa.
Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan
Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan
100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan
raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja
hanya sementara, inilah yang menimbulkan perang besar Bharatayuda
selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.
Pada parwa yang kedua yaitu Sabhaparwa menceritakan
tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha
Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau berhenti.
Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai
tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Kurawa,
meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena
tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga
menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira ka184
lah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra para
Pandawa menjadi bebas.
Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya
main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus
menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 mereka
harus menyelinap atau bersembunyi. Jika dalam penyelinapannya
diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12
tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.
Dalam Wanaparwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan
pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan
buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang
desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu
Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancanaka
Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram
dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi korban
saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi. Di samping itu dikisahkan
pula bahwa Raden Arjuna juga pernah merukunkan suami
istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah
Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup
menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam
hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir
untuk mendoakannya.
Maharsi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasehatnya
agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon
senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang
menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Parwa yang ke empat yaitu Wirathaparwa mengisahkan
Pandawa sudah selesai menjalani 12 tahun di hutan sebagai buangan.
Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian.
Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati
dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di negeri
Wiratha sebagai budak sang prabu Matsyapati.
Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai
berikut, Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama
Dwijangkangka, Bratasena sebagai tukang menyembelih sapi (jagal)
dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan.
Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri dewi Sudisna
bersama putri mahkota dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan sindhen
bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Sedangkan
Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan
tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi
bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri dewi Sudesna
dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini
memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala,
dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha
Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.
185
Meskipun di Wiratha sering mendapat marah oleh sang
Prabu Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh
kesabaran dan tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi
sebagai budak kerajaan harus mau menerima apa adanya meskipun
menerima siksa, dihina, dicerca, meskipun benar dianggap salah toh
mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang akan mendapat
anugerah.
Sabagai abdi mereka berenam dalam strategisnya mampu
mengamankan negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya
jagal Billawa mampu membunuh tritunggal Kencakarupa –
Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatnala
mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama para
senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Setelah
para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama
satu tahun, barulah tahu dengan jelas bagi prabu Matsyapati yang
menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa
yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak
si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.”
Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji
akan mengutamakan kebijaksanaan.
Udyogaparwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa
pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi
para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina
cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha.
Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara untuk
minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu
tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
peperangan.
Pada parwa yang ke enam yaitu Bismaparwa dikisahkan
bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima
perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang
Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra.
Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya
adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya tersebut
gugur terkena panah Bisma.
Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna
sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi
kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi
musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka
Sri Kresna memberikan nasehat (wejangan) tentang hakekat dan
kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam
dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan
(Baghawadgita).
Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma.
Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi.
186
Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua belah
pihak yang bertikai.
Dronaparwa adalah bagian yang ke tujuh mengisahkan tentang
begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca.
Drona telah menjadi panglima perang Kurawa. Sedangkan
Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gugur,
Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupada-
pun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna mengamuk
dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.
Karnaparwa adalah parwa yang ke delapan. Pada bagian
ke 8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis
dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh
oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.
Salyaparwa adalah bagian yang ke sembilan mengisahkan
tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa
namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan
Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena perintah
Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.
Dalam parwa yang ke sepuluh yaitu Sauptikaparwa, menceritakan
perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada
malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk
ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya
Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari
ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya datanglah
Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi
perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai
oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan
kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa.
Striparwa adalah bagian yang ke sebelas, mengisahkan
tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri
pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari
suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka
menyesali kejadian itu. Semua jenasah para pahlawan yang ditemukan
dibakar bersama.
Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santiparwa menceritakan
para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri.
Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan
diri. Atas petunjuk resi Wiyasa dan Kresna, diharapkan Yudhistiraa
agar mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya.
Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan kesanggupan
manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus.
Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka
menunaikan tugas bersama.
Anusasanaparwa adalah bagian yang ke tigabelas. Parwa
ini mengisahkan kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda
187
dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dan akhirnya Bisma
meninggal sesudah perang.
Dalam bagian yang ke empatbelas yaitu Aswamedaparwa
mengisahkan prabu Yudhistira pada saat mengadakan selamatan
untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebaskan
kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun
dengan penjagaan ketat, bagi siapa yang menggaggu kuda tersebut
dihukum.
Asramawasanaparwa adalah bagian yang ke limabelas.
Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari
keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi juga
ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu tahun
lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra
sendiri.
Mausalaparwa adalah parwa yang ke enambelas. Parwa ini
menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya
perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam
(Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan
menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hutan
dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu.
Parwa ke tujuhbelas disebut Prasthanikaparwa. Parwa ini
menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa
yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama
Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka
meninggal secara berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang
muda Sadewa , Nakula, Arjuna, Bima.
Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti
pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput
Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya
anjingnyapun diperbolehkan ikut, maka masuklah Yudhistira ke Indraloka
bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka
berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma / Hyang Suci.
Swargarohanaparwa adalah bagian yang ke delapanbelas
atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira
ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya, dan juga dengan
Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari
Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke Neraka dan bertemu dengan
adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yudhistira
ke Neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik
menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah berbalik
menjadi Neraka. Pandawa dan Dropadi tenteram di Sorgaloka.
Dalam kitab Swargarohanaparwa ini memerlukan pengamatan
khusus yaitu mengapa ada Nneraka dibalik menjadi Sorga?
Sebaliknya mengapa ada Sorga dibalik menjadi Neraka?
Demikianlah kisah dari 18 parwa dalam kitab Mahabharata.
Masih banyak sumber sastra lain seperti yang dibicarakan pada ba188
gian sastra lakon. Itupun juga berupa sumber sastra-sumber sastra
yang dapat dipakai sebagai sarana penggarapan lakon atau cerita
dalam seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pada umumnya.
5.1.3 Sumber Sastra Lain
Masih banyak sumber sastra lain, artinya dari yang bukan
sumber sastra yang kuno (kawi) atau sumber sastra yang tua, yaitu
sumber sastra bawaan orang-orang Hindu yang sampai mendarah
daging di hati orang Jawa. Sumber sastra tua Ramayana dan Mahabharata
benar-benar tertanam sampai di lubuk hati yang paling dalam
bagi orang Jawa. Di Jawa kalau ada pertunjukan wayang kulit
purwa dengan mengambil sumber sastra selain Ramayana dan Mahabharata
maka kebanyakan penonton masih belum bisa menerima.
Namun demikian perlu dimaklumi, bahwa setelah runtuhnya
Majapahit, seni budaya Islam menambah kekayaan seni budaya bagi
bangsa Indonesia. Dengan cepatnya terjalin antara kedua seni budaya
itu sehingga pertunjukan wayangpun bisa tersaji dengan lakon-lakon
keIslaman, khususnya seni wayang Jawatimuran. Contoh lakon
Islam itu misalnya lakon Marmaya mencari jimat Kalimasada (Marmaya
golek jamus Kalimasada).
Kisah Marmaya golek jamus Kalimasada diawali dari Negara
Puserbumi. Negara Puserbumi diperintah raja Amir Ambyah. Keadaan
negara tersebut sedang bersidang, yang dihadiri oleh beberapa
tokoh penting di antaranya patih Hariya Maktal, senapati Lamdzahur,
Samtanus dan Tamtanus. Dalam persidangan membicarakan
kondisi negara yang sedang diserang penyakit berkepanjangan (pageblug).
Pageblug bisa cepat hilang dengan sarana Jimat Kalimasada
milik raja Amarta. Umarmaya dan Umardi disuruh mencari dan
meminjam ke negeri Amarta, padahal mereka berdua belum pernah
ke Amarta. Perjalanan Umarmaya dan Umardi di tengah perjalanan
bertemu dengan penjahat jalanan. Barang bawaannya ingin diminta
paksa. Penjahat dipersilahkan ambil sendiri. Seketika itu si penjahat
mengambil sebanyak-banyaknya tetapi tangannya tak bisa diangkat,
rasanya berat bagaikan mengangkat berton-ton. Setelah merasa kalah
akhirnya penjahat jalanan itu tobat dan masuk Islam dan mau
menunjukkan arah ke Amarta. Sampai di Amarta Umarmaya dan
Umardi dipersilakan menaklukkan para raksasa yang ingin merebut
Jamus Kalimasada dan Payung Amarta. Para raksasa takluk oleh
Umarmaya, dan masuk Islam mengikuti jejak Marmaya. Pada saat
Jimat Kalimasada akan diberikan, tiba-tiba dari Puserbumi datang
utusan yang mengabarkan bahwa pageblug sudah lenyap karena
angin Kalimasada sudah sampai di negara Puserbumi. Demikianlah
salah satu kisah cerita Islam dengan judul Marmaya mencari jimat
Kalimasada.
Sumber sastra tua adalah kitab-kitab yang berasal dari tanah
Parsi namun sudah menjadi kitab Jawa. Mula-mula cerita itu
189
berjudul Hikayat Amir Hamzah. Di Jawa menjadi cerita Amir Ambyah.
Cerita ini induknya adalah Kitab Menak, Kitab Manikmaya, dan
Kitab Sudamala.
5.1.3.1 Kitab Menak
Kitab ini mengisahkan antara Wong Agung Menak yang
bermusuhan dengan raja di negeri Medayin Sang Prabu Nusirwan
yang mempunyai patih bernama patih Bestak. Raja dan patih beserta
para ponggawa semua masih kafir. Wong Agung Menak itu adalah
Jayengrana tetapi sudah masuk Islam. Ia menantu prabu Nusirwan.
Atas dorongan patih Bestak, Wong Agung selalu dicari kelemahannya
agar mati terbunuh.
Tipu muslihat Bestak yang kafir ini selalu mencari masalah.
Ia mencari sahabat negara yang tidak berfaham Islam supaya mudah
dirayu dan di tipu. Biasanya negara ini rajanya mempunyai adik
atau anak atau kakak perempuan yang cantik. Karena hasutan Bestak
maka terjadilah peperangan antara raja hasutan Bestak dengan
orang-orang Wong Agung.
Awalnya Wong Agung Menak Jayengrana dapat dikalahkah
dan ditangkap akan dibunuh. Tetapi atas usul adik perempuan raja
yang cantik itu, Wong Agung Menak Jayengrana tidak boleh dibunuh.
Justru putri tersebut minta dikawinkan, tetapi Wong Agung Menak
Jayengrana mempunyai syarat bahwa orang-orang di negara itu
harus mau masuk Islam termasuk raja beserta keluarganya. Apalagi
perempuan yang akan dinikahi itu harus mau mengikuti Wong Agung
masuk Islam.
Upaya Bestak tidak pernah berhenti. Ia masuk ke negera
lainnya lagi untuk menaklukkan Wong Agung, dan seperti yang sudah
terjadi bahwa negara yang lainnya akan menikahkan putrinya
dengan Wong Agung dan masuk Islam, begitu seterusnya.
Menurut Purbocaroko, kitab Menak yang tertua berangka
tahun 1639 Jawa pada jaman Kartasura. Penulis kitab Menak jaman
Kartasura adalah seorang juru tulis desa (Carik) bernama Carik Narawita
yaitu menantu ki Carik Waladana.
5.1.3.2 Kitab Manik Maya
Kitab Manik Maya ini ditulis pada jaman Kartasura, penulisnya
bernama Kartamursadah. Kitab ini bermacam-macam isinya. Bagaian
awal kitab ini menceritakan terjadinya dunia dengan berbentuk
tembang yaitu tembang Dhandhanggula.
Lumaksana sekar sarkara mrih,
Pininta maya maya’ng geng ulah,
Kang minangka pituture,
Duk masih awing-awang,
Durung ana bumi langit,
190
Nanging Sang Hyang Wisesa,
Kang kocap rumuhun,
Meneng samadyaning jagad,
Datan arsa masik jroning tyas maladi,
Ening aneges karsa.
Amurweng anggana ‘ngganya titis,
Titising driya tan ana kang liyan,
Pribadi dating asuwe,
Miyarsakken swara sru,
Tan katingal uninya kadi,
Genth, sakala kagyat,
Sarya non antelu,
Gumantung neng awang-awang,
Gya cinandhak sinanggeng asta pinusthi,
Dadya tigang prakara.
Saprakara dadya bumi langit,
Saprakarane teja lan cahya,
Manik maya katigane,
Kalih para samya sujud,
Ing padane sang maha muni,
Sang Hyang Wisesa mojar,
Dhateng Sang Hyang Guru,
Eh Manik wruhanireki,
Sira iku ananingsun ingsun iki,
Estu kahananira,
Ingsun pracaya saklir-kalir,
Saisine jagad pramudita,
Sira wenang ndadekake…...
Terjemahan:
Dibimbing oleh tembang sarkara (Dhandhang gula) yang
senantiasa,
Diharapkan keindahannya untuk setiap kerja,
Adapun buah tuturnya ialah kisah ketika masih kosong
(awang-uwung),
Belum ada bumi dan langit,
Tapi yang tersebut dahulu ialah Hyang Wasesa,
Yang berdiam diri di tengah-tengah jagad,
Tidak bergerak karena sedang memuja dalam hatinya,
Tenang diam bertanyakan kehendak Tuhan,
Membina seorang diri tertujukan dirinya,
Tujuan hati tiada yang lain.
191
Diawali di angkasa dengan tepat,
Tepat dilubuk yang dalam dan tak ada yang lain sendirinya
juga,
Tak lama diantaranya,
Terdengarlah suara nyaring suatupun tiada kelihatan,
Bunyinya seperti genta seketika terkejut,
Serta kepada telur,
Bergantung di angkasa,
Segera ditangkap disangganya di tangan diremasremasnya
berubah sifatnya,
Menjadi 3 macam.
Satu kali yang pertama menjadi bumi dan langit,
Satunya lagi menjadi teja dan cahaya,
Yang ketiganya menjadi Manik maya,
Yang dua itu sama-sama sujud,
Pada kaki sang Maha Muni,
Sang Hyang Wisesapun bersabda,
Kepada Hyang Guru,
Wahai Manik ketahuilah,
Bahwa sebenarnya kamu adalah Aku,
Aku ada padamu,
Kami percaya akan segela kehendakmu,
Sekalian isi jagad raya ini,
Padamulah akan membuatnya….
Dari kalimat-kalimat di atas menyatakan bahwa Sang Manik
itu adalah Sang Batara Guru. Sedang Sang Maya adalah Sang
Hyang Semar Badranaya. Di dalam kitab Manik Maya ini juga berisi
tentang terjadinya Batara Kanekaputra yang di sebut juga Sang
Hyang Narada . Cerita lain yang juga dimuat di dalamnya adalah cerita
tentang Ajisaka.
Empu Brahma kedali sampun ayogya (ayoga), wasta Sang
Anggajali. Anggajali putra, jalu wus pinarahan nama Empu
Sangka Adi masuk Islam, njabat jengira nabi. Punika kang
Mencaraken aksara Jawa…….
Terjemahan :
Empu Brahma Kedali sudah berputera bernama Sang Anggajali.
Anggajali berputera laki-laki dinamai Empu Sangka
Adi masuk Islam, dan menjadi sahabat nabi junjungannya.
Ialah yang Menyebarkan huruf Jawa……...
192
Demikianlah cerita tentang Sangka Adi yang membuat sejarah
asal-usul huruf Jawa berjumlah 20 huruf. Dalam kitab-kitab tentang
huruf Jawa yang lebih muda, Empu Sangka Adi ini berubah
menjadi Ajisaka. Isi yang lain dalam kitab Manik Maya adalah:
…….. Sang Prabu Mendhang kamulan, enget dhateng riwayat
kondur tan aris, lawan sabalanira. Celeng kutila samya
beriki, kang kacandak gigire karowak saya sanget palayune,
prasamnya rebut dhucung, sampun tebih prapteng jro
puri, sri bupati sineba, pepak punggawa gung jaka Puring
aneng ngarsa …….
Terjemahan :
…….. Sang Prabu Mendhang kamulan, ingat akan riwayat,
pulang tergesa-gesa beserta sekalian bala tentaranya. Babi
dan kera semua mengusir, yang terlanggar parah parah
punggungnya makin kencanglah lari, mereka dahulu mendahului,
telah jauh tiba di istana, mereka menghadap sang
raja, penuh orang-orang besar jaka Puring duduk di depan…..
Dan masih banyak lagi isi atau muatan yang mewarnai kitab Manik
Maya tulisan Kartamursadah yang termasuk kitab-kitab sastra di jaman
Islam Kartasura.
5.1.3.3 Kitab Sudamala
Kitab ini menceritakan istri Batara Guru Sang Batari Uma
yang berubah rupa menjadi raksasa perempuan (rasaksi). Perubahan
tersebut terjadi karena kutukan sang suami, dan ia ingin cantik
lagi.
Syahdan di Negara Hastina mendapat bantuan prajurit Kalanjaya
dan Kalantaka. Kunthi minta bantuan Durga agar melenyapkan
kedua raksasa sakti itu. Durga sanggup, tetapi Kunthi harus menyerahkan
seekor kambing merah yaitu Sadewa untuk meruwatnya.
Kunthi tidak sanggup, akhirnya lari tetapi dikejar anak buah Durga
yang bernama Kalika, akhirnya Sadewa diserahkan kepada Durga.
Sadewa tidak sanggup meruwat karena memang tidak punya
kepandaian tentang meruwat. Kemudian diikat di pohon lalu disiksa.
Pada akhirnya Sadewa sanggup karena Batara Guru telah
menyatu dengannya. Sadewa meruwat Durga yang dibantu Batara
Guru dan Durga kembali cantik menjadi Uma.
Kalanjaya dan Kalantaka kalah perang melawan Nakula
dan Sadewa hingga akhirnya kembali ke wujud semula menjadi dewa
Batara Citranggada dan Batara Citrasena.
193
5.2 Lakon
Lakon berasal dari kata laku, artinya yang sedang berjalan
atau suatu peristiwa, dan dapat dikatakan juga suatu gambaran sifat
kehidupan manusia sehari-hari yang dibeberkan dan diwujudkan melalui
sarana pertunjukan wayang. Dalam pertunjukkan wayang, lakon
yang berbobot ialah yang dapat menarik dan mengikat perhatian, sehingga
dapat memberi suri tauladan, pelajaran, dan bimbingan sikap
kepada para penonton.
Berisi atau tidaknya lakon tergantung kepada kemampuan
dalang dalam penguasaan lakon tersebut. Secara teknik penguasaan
lakon tersebut diwujudkan dengan bermacam-macam keterampilan
diantaranya ulah karawitan, ulah sastra, ulah vokal, maupun penguasaan
mengenai pengetahuan umum dibidang- kemasyarakatan,
contoh budi pekerti, ilmu jiwa dan ilmu lainnya.
Menurut beberapa kalangan pedalangan, berhasil atau tidaknya
suatu pergelaran dan pendramaan sebuah lakon yang dipertunjukan
dalang, tergantung kepada sanggit dalang. Sanggit di sini artinya,
daya cipta dalang yang dicetuskannya dalam pakeliran agar menimbulkan
efek tertentu dan melibatkan penonton. Maka sanggit ini
dapat menunjukan kegiatan cipta, rasa, dan karsa dalang, yang disajikan
dalam pakeliran secara improvisasi dan dipertimbangkan serta
dipikirkan terlebih dahulu. Sanggit sangat mutlak yang harus dimiliki
oleh dalang untuk keberhasilan suatu sajian pakeliran. Tanpa sanggit,
pergelaran wayang akan hampa.
5.2.1 Tipe Lakon
Seorang dalang yang akan menyajikan lakon tentu sangat
tergantung kepada sang penanggap atau yang punya hajat (gawe).
Lakon apa, cerita apa itu juga tergantung kepadanya. Ia punya gawe
apa? Jika si penanggap sedang punya hajatan mengawinkan anak
(gawe mantu) maka si dalang akan diminta untuk menyajikan lakon
perkawinan. Bila si penanggap punya hajatan khitanan (gawe sunatan)
maka sang dalang akan menyajikan lakon wahyu-wahyuan.
Bagi dalang yang melakokan cerita lahir-lahiran pasti dipesan
si penanggap yang punya hajatan misalnya satu tahun kelahiran
bayi (setahunan bayi) atau karena terlaksananya sebuah harapan
akan kelahiran bayi yang masih ada dalam kandungan, atau orang
yang sudah lama berkeluarga tetapi belum punya anak. Setelah kehamilannya,
maka dalam upacara 7 bulan kelahiran bayi (mitoni) dan
apabila menanggap wayang, maka sang dalang akan melakonkan
cerita Brayut dengan harapan banyak anak. Biasanya juga lakon lahir-
lahiran.
Pada bulan Ruwah di desa-desa dalam tradisi tahunan
umumnya menyelenggarakan upacara memperingati hari jadi desa
(Ruwat Desa/Nyadran) dimana penanggapnya adalah masyarakat.
194
Di sinilah lakon wejang-wejangan akan tersaji. Demikian juga pada
tahun baru Jawa, bulan Sura lakon wejangan yang berjudul Semar
mejang (Guru Maya) akan pegang peranan.
Bila si penanggap sedang menyelenggarakan pelaksanaan
haul (Nadzar atau ngluwari ujar) si dalang akan melakonkan Sri Boyong,
Pandawa Boyong atau Sinta Boyong. Dalam memperingati
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ada kalanya ki dalang diminta melakonkan
cerita yang heroik (kepahlawanan), misalnya lakon Rebut
Negara, Rebut Kikis, Bharatayuda, Brubuh Alengka dan lain sebagainya.
Di masa-masa lampau pertunjukkan wayang sangat erat
hubungannya dengan rakyat bahkan sangat membudaya di hati mereka.
Dalam upacara pembersihan diri (Ruwat Sukerta) sampai sekarang
masih lekat di hati masyarakat dengan diselenggarakan wayangan
Ruwatan Kala.
Bendasarkan keeratan hubungan budaya wayang dan kehidupan
sehari-hari maka nampak jelas bahwa fungsi wayang menjadi sarana
ajaran rohani, harapannya adalah keselamatan. Untuk itu sangat
terasa sekali bahwa memilih lakon atau cerita dalam pertunjukan
wayang ada kaitannya dengan keperluan. Lakon-lakon itu sudah disiapkan
bentuk serta gunanya dan dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan, yaitu cerita pernikahan (lakon rabi-rabian atau krama),
kelahiran (lahir-lahiran), Bharatayuda (rebut negara atau brubuh),
turunya wahyu (wahyu-wahyuan), pembersihan diri (ruwatan).
5.2.2 Pemeran Lakon
Pengertian pemeran lakon dalam arti luas, adalah semua
tokoh-tokoh yang terlibat dan tampil dalam suatu cerita yang dibeberkan
dalam pergelaran wayang. Tokoh-tokoh tersebut berupa wayang-
wayang. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh dalam lakon
Wirathaparwa dan Resaseputra gaya Jawatimuran.
Ada dua kubu kekuatan yang bermusuhan dalam cerita
Wirathaparwa. Dua kekuatan tersebut adalah pihak Wiratha melawan
pihak Kurawa. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita Wirathaparwa
khususnya dari pihak Wiratha, diantaranya adalah Prabu Matsyapati,
Raden Utara, Raden Wratsangka, Patih Nirbita, Dewi Utari,
Kresna Raja Dwarawati, Resi Wiyasa, Gathutkaca, Dwijakangka, Endang
Salindri, Jagal Abilawa, Wrehatnala, Antrika, Bramabrangti.
Sedangkan tokoh-tokoh yang terlibat di kubu Kurawa adalah
Prabu Suyudana, Pendita Durna, Begawan Bisma, PatihSengkuni,
Adipati Karna, Kartamarma, Dursasana, Jayadrata, Aswatama,
Prabu Susarman, Prajurit Trigarta yaitu Patih Mahiradenta, Kala Pralemba,
Kala Praceka, Punakawan dari kerajaan Trigarta yaitu Togog,
Sarawita.
Dalam cerita Resaseputra gaya pedalangan Jawatimuran,
ada beberapa pihak yang terlibat secara langsung yaitu dari negara
195
Purwacarita, dari Kahyangan atau para dewa, dari Pertapaan, dari
Kesatriya serta Punakawan, dan yang terakhir dari pihak lawan yaitu
dari negara Sunggelamaik. Dari semua pihak yang terlibat hanya dari
pertapaan dan dari negara Purwacarita yang berhubungan sangat
erat tanpa ada permusuhan.
Tokoh dari negara Purwacarita yaitu Prabu Sumalidewa,
Raden Sumalintana, Patih Mangkupraja, Dewi Sumaliwati. Dari pihak
Kahyangan atau kadewatan yaitu Sang Hyang Darmajaka, Batara
Guru, Batara Narada, Batara Brama, Batara Wisnu, Batara Basuki.
Dari pihak Pertapan Leburgangsa adalah Begawan Kumbakinumba,
Wangsatanu, Wangsajalma, dan Kalakirna. Sedangkan pihak lawan
dari negara Sunggelamanik yaitu Prabu Jalawalikrama, Patih Bramangkara,
Kala Pragalba, punakawan Mujeni dan Mundu. Dari pihak
kesatriya dan pamong yaitu Raden Kuswanalendra, Raden Berjanggapati,
Semar, Bagong, Subali, dan Sugriwa.
Adapun yang disebut tokoh Pandawa atau keluarga Pandawa adalah
terdiri dari lima (5) orang laki-laki, nama-nama dari tokoh Pandawa
yaitu Puntadewa, Bima, Janaka, Nakula, Sadewa. Sedangkan yang
disebut keluarga Kurawa adalah seratus (100) orang, yang sembilan
puluh sembilan adalah laki-laki dan satu perempun.
5.2.3 Peran
Seorang dalang, dalam karyanya akan menampilkan lakon/
cerita dua peranan, yaitu peranan yang baik dan peranan yang
jahat. Baik dan jahat ini selamanya tidak akan rukun, tidak akan bersatu,
dan selalu konflik.
Dalang akan selalu menggarap konflik atau perselisihan antar
keduanya dengan cara yang dramatis. Untuk itu ia akan memilih
tokoh sebagai peran protagonis dan antagonis, untuk mempertajam
konfliksitas bagi kedua peran itu. Sebelum berlanjut perlu dimengerti
bahwa yang dimaksud dengan peran protagonis adalah tokoh peran
yang dilanda krisis misalnya terancam, diburu, tersiksa yang kesemuanya
ditimbulkan oleh si antagonis. Dengan demikian jelas bahwa
antagonis adalah lawan protagonis. Antagonis yang mengancam,
yang memburu, yang menyiksa si protagonis. Kedudukan si protagonis
ialah sebagai pemeran utama dalam lakon. Segala peristiwa
yang terjadi mengacu, mengarah dan berpusat kepadanya.
Di samping protagonis dan antagonis dapat diselipkan kelompok
kekuatan ketiga yaitu tritagonis, yang dalam penokohan berperan
dan berkedudukan sebagai penyebab utama atau pembangkit
sengketa antara protagonis dan anatgonis. Kekuatan tritagonis juga
memerangi masalah yang disengketakan kedua pihak, dan menjadi
alat di tangan salah satu pihak yang bersengketa, yaitu sebagai penolong
melepaskan protagonis dari ancaman si antagonis atau sebagai
penengah, pendamai atau pelerai antara kedua belah pihak.
196
Dalam suatu lakon apabila ketiga peran itu sudah ada,
nampaknya sudah lengkap dan sang dalang sudah bisa beraktifitas
dengan baik. Namun dalam pendramaan setiap lakon atau bentuk
penyajian baik padat, pethilan, atau singkat sering dibutuhkan tokoh
peran deutragonis. Di pewayangan peran deutragonis diwujudkan
sebagai dewa atau panakawan/cantrik yang berfungsi sebagai pendukung
peran protagonis. Yang dimaksud pendukung adalah malayani,
sebagai teman atau batur artinya pangembating catur yang selalu
menuntun dan menunjukkan jalan yang benar. Juga sebagai
pemberi nasihat untuk tidak melakukan kemarahan, senantiasa melakukan
kesabaran, dan kesadaran. Dengan dimunculkannya peran
deutragonis ini, maka akan sangat gampang sekali untuk melakukan
kreatifitasnya dalam menyanggit dan mereka-reka sebuah lakon-
/cerita, agar apa yang tercipta dapat menarik dan mencapai sukses.
Sebagai penunjang keberhasilan dalam pentas tentunya Ki dalang tidak
akan melupakan wanda wayang dan diharapkan mampu menjiwai
setiap tokoh wayang dalam lakon yang disajikan.
Namun perlu diketahui bahwa tidak selamanya tokoh-tokoh
wayang itu protagonis atau antagonis, karena dapat berubah
tergantung lakon yang disajikan. Sedangkan wanda wayang itu
memperkuat karakter dalam adegan di lakon tertentu.
Di bawah ini data tokoh-tokoh terpilih yang berperan protagonis
dalam lingkup lakon sengketa antar negara pada cerita wayang.
Contoh negara yang bertikai mislanya, negara Pancawati dengan
negara Alengka, yang dalam peperangannya merebutkan Dewi
Sinta istri Rama.
Secara garis besar tokoh protagonis dalam cerita epos Ramayana
adalah Sri Rama dari Pancawati yang juga bernama Raden
Ragawa. Sedangkan yang juga termasuk tokoh utama yaitu Dewi
Sinta dan Lasmana.
Di kisahkan bahwa Dewi sinta dalam cerita ini telah diculik
oleh Rahwana raja dari negara Sri Langka atau negara Alengka.
Penculikan tersebut sebagai penyebab/penyulut Perang Brubuh
Alengka. Oleh karena Dewi Sinta juga menjadi tokoh senter maka di
samping sebagai incaran, juga menjadi sebab timbulnya permasalahan
bagi mereka yang bertikai yaitu antara negara Alengka melawan
Pancawati. Sehingga dalam kisah tersebut Dewi Sinta pun bisa
digolongkan sebagai peran protagonis.
Sri Rama pada saat masih muda dipanggil Raden Ragawa
yang dilahirkan oleh Dewi Raghu. Sri Rama diangkat menjadi raja
setelah acara pernikahannya dengan Dewi Sinta, namun penobatan
tersebut diprotes oleh ibu tirinya yaitu Dewi Kekayi. Tujuan Dewi Kekayi
memprotes yaitu agar yang menjadi raja di Ayodya Pancawati
adalah anaknya yang bernama Barata. Dewi Kekayi akhirnya mengusir
Rama dan Sinta agar pergi ke hutan Dhandhaka selama 12
tahun.
197
Sebagai satriya yang wajib dan harus berbakti kepada
orang tua, maka Rama mengikuti apa yang dititahnya oleh Dewi Kekayi,
akhirnya Rama mengajak istrinya pergi ke hutan. Kepergian
Rama dan Sinta diikuti oleh Raden Lasmana, yang dilahirkan oleh
Dewi Sumitra sebagai istri ketiga Prabu Dhasarata. Mereka bertiga
berada di hutan Dhandhaka dan tidak akan pulang sebelum masa 12
tahun dihitung dari sejak pengusiran oleh Dewi Kekayi.
Raden Barata yang sudah diwisuda menjadi raja Ayodya
akhirnya tidak sanggup menjalankan pemerintahan negara Ayodya.
Hal tersebut dapat dilihat pada saat penobatan, karena dipaksakan,
maka saat penobatannya, ketika duduk di atas singgasana kerajaan,
kepalanya terasa pusing dan terjatuhlah Barata dari singgasana
hingga pingsan. Setelah sadar Barata mencari kakaknya ke hutan
untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Sri Rama. Setelah sampai
di hutan dan bertemu dengan Sri Rama, Barata mengutarakan
semua isi hatinya dan menyerahkan kembali tahta kepada Sri Rama.
Namun Sri Rama tidak mau, menerima karena akan melanggar sumpahnya
dan sebagai gantinya Sri Rama menyerahkan terompah kepada
Barata. Akhirnya Barata kembali ke Ayodya dan mohon doa
restu kepada Sri Rama dan dewi Sinta.
Sinta seorang putri cantik anak seorang raja dari negeri
Manthili (Mithila) bernama Prabu Janaka. Sinta kemudian diperistri
oleh Raden Rama dari negeri Ayodya. Seperti telah diketahui oleh
para penggemar wayang, bahwa sebenarnya Sinta adalah anak Prabu
Rahwana dari negeri Alengka. Ketika istri Rahwana yang bernama
Dewi Tari sedang hamil, Rahwana berniat hendak bertapa. Maka
Prabu Rahwana berpesan kepada adiknya yang bernama Wibisana,
pesan tersebut berbunyi “besuk kalau istrinya melahirkan bayi putri
maka anak tersebut akan diperistri sendiri, sebab bayi itu adalah jelmaan
Batari Sri Widawati”. Batari Sri Widowati adalah bidadari yang
sangat dicintai Rahwana. Tidak lama kemudian Dewi Tari melahirkan
dan oleh Wibisana bayi yang baru lahir itu dibuang, sebab bayi tersebut
ternyata putri. Setelah membuang bayi, Wibisana memanah mega,
dan mega yang terkena panah akhirnya menjadi kesatriya yang
gagah diberi nama Raden Megananda atau Begananda, di sebut juga
Raden Indrajid. Sedangkan bayi perempuan yang sudah dibuang
itu akhirnya ditemukan oleh Prabu Janaka raja Manthili dan diasuh
serta dibesarkan hingga dewasa yang akhirnya menikah dengan Sri
Rama.
Pada saat menjalani pengusiran dan hidup di hutan bersama
Sri Rama keadaan Dewi Sinta saat itu sedang sendirian, yang
akhirnya diculik oleh Raja Rahwana dan bibawa ke negaranya di
Alengka. Dalam perjalanan Rahwana sempat bertemu dengan burung
Garuda yaitu Resi Jatayu sahabat Prabu Dasarata ayah Sri Rama
dan Lasmana. Jatayu merebut Sinta dari tangan Rahwana. Akibat
pertempuran melawan Rahwana akhirnya burung Garuda Jatayu
198
mati di tangan Rahwana. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir,
Burung Jatayu sempat memberi tahu kepada Sri Rama dan
Lasmana tentang keberadaan Sinta, bahwa Sinta telah di culik Rahwana.
Dalam lakon Ramayana, Lasmana termasuk kelompok protagonis.
Tetapi secara individu dia termasuk peran tritagonis. Namun
dalam Brubuh Alengka termasuk peran protagonis karena ikut menyelesaikan
masalah membantu sang Rama si protagonis.
Ketika sang Rama memburu Kidang Kencana, Lasmanalah
yang menjaga Dewi Sinta di tengah hutan Dhandhaka. Dewi Sinta
sempat curiga terhadap Lasmana, sebab tak mau disuruh untuk
mencari Sri Rama yang telah lama belum kembali. Untuk menunjukan
bahwa dirinya tidak bermaksud apa-apa terhadap Dewi Sinta dan
menunjukan rasa setianya kepada kakaknya yaitu sang Rama, maka
Lasmana memotong penisnya (planangannya) dan seketika itu juga
planangannya terbang ke angkasa dan berada di langit. Menurut kepercayaan
masyarakat Jawa, penis tersebut menjadi benda bersinar
disebut cleret tahun sebagai tanda akan ada angin kencang berputar
dan hujan deras.
Setelah memotong penisnya, Raden Lasmana pergi dari
hadapan Sinta untuk melaksanakan perintah mencari Sang Rama.
Namun sebelum pergi Lasmana telah menggoreskan kerisnya di tanah
untuk membuat lingkaran Rajah Kala Cakra sebagai benteng keselamatan
Dewi Sinta.
Dalam kitab Ramayana juga menceritakan mengenai Raden
Hanuman atau Anoman. Anoman adalah manusia kera yang
berbulu putih seperti kapas. Ia anak Bathara Guru dengan Dewi Anjani,
seorang perempuan yang bermuka dan bertangan kera.
Raden Hanuman (Hanuman=hanu-man) dalam cerita Ramayana,
membantu Sri Rama hingga selesai, karena dia sebagai
pembela yang benar. Anoman memang kera sakti, tak ada yang bisa
mengalahkannya kecuali hanya Sang Benar. Tak ada wangsa Wisrawa
yang mampu melawan Anoman. Sejak Anoman-duta sampai
brubuh Alengka hingga Sinta kembali (Boyong), sang peran protagonis
Anoman tidak pernah ketinggalan dari aktifitas peperangan membela
Rama hingga selesai.
Di saat istirahat, Anoman berada di dekat Sri Rama. Tidak
lama kemudian Sri Rama bertanya kepada Anoman, ”Anoman, besar
sekali baktimu terhadapku, untuk itu aku akan memberi ganjaran kepadamu
berupa gelar yaitu Bintang Senapati Agung. Besok akan saya
sematkan pada bajumu. Namun aku akan merasa puas apabila
pada ganjaran ke-2 ini yang meminta kamu sendiri melalui ucapanmu.
Silakan Anoman!”
Dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Sri Rama itu, dalam
hati Anoman malah kebingungan dan berkata, “ini kan sudah kewajiban
prajurit kewajiban senapati. Tetapi mengapa aku harus me199
nerima ganjaran yang sehebat itu,” demikian kata hati Anoman. Tetapi
karena desakan Sri Rama, maka Anoman menjawab ”Aduh gusti
prabu, sangat besar anugerahmu, terima kasih sekali, karena anugerah
ke-2 atas kehendak gusti prabu, maka hamba hanya minta umur
panjang.” Jawab Sri Rama ”selama namaku masih disebut di dunia
ini, maka kamu pasti masih hidup.” Hal tersebut dilakukan Sri Rama
karena mengingat akan jasa-jasa Anoman ketika melawan Rahwana
si penculik Sinta.
Rahwana adalah raja dari kerajaan Alengka yang disebut
juga kerajaan Ngalengka. Rahwana memiliki kekuatan dan kesaktian
yang sangat hebat. Dia mempunyai aji Pancasona, yang membuatnya
tak bisa mati.
Sejak dewasa Rahwana diberi ganjaran oleh dewa yaitu seorang
istri yang bernama Dewi Tari. Namun sebelum menerima ganjaran,
Rahwana pernah bertemu bidadari yang bernama Batari Sri
Widawati. Menurutnya bidadari yang satu ini kecantikannya tidak ada
yang menyamai apalagi melebihinya. Maka kehendak sang Rahwana,
kapanpun, di manapun, menjelma pada siapa pun akan tetap dikejarnya.
Dalam cerita Ramayana, Sri Widawati menjelma pada putri
Manthili bernama Dewi Sinta. Itulah sebabnya Rahwana ingin memperistri
Dewi Sinta. Rahwana atau Dasamuka ini sudah berhasil
menculiknya, dan sekarang berada di taman Pamardi-suka atau taman
Arga-soka. Sejak itulah negara Alengka dilanda kejadian yang
tidak menyenangkan. Sering muncul kejadian aneh yang menyengsarakan
masyarakat Alengka. Adik-adiknya seperti Raden Kumbakarna,
Raden Wibisana sering mengingatkan, agar Sinta dikembalikan
pada Rama. Namun nasehat tersebut tak pernah diindahkannya,
malahan adik-adiknya dimarahinya hingga Wibisana di usir dari Ngalengka.
Raden Kumbakarna adalah adik prabu Dasamuka, saudara
seayah seibu. Dia dilahirkan dari rahim Dewi Sukesi. Ayahnya seorang
pendeta ampuh bernama Resi Wisrawa.
Sejak dari dirinya sendiri kemudian adiknya yang bernama
Kumbakarna dan adik ketiganya yang seorang perempuan bernama
Sarpakenaka berwujud raksasa. Ketiga-tiganya termasuk golongan
peran antagonis. Sedangkan adiknya yang bungsu bernaman Raden
Wibisana adalah manusia seutuhnya dan bagus rupanya.
Wibisana mempunyai watak pendeta, tidak mau menyusahkan
orang lain. Maka dalam penokohan di bidang peran, dia tidak
termasuk peran antagonis. Dia sangat hormat terhadap orang tua
termasuk kakak-kakaknya, khususnya kepada Kumbakarna yang gemar
bertapa.
Kumbakarna adalah saudara Rahwana yang nomer dua.
Kumbakarna merupakan seorang raksasa yang besar dan tinggi. Karena
sangat besar dan tinggi sampai diibaratkan sebesar anak gunung
(sagunung anakan) artinya setinggi dan sebesar anak gunung.
200
Raden Kumbakarna suka makan, sampai ia dipakai sebagai lambang
nafsu aluamah. Dalam pertempuran melawan Sri Rama, dia bilang
bukan membela Rahwana kakaknya tetapi bela tanah tumpah
darah. Dalam peperangan melawan Sri Rama, Kumbakarna mati secara
sadis. Kedua tangan dan kedua kakinya putus satu per satu
hingga tinggal kepalanya. Kepala itu akhirnya mati terkena panah
Guwawijaya.
Sarpakenaka di dalam Kawi Kuna-nya berbunyi Ćurpanaka
artinya orang berkuku tajam beracun/upas. Ketika Sri Rama membendung
(nambak) Samodra, Sarpakenaka inilah yang membedah
tambak itu hanya dengan kukunya saja.
Sarpakenaka termasuk golongan peran antagonis karena
dalam pertempuran brubuh Alengka, Sarpakenaka membela Rahwana.
Dia membenarkan perilaku sang kakak parabu Rahwana yang
sangat antagonis itu. Rahwana adalah seorang lelaki yang berkedudukan
sebagai orang nomer satu di Ngalengka, maka tidak salah bila
hendak memperistri Dewi Sinta. Sinta kan perempuan, juga, begitu
pikiran Sarpakenaka.
Setelah bertemu dengan Lasmana di hutan Dandhaka, ,
Sarpakenaka sangat mengharapkan agar Lasmana mau menjadi
suaminya. Keinginan tersebut sudah menyatu dalam kehidupannya.
Akan tetapi jelas Lasmana tidak mau, sebab kecuali Sarpakenaka
sebagai musuh, dia juga berwajah raksasa. Dia adalah Raseksi (buta
wedok) yang dalam kehidupan manusi/masyarakat Jawa melambangkan
nafsu supiyah, watak yang suka bersolek, berganti-ganti
busana, suka pesta pora, makan minum semaunya. Sedangkan Rawana
sebagai lambang watak amarah dan Raden Wibisana sebagai
lambang watak yang suci, jujur, tidak ingin memiliki yang bukan miliknya,
watak tersebut disebut watak yang mutmainah. Itulah saudara-
saudara Sarpakenaka yang dijadikan sebagai lambang nafsu 4
macam di antaranya adalah nafsu amarah yaitu Dasamuka, aluamah
yaitu Kumbakarna, supiyah yaitu Sarpakenaka, dan mutmainah yaitu
Wibisana.
Peristiwa yang pernah menimpa Sarpakenaka adalah pada
saat menggoda dan merayu Lasmana di hutan Dandhaka. Dikisahkan
bahwa Sarpakenaka tergila-gia akan ketampanan Lasmana, dan
amat sangat menginginkan agar Lasmana mau menjadi suaminya.
Akan tetapi Lasmana tidak menghiraukan rayuan Sarpakenaka. Begitu
pula Sarpakenaka tidak berhenti marayu Lasmana, hingga akhirnya
Lasmana merasa jengkel dan marah. Hidung Sarpakenaka dipegang
sangat keras kemudian dipelintir oleh Lasmana sampai gruwung
(berlubang hampir putus). Peristiwa tersebut oleh Sarpakenaka
dilaporkan ke Rahwana dengan membalikan fakta. Rahwana sangat
marah yang akhirnya merembet hingga mengakibatkan timbulnya
perang besar yang disebut perang Brubuh Alengka.
201
Meskipun saudara-saudaranya berwujud raksasa, akan tetapi
Wibisana adalah bagus rupa. Dia senang mencari kebenaran
(dheweke tansah angupadi dalan kang bener lan jatining kayekten).
Sampai dia lari dari kakaknya Rahwana yang jahat itu dan ikut mengabdi
pada Sri Rama melalui Hanuman. Ini artinya Wibisana akan
menjadi jalan si protagonis Sri Rama.
Dengan demikian Wibisana bukanlah peran antagonis dan
juga protagonis. Dalam lakon perang Brubuh Alengka sampai habisnya
bangsa Alengka, Wibisana sebagai tritagonis. Namun kalau menurut
pakem wayang Jawatimuran lain lagi. Kepergian Wibisana dari
hadapan Rahwana karena kedua matanya dibutakan oleh Rahwana
sendiri. Kedua mata Wibisana ditusuk dengan Candrasa hingga berdarah
dan buta. Kedua kaki Wibisana di pukul (digebug) dengan
senjata limpung dan berakibat lumpuh tak berdaya. Peristiwa tersebut
menimpa Wibisana, karena menyuruh kakaknya agar mengembalikan
Sinta kepada Sri Rama. Atas kejadian itulah sehingga Wibisana
disebut peran protagonis. Dengan pertolongan Hanuman yang
baru saja membakar habis ALengka, Wibisanan dibawa menghadap
Sri Rama. Setelah berada di hadapan Sri Rama disembuhkan oleh
Sri Rama dan mengabdilah kepada Rama. Seusai Brubuh, dia diangkat
sebagai raja Alengka.
Dalam kitab Mahabharata Pandawa adalah 5 orang bersaudara,
jenis kelamin laki-laki semua. Mereka adalah anak sang prabu
Pandhu yang menikah dengan Dewi Kunthi dan mempunyai tiga putra
yaitu Puntadewa, Wrekodara dan Arjuna. Sedangkan pernikahan
Pandhu dengan Dewi Madrim mempunyai putra dua. yaitu Nakula
dan Sadewa. Pandawa disebut juga Pandhu-hawa atinya Hawanya
Pandhu laki-laki semua dan digolongkan manusia sukerta yang termasuk
menjadi mangsanya sang Kala. Sebagai bukti manusia sukerta,
bahwa hampir setiap waktu mereka diancam, akan dibunuh, dicelakakan,
disengsarakan oleh saudara-saudaranya yaitu para Kurawa.
Jumlah Kurawa yaitu seratus orang dan dibawah asuhan pamannya
yang berpangkat patih, yaitu Raden Patih Harya Sangkuni.
Melihat posisi para Pandawa yang selalu dilanda krisis, dengan pelaku
utama para Kurawa, maka jelaslah ketika Pandawa harus tersangkut
peristiwa perang besar Bharatayuda, mereka berada pada
posisi sebagai tokoh-tokoh yang menjadi peran protagonis.
Salah satu uasaha Kurawa untuk membunuh para Pandawa
yaitu dalam cerita Bale Sigala-gala. Dikisahkan, para Pandawa
juga diasingkan dalam hutan Kanyaka oleh Kurawa selama 12 tahun
dengan perjanjian ditambah satu tahun dalam persembunyian. Apabila
dalam persembunyian nya selama satu tahun itu diketahui oleh
Kurawa maka Pandawa harus kembali ke hutan 12 tahun dan menyelinap
satu tahun. Hal ini sangat dirasakan oleh Pandawa yang
protagonis itu. Mereka selalu berada dalam posisi sengsara, namun
oleh Pandawa sengsara itu digunakan sebagai laku prihatin. Dalam
202
kesengsaraannya mereka harus tetap memberikan pertolongan kepada
siapapun dengan dasar cinta kasih (Asih-tresna) yang tanpa
pamrih. Hebatnya lagi, atas pimpinan Puntadewa si Getih Putih (darah
putih) Pandawa tak boleh sakit hati hingga timbul dendam kesumat.
Di bawah asuhan Raden Patih Harya Sengkuni, Kurawa
yang berjumlah seratus itu ternyata berperilaku sangat rusak dan selalu
menyusahkan orang lain. Mereka suka mabuk-mabukan, berjudi,
madat, dan merasa bahwa dimanja oleh ibu-ayah-paman dan gurunya.
Maka dalam kehidupannya, mereka berperilaku semaunya sendiri
karena merasa dirinya saudaranya raja. Sang Prabu Duryudana
adalah sebagai penguasa dan dalam tata urutan adalah saudara
yang paling tua. Prabu Duryudana selalu membiarkan para adiknya
untuk bertindak nakal dan urakan.
Sebagai sumber pemikiran jahatnya para Kurawa adalah
Sengkuni, yang selalu merekayasa agar para Kurawa mencelakakan
Pandawa. Sengkuni berharap agar Pandawa celaka, tersiksa sampai
mati. Apapun caranya Sengkuni berusaha keras agar Pandawa lenyap
dari dunia ini dengan dalih untuk membuat para Kurawa menemukan
kemuliaan, kesejahteraan dan keselamatan. Harapan Kurawa
yaitu agar Pandawa hancur lebur, dengan begitu Kurawa bebas untuk
menguasai Kerajaan Astina.
Usaha licik yang dilakukan Kurawa terhadap Pandawa di
antaranya adalah mengajak main dadu, membakar bale sigala-gala.
Usaha tersebut merupakan cara paling dahsyat dan paling kejam
bagi hancurnya para Pandawa. Banyak sekali cara yang dilakukan
oleh Sengkuni demi celaka dan sengsaranya Pandawa. Sejak
Pandawa dan Kurawa masih anak-anak sampai Duryudana diangkat
sebagai raja di negara Astina, tanpa henti-hentinya rekayasa jahat
yang dilakukan oleh Sengkuni.
Di sini peran antagonis Kurawa agak khawatir, sebab usaha
rekayasa licik dan jahatnya tidak berhasil. Ternyata Pandawa tidak
mati justru masih hidup dan segar bugar.
Akhirnya tidak ada jalan lain, kecuali perang, yaitu perang
Bharatayuda. Dalam perang besar Bharatayuda, Kurawa habis.
Sengkuni, Duryudana, Drona, Dursasana dan yang lain mati secara
menyedihkan. Sedangkan Pandawa lima masih utuh, hanya para
putra-putra dan para istri yang mati terhormat.
Seperti telah dijelaskan di halaman depan, peran tritagonis
merupakan pihak ketiga yang ikut aktif dalam konflik. Bisa juga keterkaitan
peran tritagonis dalam suatu konflik hanya pada klimaksnya
saja. Karena peran serta kedudukan tritagonis ini cukup beragam,
maka seorang tokoh bisa berperan ganda, misalnya Patih Sengkuni,
yang berperan sebagai pengancam siksa, ia bisa berkedudukan sebagai
peran tritagonis.
203
Prabu Sri Bathara Kresna sering melerai para Pandawa
yang sedang konflik dengan Kurawa, di mana dia adalah peran tritagonis.
Siapapun tokoh, apabila dia melerai, memerangi persengketaan
menjadi alat, penolong, penengah itulah dia si tritagonis. Bisa saja
pendeta, brahmana atau yang lainnya.
Tokoh-tokoh yang tergolong peran deutragonis dalam suatu
lakon biasanya berfungsi sebagai pendukung serta melengkapi perjanjian
yang tentu akan memperjelas permasalahan dalam pendramaan.
Dalam suatu lakon dia akan menjadi sarana logis bagi para
penggemar sehingga memuaskan. Di samping itu si deutragonis dalam
peranannya akan selalu memberikan petunjuk-petunjuk, wawasan
mengarah pada pemberian kekuatan fisik, kebenaran laku serta
wejangan kesabaran.
Adapun tokoh-tokoh yang deutragonis di antaranya adalah:
pendeta, para brahmana, para wasu, para dewa, para panakawan
dan para ibu khususnya Dewi Kunthi. Jadi peran deutagonis dapat
disimpulkan bahwa ia berkedudukan sebagai pendukung-pelengkap
lakon yang memperjelas masalah, sarana logika cerita, dan penasehat.
Demikianlah peran deutragonis yang setiap penampilan
lakon khususnya panakawan, sering tidak harus tersajikan. Sedangkan
para panakawan dalam penokohan ini berkedudukan sebagai
deutragonis, menasehati, melayani, menunjukkan jalan keselamatan
menuju hidup abadi. Peran deutragonis yang lainnya seperti Batara
Guru, Batara Wisnu, Batara Brahma, Bhagawan Bisma dan lainlainnya.
5.2.4 Jenis-jenis Peran Wayang
5.2.4.1 Gagahan
Gagahan Kambeng cirinya jari-jari kedua tangan mengepal
(nggegem), tokohnya Wrekodara dan Anoman. Kedua-duanya merupakan
tokoh-tokoh angin (bayu / wayu) yang sangat sakti, berbudi luhur,
suka menolong, adil dan bijaksana. Seni pewayangan Jawatimuran
Wrekodara disebut Jeksa Lumajang Tengah artinya jaksa
yang adil.
Gagahan Bapang biasanya digambarkan sebagai tokoh
yang bentuk mulutnya meringis (prengesan atau gusen). Hal ini berada
pada tokoh-tokoh seperti Kangsa, Indrajid dan lain-lainnya. Tokoh
ini perwatakannya didominasi keangkaraan. Gagahan-theleng
tokohnya adalah Gathotkaca, Antareja, Antasena, Wrekodara, Suteja,
Duryudana dan sebagainya dengan watak pemberani.
204
Berhala (Brahala)
5.2.4.2 Alusan
Tokoh Alusan kebanyakan didominasi oleh golongan kanan,
seperti Janaka, Puntadewa, Abimanyu, Nakula, Sadewa dan
sebagainya. Ada 2 macam alusan, yaitu alusan putran luruh yang digambarkan
pada tokoh Yudhistira, Janaka, Abimanyu, Irawan dan
sebagainya yang berwatak waspada dan bijaksana.
Alusan putran lanyap berupa bentuk muka yang tengadah.
Putran lanyap ini merupakan tokoh alusan yang laki-laki mempunyai
watak sombong (kemaki, mbagusi), misalnya Suryaputra, Samba,
Wisanggeni, Hariya Suman (Sengkuni muda), Kresna/Narayana dan
sebagainya. Sikapnya yang kemaki itu kadang-kadang membawa
kebijaksanaan.
Alusan putren luruh (liyep), merupakan bentuk mata sempit
agak terpejam tetapi perempuan ini manis dan menunduk melihat ke
bawah (ndhingkluk). Putren ini mempunyai watak hati-hati, dalam
205
berkarya mereka tidak tergesa-gesa. Itulah kemungkinan yang dimaksud
dengan istilah hati-hati asalkan tercapai (Alon-Alon Waton
Kelakon), artinya diperhitungkan dengan menggunakan konsep, hal
itu adalah suatu kebijaksanaan. Tokoh yang liyep ini dimiliki oleh Dewi
Wara Sembadra, Dewi Kunthi, Dewi Sinta, Dewi Sri, Sewi Drupadi.
Mereka ini adalah wanita-wanita yang sangat bijaksana, wanita
setia, dan suci.
Alusan putren lanyap yang berada pada putri biasanya dinyatakan
dalam sikap, gerak, tingkah laku dan ucap (omong). Geraknya
cekatan, trampil, cepat dan trengginas dalam berpikirpun cepat.
Banyak wanita berpikir secara cepat bicara pun cepat dan penuh kehati-
hatian. Ucapan bagi tokoh-tokoh yang putren lanyap ini ada beberapa
kata yang diulang sampai dua tiga kali. Misalnya “wonten
dhawuh-wonten dhawuh”. Mereka yang putren lanyap ini di antaranya
adalah Dewi Wara Srikandhi, Banuwati, Mustakaweni, Rarasati.
5.2.5 Penokohan
Setiap penyajian pertunjukan wayang kulit purwa, sang dalang
sudah mempersiapkan apa yang akan dilakonkan, serta apa
yang akan diceritakan dalam pementasannya. Bisa juga lakon itu karena
atas permintaan penanggap atau penanggap menyerahkan kepada
dalang.
Setelah lakon atau cerita terpilih, maka dalang akan segera
memilih tokoh-tokoh yang diperankan dalam cerita itu. Untuk penokohan
ini, Ki dalang yang sudah faham akan seluk-beluk dan liku-liku
ceritanya, maka ia akan menentukan dua macam pilihan, yaitu peran
dan karakter. Adapun macam-macan peran di antaranya adalah Protagonis,
Antagonis, Tritagonis, Deutragonis, Panakawan. Sedangkan
macam-macam karakter di antaranya adalah Gagahan, Alusan, Putran
luruh, Putran lanyap, Putren luruh, Putren lanyap, Raksasa, Panakawan
Atas terpilihnya kedua unsur penokohan tersebut, seorang dalang
tentu akan terbantu dalam penyajiannya. Satu hal yang tidak boleh
dilupakan dalam penokohan ini adalah tentang wanda (raut muka)
wayang dan bentuk tubuh agar di dalam menggerakkan wayang
tidak menemui kesulitan.
5.2.6 Karakter
Pertunjukan seni pewayangan yang disutradarai oleh seorang
dalang, di dalam penokohan tentu akan memilih juga tokoh
yang berkarakter sesuai isi lakon. Sedangkan karakter yang ada pada
pewayangan terdiri dari beberapa bentuk.
206
5.2.7 Raksasa
Raksasa dalam pewayangan sering disebut buta, denawa,
atau ditya. Para raksasa termasuk golongan Asura. Sebutan Asura
artinya bukan dewa. A artinya bukan, sura artinya dewa. Sebutan denawa
itu keturunan Dewi Danu atau Danunawa, sedangkan ditya
atau buta adalah keturunan Dewi Diti (ditya)
Jadi raksasa yang raut mukanya tidak seperti manusia pada
umumnya, dalam dunia pewayangan Jawa sering dikatakan bukan
manusia. Denawa bentuk raut mukanya tidak berbeda dengan
raksasa, maka denawa disebut raksasa (buta). Demikian juga ditya,
sebagai keturunan dari Dewi Diti, disebut ditya. Wujud tokoh-tokoh
keturunan Dewi Diti sama dengan golongan raksasa, maka mereka
para ditya juga disebut raksasa. Jadi sampai sekarang kata raksasa
menjadi dasanama (sinonim) dari kata denawa, ditya, buta.
Jika melihat gambarnya, maka ciri-ciri golongan raksasa itu
sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu buruk
rupa. Sedangkan ciri-ciri yang lain adalah raut muka serba menakutkan,
hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita),
mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, punya taring panjang, rambut
kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhiwut),
simbar teba, dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa
raksasa itu jahat.
Ada beberapa golongan raksasa, ialah raksasa raja bermahkota
(Buta Raton Makutha), raksasa raja muda (pogog rambut
gimbal), raksasa patih, raksasa prepat/prajurit, raksasa perempuan,
raksasa gecul, dan raksasa berhala. Golongan raksasa-raksasa tersebut
mempunyai kedudukan yang tidak sama.
Raksasa Raja Bermahkota ini tidak diberi nama. Dalam pewayangan
disebut wayang serbaguna (srambahan). Apabila akan diperankan
dan menduduki sebuah negara maka nama negara tersebut
terserah kepada Ki dalang.
Selain raksasa raja bermahkota ada raksasa raja muda.
Setiap penampilannya sebagai raja, pasti peran raja yang masih muda.
Dia selalu menginginkan wanita cantik. Dia pasti jatuh cinta (gandrung)
dan tak akan kesampaian. Bahkan dalam ceritanya sering diakhiri
dengan kematian. Tokoh wayang ini juga dipakai wayang
srambahan. Nama dan kerajaan tokoh ini terserah sang dalang. Tokoh
wayang ini sering dipakai sebagai Patih Sengkapura yang bernama
Patih Suratimantra.
Raksasa patih biasanya dua tangan bercempurit kepala
memakai makutha topong. Tokoh ini biasanya dipakai sebagai patih
di negara Alengka bernama Patih Prahastha. Juga dipakai sebagai
patihnya Prabu Bhoma Narakasura di kerajaan Trajutrisna bernama
Patih Pancatnyana. Tetapi sering disrambahkan oleh dalangnya.
Raksasa Prepat adalah raksasa yang berpangkat tinggi dan
merupakan punggawa terkemuka di kerajaan raksasa. Tokoh wa207
yangnya juga srambahan. Tokoh wayang ini bisa ditampilkan dalam
semua lakon, hanya terserah sang dalang saja. Siapapun namanya
dari kerajaan manapun asalnya, itu terserah Ki dalang. Raksasa prepat
ini sering difungsikan sebagai penjaga hutan atas perintah raja.
Ia tidak sendirian berada di dalam hutan. Ia ditemani tiga orang raksasa
gecul beserta dua orang panakawan Togog dan Bilung (saraita).
Tokoh raksasa prepat itu ada yang menamakan Pragalba yang
artinya harimau.
Tidak semua raksasa dengan jenis kelamin laki-laki, akan
tetapi ada pula yang jenis kelamin perempuan. Tokoh ini dinamai Kenya-
wandu (banci). Ia menjadi pimpinan bagi semua raksasa kerajaan.
Ia juga sebagai inang pengasuh raja. Dalam cerita apapun ia sebagai
patih, sering diberi nama Cantikawerti, dan ada yang memberi
nama Kepet Mega. Dia merupakan prajurit yang sakti, tetapi akhirnya
mati di medan pertempuran.
Sedangkan Raksasa Gecul adalah jenis raksasa tetapi wujudnya
lucu (gecul). Tokoh ini ikut berjaga di hutan. Dia termasuk golongan
raksasa prepat (parepat). Dalam lakon raksasa gecul yang
tergolong prepat hanya sebagai kembangan saja. Jadi dalam sajian
lakon tidak begitu berfungsi. Ia itu ialah raksasa cakil dan buta terong.
Disebut buta cakil karena bertaring di ujung mulut bagian depan
seperti pasak (nyakil). Sedangkan buta terong sama saja dengan
buta cakil, dalam lakon tidak begitu penting. Disebut buta terong
sebab hidung besar bagaikan buah terong. Karena tugas yang
diemban dengan dalih menjaga hutan, tentu kepada setiap yang lewat
itu pasti dicurigai. Terjadilah perang fisik, semua buta itu mati kecuali
Togog dan Bilung.
Untuk tokoh-tokoh tertentu yang bisa berubah wujudnya
menjadi raksasa (triwikrama), maka raksasa jadi-jadian tersebut di
beri nama Raksasa Berhala (Brahala). Contoh Kresna menjadi Kala
Mertiu, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu kalau sedang marah, triwikrama
menjadi Raksasa Bala Serewu.
Adapun tokoh panakawan atau yang disebut abdi pengikut
(pendherek) adalah abdi yang selalu mengikuti tuannya. Dia memang
biasa disuruh (dikongkon) tetapi bukan pesuruh. Dia abdi tetapi
juga sebagai teman (batur artinya pangembat catur), memberikan
petuah, memberikan semangat bagi sang bendara (tuan).
Ki dalang Bambang Sugiyo dari Kabupaten Sidoarjo Jawa
Timur dalam pentas versi Jawatimuran mengatakan bahwa Panakawan,
terdiri dari dua kata pana dan kawan. Pana berarti ngerti, kawan
berarti teman. Jadi makna panakawan adalah teman yang selalu
memberikan pengertian, artinya ia selalu memberikan petunjuk hidup,
memberikan nasehat demi keselamatan sang juragan.
Di manapun ia berada, panakawan ini selalu menyatakan
sebuah karakter laku perbuatan setia kepada sang juragan. Kesetiaan
itu dinyatakan dalam membela, melayani dan membentengi seti208
ap gerak-gerik sang bendara. Tetapi ia juga menasehati dan rela
mengorbankan diri bagi keselamatan sang juragan. Dalam dunia
pewayangan, di setiap negara memerlukan panakawan. Di masamasa
dulu panakawan hanya terdiri dari dua orang. Misalnya dalam
wayang gedhog panji yaitu Jerodeh dan Prasanta, orang Jawa mengatakan
Godheg-Santa. Pada wayang Krucil yaitu Sabdapalon dan
Nayagenggong. Dalam wayang Jawatimuran yaitu Semar dan Bagong.
Panakawan sabrang Jawatimuran yaitu Mujeni dan Mundhu
Dalam wayang purwa (Solo/Yogya) ada 4 tokoh yaitu Semar,
Gareng, Petruk dan Bagong yang paling muda. Dalam wayang
purwa (Banyumasan) ada 4 tokoh yaitu Semar, Bagong, Gareng, Petruk
yang paling muda. Di wayang golek Pasundan ada 4 tokoh yaitu
Semar, Cepot, Udel dan Dawala. Panakawan di negeri sabrang pakeliran
Solo/Yogya ada 2 saja yaitu Togog dan Bilung
Bagi pakeliran Jawatimuran yang berlaku sampai sekarang
ini pada adegan gara-gara panakawannya ada 3 tokoh yaitu Semar,
Bagong dan Besut. Namun begitu gara-gara selesai, hanya Semar-
Bagong saja yang ikut dalam karya mengikuti sang bendara. Sedangkan
Besut disuruh Semar menunggu di rumah Klampis Ireng.
Adapun cerita atau riwayat kelahiran atau terjadinya Bagong
gaya Jawatimuran adalah ketika Sang Hyang Ismaya turun ke
bumi menjelma menjadi Semar orang jelek rupa, untuk mengasuh
para satriya petapabrata (tedak kasutapan), dia lalu diberi sebutan
pamong (momong). Dalam karya-karya selanjutnya Semar membutuhkan
teman. Bayang-bayangnya sendiri lalu dicipta menjadi bentuk
yang hampir mirip dengannya. Kemudian dinamakan Bagong. Ba artinya
bek, gong artinya gedhe. Juga dinamakan Sang Hyang Blado.
Bla adalah belah/sigar, dho artinya loro. Bahwa Bagong terjadi dari
belahannya orang dua. Juga bernama Mangun Hadiwangsa, karena
dia yang mempunyai kewajiban untuk membangun (mangun) agar
wangsa (bangsa) menjadi baik atau adi. Nama lainnya Jamblaita.
Jambla yang berarti bodoh, ita adalah temen (jujur). Ia bodoh tetapi
jujur dan serius.
Sedangkan timbulnya Besut belum lama. Ketika Bagong ke
belakang dalam kondisi yang gelap, dia menginjak tinjanya sendiri
lalu dikipat-kipatkan. Tiga kipatan menjadi 3 orang, dinamakan Besut,
Besel dan Besil, ketiganya menjadi anak Bagong. Yang dipakai
sekarang ini hanya Besutnya saja. Tokoh wayang Besut bentuknya
mirip Bagong tetapi dalam ukuran lebih kecil.
Ada lagi semacam panakawan tetapi perempuan (emban)
ialah Cangik dan Limbuk. Tokoh Cangik dan Limbuk pada masa sebelum
campur sari difungsikan sebagai pelayan permaisuri raja. Sekarang
fungsi itu menipis, tertutup dengan guyon campur sari.
209
5.3 Cerita Perkawinan (Lakon Rabi-rabian atau
krama).
Dalam pertunjukkan wayang Jawa cerita perkawinan atau
lakon rabi-rabian juga disebut lakon Krama. Lakon perkawinan
umumnya terdiri dari beberapa tokoh atau peraga (paraga). Sedangkan
yang terlibat dalam penokohan di antaranya adalah tokoh utama
yang dikawinkan, tokoh kedua yang dikawini, tokoh ketiga adalah tokoh
lain yang ingin mengawini tokoh kedua, tokoh orang tua tokoh
utama, tokoh orang tua tokoh kedua, tokoh lain yang diperlukan.
Judul dalam lakon krama ini biasanya mengambil nama tokoh
utama. Contoh, bila yang menjadi tokoh utama Angkawijaya maka
judulnya Angkawijaya Krama. Bila tokoh utama Janaka atau Parta,
judulnya menjadi Parta Krama. Di kalangan masyarakat atau para
penonton sering menyebut judul dengan susunan kalimat terbalik,
baik disengaja atau tidak disengaja. Misalnya lakon Angkawijaya
Krama, sering diucapkan Rabine Angkawijaya, lakon Parta Krama
sering diucapkan Rabine Janaka atau Janaka Rabi.
Namun demikian, pembalikan judul lakon itu tidak mengakibatkan
berubahnya cerita dan tidak menyurutkan ketenaran judul
yang sebenarnya. Sebab judul itu sudah tersurat dengan tinta hitam
yang tidak mungkin terhapus.
5.3.1 Kerangka Cerita (Balungan Lakon) Angkawijaya
Krama.
Adegan (Jejer) Kerajaan Dwarawati.
Prabu Sri Batara Kresna, di pendapa agung sedang duduk
di atas singgasana kursi gading, menerima kehadiran kakanda prabu
Baladewa raja di kerajaan Mandura, yang diikuti oleh puteranya yang
bernama Raden Walsatha dan Patih Pragota.
Sedangkan yang ikut menghadap dalam pertemuan besar
(pasewakan) di istana raja selain dari kerajaan Mandura adalah para
punggawa kerajaan Dwarawati di antaranya adalah Raden Patih Hariya
Udawa, putera mahkota Raden Jayasamba, dan Raden Harya
Setyaki. Dalam persidangannya, sang prabu Baladewa mengusulkan
pembatalan perkawinan Abimanyu atau Angkawijaya dengan Siti
Sundari putri mahkota Dwarawati. Sri Batara Kresna hanya terserah
saja kepada prabu Baladewa. Akhirnya Raden Walsatha bersama
Raden Jayasamba diutus untuk menyerahkan surat penggagalan
perkawinan Siti Sundari dengan Angkawijaya ke Raden Janaka atas
perintah prabu Baladewa.
Keberangkatan Walsatha dan Jayasamba dari Dwarawati
menjadikan prabu Baladewa menjadi lega. Namun tidak lama kemudian
hadirlah seorang utusan dari Kerajaan Rancang Kencana yang
rajanya bernama prabu Kala Kumara. Utusan yang bernama patih
Kala Rancang menghaturkan surat lamaran . Isi surat tersebut ada210
lah sang Prabu Kala kumara menghendaki Siti Sundari untuk bersedia
menjadi istrinya. Terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian
meningkat dan menjadi adu kekuatan fisik di alun-alun Dwarawati.
Di alun-alun Dwarawati terjadilah perang antara prajurit dari
Mandura melawan prajurit Rancang Kencana. Berkat kekuatan prabu
Baladewa semua prajurit Rancang Kencana mundur ketakutan.
Sri Batara Kresna yang sekembalinya dari kerajaan langsung
bersemedi dibalai semedi (sanggar pamujan), berdoa agar persiapan
perkawinan Siti Sundari yang kurang 5 hari itu bisa berjalan
dengan lancar, dan kiranya Jayasamba dan Walsatha yang diutus ke
kasatriyan Madukara dijauhkan dari mara bahaya.
Jejer Kasatriyan Madukara.
Raden Janaka sedang duduk di atas kursi gading. Dalam
persidangan di Kasatriyan Madukara dihadiri Raden Angkawijaya,
Raden Gathotkaca beserta pada panakawan Semar, Bagong dan
Besut.
Pembicaraan yang diungkapkan adalah mengenai akan
berlangsungnya perkawinan Raden Angkawijaya dengan Siti Sundari
yang waktunya tinggal 5 hari. Belum lama berselang dalam pembicaraan
itu, datanglah Raden Walsatha dan Raden Jayasamba menghadap
serta menghaturkan sembah. Setelah duduk dengan tenang,
maka segera di tanyakan apa keperluannya. Kedua-duanya menjawab
bahwa kehadirannya diutus menyampaikan surat yang dikirim
dari rama Prabu Baladewa untuk Raden Janaka.
Setelah surat dibaca oleh Raden Janaka, marahlah ia, surat
dirobek-robek hingga hancur. Raden Angkawijaya peka terhadap keadaan
tersebut sehingga mengetahui bahwa isi surat itu adalah pembatalan
perkawinannya atas perintah prabu Baladewa. Maka marahlah
Angkawijaya kepada salah satu utusan yaitu Raden Walsatha.
Ditariknya tangan Raden Walsatha dan diseret ke alun-alun sehingga
terjadi perang ramai. Raden Walsatha kalah begitu juga Raden
Jayasamba lari ketakutan lalu kembali ke Dwarawati. Raden Angkawijaya
kembali menghadap ayahanda Raden Janaka. Disitulah Angkawijaya
dimarahi, dianggap seorang pemuda yang tidak pernah prihatin,
pemuda yang membosankan.
Lontaran kata-kata marah itu membuat ruangan bagaikan
terbakar. Semua yang ada dalam pendapa bagaikan bara api. Rasanya
semakin panas saja, sampai-sampai tak tertahankan. Semakin
lama tubuh Raden Janaka gemetar dada berdetak kencang, tangan
kanannya memegang tangkai keris Kyai Pulanggeni ingin segera ditusukkan
pada perut Angkawijaya. Pada saat itu larilah Raden Angkawijaya
terhuyung-huyung meninggalkan pandapa kasatriyan Madukara.
Seketika itu pula keris Kyai Pulanggeni mengacung ke depan,
berdirilah Semar Badranaya di hadapan Janaka sambil berkata:
211
“e..... ayo Janaka mumpung pusakamu Pulanggeni durung
kok wrangkakake, iki lho wetenge Semar enya wrangkakna
neng wetengku kene! ”
Terjemahan :
“he… Janaka ini mumpung keris Pulanggenimu belum kamu
kembalikan ke kerangkanya, mari silahkan tusukkan pada
perut Semar saja!”
Karena kekuatan sabda Sang Batara Semar Ismaya, terjatuhlah
pusaka Pulanggeni dari tangan Janaka menyebabkan timbulnya
kilat berkali-kali dalam pendapa kasatriyan Madukara. Ini semua
justru membuat Janaka lebih marah, marah yang tidak bijaksana.
Maka lebih marah lagi saat sang Batara Semar Ismaya bersabda di
depan Janaka.
“e…. Janaka , yen kowe ngaku wong wicaksana. Yen ana
kedadeyan kaya ngene iki rak digoleki apa sebabe. Ngakumu
wae waskitha. Lho jebul ora krasa yen ta sumbere prakara
iki dudu anakmu, nanging saka bundhele nalarmu bodhone
pikirmu, sing kena pamblithute angkara budi cetha
neng jroning atimu sing mahanani budimu iku dadi budining
wong cupbluk. He Janaka, aku lunga!”
Terjemahan :
“he… Janaka, kalau memang kamu mengaku orang bijak,
jika ada kejadian seperti ini, kamu harus mecari sebab musababnya.
Kamu mengaku sebagai orang yang memiliki
hormat yang tinggi. Tetapi ini semua hanya kesombongan
yang bodoh. Kamu tidak terasa bahwa sumber perkara ini
bukan anakmu, tetapi hanya karena kebodohanmu yang
sampai sombong. Ini semua menyebabkan kemerosotan
budi luhurmu. He.. Janaka, aku pergi!”
Kemarahan Sang Batara Ismaya (Semar) inilah yang membuat
pikiran Raden Janaka bingung bertumpuk-tumpuk (tumpang
tindih) tidak menentu. Akhirnya menyuruh Bagong agar mengikuti
Angkawijaya agar jangan sampai celaka.
Persidangan Madukara dibubarkan, sementara Raden Janaka
langsung masuk ke tempat pemujaan untuk bersemedi mohon
berkah agar senantiasa mendapatkan kemudahan dengan segala
yang dilakukan.
212
Adegan perjalanan Angkawijaya (Abimanyu).
Rasa heran bercampur sedih, bagi sang Angkawijaya. Bertanyalah
dalam hatinya, mengapa justru peristiwa ini menimpa pada
dirinya. Ki lurah Semar dan Bagong Mangundiwangsa sepanjang jalan
mengikuti perjalanan Angkawijaya tak ada lain yang diperbuat
kecuali hanya berdoa untuk sang Bagus. Sampai masuk dalam hutan,
diganggu oleh raksasa dan kemudian terjadi perang. Akan tetapi
raden Angkawijaya mampu membunuh raksasa-raksasa itu. Selanjutnya
perjalanan sampai pada sebuah candi yaitu candi Suta Rengga.
Di situlah ia bersemedi, ditemani panakawan dengan penuh kesetiaan.
Selama bersemedi, Bagong dan Besut bermain, berkelakar
dengan kondisi alam di sekitarnya sambil senyum mengejek (cekikak
cekikik)! Kemudian Semar menginginkan agar tidak berkelakar tetapi
Bagong dan Besut malah semakin keras dalam kelakarnya. Akhirnya
kelakar itu berhenti sendiri, sebab ada suara yang memanggilnya
“Semar, Bagong, Besut mendekatlah kepadaku” dan bertanyalah ketiga-
tiganya “ada apa ndara” (wonten dhawuh ndara). Ternyata Angkawawijaya
masih bersikap semedi, diam tanpa bersuara.
Ada kedengaran suara Angkawijaya memanggil-manggil lagi.
Tetapi para panakawan melihat bendaranya kok masih diam. Besut
yang menoleh ke belakang baru mengerti bahwa kini berhadapan
dengan orang yang sama dengan bendaranya. Tidak berani omong,
Besut kemudian menghitung jumlah mereka sendiri. Suara Besut dalam
hati “tadi empat, sekarang kok lima”
Bagongpun begitu juga “lho… tadi empat sekarang kok lima”.
Demikian juga Semar “ae..ae..ae.. mau mung papat saiki kok
dadi lima … e… lha sijinene sapa?”
Sementara mereka terdiam. Tetapi orang ke-5 yang rupanya
sama dengan Angkawikaja lalu berkata “kakang Semar dan kamu
para panakawan, ketahuilah, bahwa aku ini tuanmu yang lahir
bersama dalam satu hari satu malam dengan Raden Angkawijaya,
namaku Jim Pembayun” (“kakang Semar lan sira para panakawan,
mangertia, aku iki bendaramu sing lair bareng sedina, sing dadi bareng
sewengi, aranku Jim Pembayun”).
Setelah semua saling mengetahui, maka Jim Pembayun
sanggup mempertemukan antara Angkawijaya dengan Siti Sundari.
Maka berangkatlah Angkawijaya menerima ajakan Jim Pembayun.
Atas kuasa Semar, Bagong dan Besut bisa terbang dari
candi Suta Rengga ke tamansari negara Dwarawati. Setelah sampai
di wilayah Negara Dwarawati di tempat yang dekat dengan tamansari,
mereka berlima lalu mendarat. Angkawijaya langsung diajak masuk
tamansari.
Jejer Tamansari Dwarawati.
Dewi Siti Sundari, putri mahkota yang sudah saling mencin213
ta dengan Raden Angkawijaya dengan tiba-tiba perkawinannya digagalkan
oleh prabu Baladewa, maka sedih sekali hati sang Ayu Siti
Sundari. Dalam kesedihan sang dewi tidak mau tidur, tidak mau makan,
tidak mau merawat tubuh. Kedua abdi emban sampai kerepotan
dalam melayaninya.
Datanglah Sri Kresna di tamansari yang sebelumnya telah
mengetuk pintu tamansari terlebih dahulu. Dibukakan pintu tamansari,
maka masuklah Sri Kresna ke tamansari. Sri Kresna duduk di kursi
dan sambil bertanya pada Siti Sundari “apakah kamu masih cinta
dengan Angkawijaya”, begitulah pertanyaan Sri Kresna.
Dewi Siti Sundari menyatakan melalui sikapnya bahwa sekarang
juga ingin bertemu dengan Angkawijaya yang dicintai itu. Seketika
itu juga Sri Kresna lenyap yang ada Raden Angkawijaya dan
Dewi Siti Sundari sedang sama-sama mengungkapan rasa rindu masing-
masing. Sri Kresna juga memberi ijin kepada para panakawan
untuk ikut berada di dalam tamansari.
Tiba-tiba Sri Kresna itu datang dan berteriak “pencuri, pencur”
(“maling…. maling”) tentu saja Semar kaget …. lalu semua masuk
ruang dan tutup pintu. Tetapi lama-lama bahwa Sri Kresna tadi
adalah Jim Pembayun yang di saat itu juga langsung menyelinap
menutupi dirinya.
Adegan di Luar Tamansari.
Raden Jayasamba yang bersama-sama dengan Raden
Harya Setyaki sedang berjaga-jaga untuk mengamankan barang-barang
yang sudah dipersiapkan dalam menyongsong pesta perkawinan
Dewi Siti Sundari dengan putra mahkota kerajaan Astina Raden
Bagus Lasmana Mandrakumara. Dalam hati Raden Jayasamba ada
perasaan aneh dan mencurigakan. Maka Setyaki dan Jayasamba
harus bersikap lebih waspada. Ternyata di dalam tamansari ada
orang laki-laki. Raden Jayasamba lalu berada pada tempat yang lebih
terang. Sambil jalan menunduk, melihat kanan, kiri, dan belakang,
rasa kecurigaannya semakin tinggi untuk situasi pada saat itu.
Raden Jayasamba cepat-cepat menyapa pada bayang-bayang hitam
itu, katanya agak kasar dan keras :
Jayasamba : “He…bengi-bengi wayah ngene Kok ana
swara priya neng tamansari. Sapa? Apa
sing jaga regol?”
Bayangan : ”Hi…inggih kula pun jaga regol”
Jayasamba : “Lho.., kok kaya sing jaga tamansari”
Bayangan : “Inggih kula sing jaga tamansari”
Jayasamba : “Apa kanjeng wa Baladewa”
Bayangan : “Inggih.. kula wa Baladewa”
Jayasamba : “Kok kaya paman Haryo Setiyaki”
Bayangan : “Inggih kula paman Setiyaki”
214
Jayasamba : “Apa Raden Jayasamba?”
Bayangan : “Inggih kula Raden Jayasamba”
Raden Jayasamba menubruk bayangan hitam itu sambil
berteriak “o…maling”. Terjadilah peperangan antara Jayasamba melawan
bayangan itu. Namun betapa kagetnya Jayasamba bahwa
yang dilawan itu, tiba-tiba kok sama persisi dengan dirinya. Ternyata
Jayasamba yang pertama kalah dan larilah ia minta tolong kepada
Harya Setiyaki. Dalam peperangan itu Setiyaki pun juga berperang
melawan Setiyaki. Karena Setiyaki pun dikembari dan perangnya
pun kalah, maka keduanya cepat-cepat lapor ke Prabu Baladewa.
Adegan Kerajaan Dwarawati.
Prabu Sri Batara Kresna bersama-sama kakanda raja Mandura
Prabu Baladewa. Keduanya berbicara tentang perkawinan (daupnya)
Siti Sendari yang atas kehendak Prabu Baladewa akan dijadikan
isterinya Raden Lasmana Mandrakumara. Prabu Sri Batara
Kresna sama sekali tidak merespon pada kehendak Prabu Baladewa.
Namun Baladewa yang sering masih silau dengan barang duniawi
merasa ikut mengangkat Siti Sendari untuk berada di tempat
yang lebih tinggi dari pada kawin dengan Raden Angkawijaya.
Datanglah Raden Samba dan Raden Harya Setiyaki, melaporkan
bahwa di tamansari ada pencuri (duratmaka) yang berani
mengganggu ketenteraman Dwarawati. Dilaporkan juga bahwa pencurinya
sakti bisa berubah-ubah rupa berwujud siapa saja. Pencuri
itu menantang dan mengatakan siapa berani dengannya, terutama
Prabu Baladewa.
Bagaikan dipukul (ditebah) dada Prabu Baladewa, seketika
itu juga meloncatlah Prabu Baladewa ke tamansari untuk menemui si
pencuri. Namun…, begitu sampai di tamansari bertemulah Prabu Baladewa
dengan Prabu Baladewa, yang serupa tanpa ada bedanya
sedikitpun.
Terjadilah perang mulut yang sangat ramai, di mana Prabu
Baladewa yang asli sangat marah sekali, tetapi Prabu Baladewa
yang di tamansari hanya tertawa saja. Baladewa tamansari dipegang
dan dihantamkan ke pohon tetapi hanya diam dan tertawa. Kebalikannya
Baladewa Dwarawati dipegang diangkat oleh Baladewa tamansari
kemudian terus dilepas. Maka tertancaplah ke tanah Baladewa
Dwarawati dan ditertawai oleh Baladewa tamansari.
Prabu Kresna datang ke tempat dimana pencuri itu berada
namun dari kejauhan Prabu Kresna berteriak “hayo… maling, ketanggor
karo kakangku, mesthi mati.” Prabu Baladewa yang tertancap
di tanah merasa dihina, maka berkatalah prabu Baladewa “Iah
ngenyeeek…., aku tulungana dhimas!” Setelah ditolong, Prabu Baladewa
istirahat di Dwarawati. Sedangkan Sri Kresna terbang ke
215
Amarta untuk minta bantuan para Pandawa guna mengusir pencuri
yang ada di tamansari Dwarawati.
Jejer Karajaan Amarta.
Prabu Puntadewa beserta saudara-saudaranya sedang
membicarakan tentang digagalkannya perkawinan ananda Angkawijaya
yang mengakibatkan kemarahan Janaka dan mengusir Angkawijaya.
Hingga kini tak ada yang mengetahui di mana tempat Raden
Angkawijaya. Tidak lama kemudian datang Sri Kresna yang menjelaskan
duduk perkara tentang digagalkanya perkawinan Angkawijaya
dengan Siti Sendari bersumber pada Sri Baladewa.
Atas kehendak Sri Kresna tidak usah diperpanjang perkara
ini. Yang penting kini pencuri di tamansari Dwarawati harus diusir dulu.
Sesudah itu baru perkawinan antara Angkawijaya dengan Siti
Sendari dibicarakan lagi.
Pencuri di tamansari Dwarawati tak bisa dikalahkan oleh siapapun.
Tetapi setelah Arjuna yang maju, pencurinya tidak mau merubah
wujudnya menjadi Arjuna, justru ia lari sambil berkata: “Kalau
saya berani melawan Arjuna , saya akan berdosa.” Seketika itu pencuri
tadi berwujud Jim pembayun, dan kembali ke tubuh Angkawijaya
yang sedang bermesraan dengan Siti Sendari. Sri Baladewa dalam
hal ini tidak berbuat banyak. Malahan menerima tanggung jawab mengusir
orang Astina dan yang lainnya. Perkawinan Angkawijaya dengan
Siti Sendari terlaksana dengan tenang damai meriah tanpa aral
melintang.
Perlu diketahui bahwa pakem di atas adalah pakem pakeliran
Jawatimuran versi Mojokerta-an. Lakon tersebut dibawakan oleh
Ki Dalang Cung Wartanu.
Mengamati lakon rabi-rabian khusus dalam perkawinan keluarga
orang-orang Pandawa, yang satu dengan yang lainnya terasa
hanya satu bentuk. Dalam cerita Angkawijaya Krama dibanding dengan
lakon Gathutkaca Krama dan dibanding lagi dengan lakon Parta
Krama atau dibandingkan lagi dengan Irawan Rabi, dan juga lakon
Antareja Krama, ini terasa hanya satu motif.
Persamaan motif tersebut ada pada nama peraga tokoh
utama yang telah menjadi nama judul lakon. Dan yang namanya peraga
tokoh kedua berada pada kondisi yang diperebutkan oleh tokoh
utama I dan ketiga. Bila tokoh ketiga terdiri lebih dari satu maka
pentas wayang itu akan mengeluarkan wayang yang lebih banyak.
Sedangkan jalan ceritanya hanya perebutan tokoh wanita. Siapa terkuat
akan menikah dengan wanita cantik. Memang setiap cerita perkawinan
pasti diwarnai dengan drama perebutan wanita cantik.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa cerita atau lakon rabi-rabian
sebelum Pandawa sangat banyak modelnya, tetapi motifnya tetap,
yaitu drama berebut wanita, sehingga seolah-olah wanita hanya
sebagai obyek. Untuk itu ada harapan yang ditujukan kepada gene216
rasi penerus agar benar-benar mampu membuat cerita atau lakon
rabi-rabian dalam kemasan-kemasan yang lebih baru dan lebih menarik.
5.3.2 Cerita Kelahiran
Cerita wayang yang paling banyak modelnya adalah lakon
lahir-lahiran. Antara lakon yang satu dengan yang yang lainnya ada
perbadaan laku, berbeda cengkok, atau berliku-liku (wilet) beda. Untuk
itu marilah kita lihat beberapa lakon tentang lahir-lahiran.
5.3.2.1 Angkawijaya lahir
Dalam lakon terungkap beberapa wilet kehidupan yang
aneh-aneh, misalnya seorang raja raksasa bernama Ditya Kala Kurandhani,
di kerajaan Tirtakadhasar yang masih jejaka. Sang prabu
pernah bermimpi bertemu putri yang hitam manis dari Banoncinawi
bernama dewi Wara Sembadra. Sang prabu mempunyai kesaktian
bisa berubah rupa menjadi wanita atau pria lain (mancala putra-mancala
putri). Sang prabu mempunyai adik raksasa wanita (raseksi)
bernama Werdati yang juga pandai berubah rupa. Werdati ini ingin
diperisteri oleh Raden Arjuna. Tanpa banyak kata Werdati langsung
menuju ke Madukara berubah rupa menjadi Sembrada (isteri Arjuna).
Demikian juga prabu Kala Kurandhageni tanpa banyak kata
langsung menuju Madukara berubah rupa menjadi Raden Janaka.
Kebetulan pada saat itu Sembadra diambil kakaknya yaitu
Baladewa. Kehendak Baladewa, sembadra akan dikawinkan dengan
Burisrawa. Sedangkan Raden Arjuna sedang lelana brata (mengembara).
Jadi yang ada di Madukara sekarang adalah Sembadra jelmaan
Werdati yang kumpul serumah dengan Raden Arjuna jelmaan Kala
Kurandhageni. Kini sudah beranak satu laki-laki berwujud bayi raksasa
diberi nama Bambang Senggotho. Bayi raksasa tersebut sangat
nakal. Para panakawan, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong yang punya kewajiban mengasuh (momong) Bambang
Senggotho sangat jijik, karena Bambang Senggotho suka makan hewan
kecil secara hidup-hidup.
Ungkapan kedua, yaitu menceritakan Dewi Wara Sembadra
yang sedang hamil tua lari tunggang langgang dikejar oleh Burisrawa,
karena Burisrawa merasa mendapat ijin dari prabu Baladewa untuk
menikahi Sembadra. Lari ke sana kemari akhirnya sampai di tepi
hutan dan Sembadra ditolong oleh perumput yang bernama si Utan.
Dewi Wara Sembadra diajak pulang ke rumahnya di desa dekat hutan
tersebut. Tiba saatnya lahirlah jabang bayi dari kandungan Sembadra
diberi nama Joko Pengalasan. Ari-ari dari jabang bayi itu dipuja
oleh si Utan, menjadi jejaka (jejoko) gagah berani diberi nama Aribawa
dan dijadikan teman Joko Pengalasan.
217
Tidak lama kemudian datanglah Arjuna, dan si Utan berubah
menjdi Maharsi Wiyasa. Selanjutnya nama Jaka Pengalasan diganti
nama Angkawijaya.
Sembadra ada dua, Arjunapun juga dua. Dari kehendak Sri
Kresna, Arjuna diadu dengan Arjuna sehingga yang palsu kembali ke
ujud semula, menjadi Kala Kurandhageni, dan Sembadra palsu berubah
menjadi raseksi Werdati. Burisrawa yang bingung mencari Sembadra
oleh Kresna diserahkan pada prabu Baladewa.
Demikian liku-liku yang ada dalam lakon Angkawijaya lahir.
Sedangkan liku-liku dalam cerita kelahiran yang lain tentunya akan
berbeda.
5.3.2.2 Wisanggeni Lahir.
Dalam cerita pedalangan, Wisanggeni adalah tokoh pemuda
berparas ganteng. Dia seorang yang pandai bicara, anak yang
cerdik, pemikir dan politikus, tahu sebelum terjadi dan sakti dalam
peperangan. Nama Wisanggeni sering juga disebut Wisa geni. Wisanggeni
adalah putra Batari Dresanala. Batari Dresanala adalah putra
Batara Brama yang menikah dengan Batari Saraswati.
Pada saat mengandung Wisanggeni, Batari Dresanala banyak
mengalami kajadian-kejadian yang sangat menyiksa hidupnya,
misalnya saja di Kahyangan ada kasus yang sangat mengagetkan,
yaitu Batari Dresanala yang sedang hamil tua itu harus dipisahkan
dengan Arjuna sang suami. Raden Arjuna diusir oleh Batara Brama
atas perintah Batara Guru dan harus pergi. Dalam kondisi hamil, Batari
Dresnala dipaksa kawin dengan Prabu Dewasrani.
Setelah bayi lahir, segera dimasukkan ke dalam kawah
Candradimuka, keanehan terjadi. Bayi tidak mati, malah menjadi besar
dan dewasa. Itulah sebanya dia disebut Wisa Geni. Akhirnya semua
kasus di Kahyangan dapat diselesaikan oleh Wisanggeni. Wisanggeni
juga mampu menyingkirkan Dewasrani Putra Durga.
Selanjutnya dengan tersingkirnya Prabu Dewasrani maka
keadaan di Kahyangan tenang kembali. Batari Dresanala kembali
menjdi istri satria Madukara Raden Arjuna. Namun karena sifat-sifat
fisik yang berbeda maka keduanya tidak bisa selalu berdampingan.
Raden Arjuna bersifat wadag, Batari Dresanala bersifat kadewan
(ke-dewa-an).
5.3.2.3 Sena Bungkus (Lakon Bratasena lahir)
Keistimewaan lakon Sena Bungkus ini hanya ada satu peran
utama yang kuat, yaitu tokoh Bungkus. Hampir semua peristiwa,
dan hampir semua tokoh tertuju kepada Sang Bungkus.
Memang ada satu peristiwa yang juga aneh, namun tidak
mendominasi, akan tetapi membawa akibat yang fatal bagi tokoh itu
sendiri. Peristiwa itu ialah ketika Prabu Pandhudewanata menuruti
permintaan sang istri yaitu Dewi Madrim yang sedang hamil muda,
218
ingin (nyidham) naik Lembu Handini milik Batara Guru. Setelah Lembu
Handini diberikan, Prabu Pandhudewanata diperbolehkan menaikinya
di depan Sang Hyang Jagad Giri Nata. Para dewa yang lainnya
menanggapi bahwa sikap Pandhu itu sangat tidak sopan. Akhirnya
Batara Guru mengutuk sikap Pandhu, bahwa dia tidak akan lama
menjabat sebagai raja karena mati muda.
Hal ini masih belum seberapa keistimewaannya dibanding
dengan kelahiran bayi Bungkus dari kandungan Dewi Kunthi Talibrata.
Keistimewaan bayi Bungkus itu ialah semua orang kerabatnya,
para dewa dan pendeta bahkan hewanpun mempunyai tujuan yang
satu, ialah memecah bungkus. Beberapa dewa diberi tugas untuk
mentrapkan pakaian-pakaian kadewan yaitu Pupuk Mas Rineka Jaroting
Asem, Sumping Pudhak Sinumpet, Kelat bau Mas Ceplok Blibar
Manggis, Gelang Candrakirana, Kuku Pancanaka, dan Cecawet
Bang Bintulu serta Paningset Cindhe Binara. Sedangkan Batara Bayu
bertugas ke gunung Herawana untuk menyuruh gajah Sena agar
memecah Bungkus.
Peristiwa lain yang berhubungan dengan Bungkus juga
terjadi yaitu, tentang Begawan Sempani di padhepokan Gitacala di
tepi hutan Banakeling yang masuk wilayah kerajaan Sindhu. Begawan
Sempani menginginkan punya anak. Sebab selama menikah
dengan Dewi Pudyastuti sudah lama tidak dikaruniani putra. Bersemedillah
Bagawan Sampani bersama istrinya dan oleh dewa diberilah
keduanya kulit Bungkus. Setelah mencuci kulit Bungkus lalu direbus
dan airnya diminum Dewi Pudyastuti, maka hamillah sang dewi.
Kehamilan Pudyastuti melahirkan seorang anak diberi nama Jayadrata
atau Tirtanata.
Yang paling penting dalam lakon Bima Bungkus atau Sena
Bungkus adalah bagaimana cara memecah Bungkus. Ternyata atas
petunjuk para dewa dari Kahyangan Suralaya hanya gajah Sena lah
yang mampu memecahkan Bungkus, namun sebelum Bungkus pecah,
para dewa sudah memasang perlengkapan pakaian pada Bungkus.
Maka setelah Bungkus pecah, badannya masih diinjak-injak
gajah Sena, Bungkus marah, gajah ditusuk dengan kuku Pancanaka
hingga mati. Nama gajah Sena dipakai untuk nama si Bungkus. Kini
nama Bungkus menjadi Brata Sena. Nama tersebut adalah pemberian
Batara Narada, karena pecahnya bungkus dari gajah Sena, dan
juga diberi nama Bima artinya prajurit yang kuat.
Batari Uma memberi nama Raden Wrekodara, artinya tinggi
besar, dada lebar, perut kecil. Batara Bayu memberi nama Bayu Suta,
Bayu Wangsa, Bayu Tanaya. Nama-nama tersebut merupakan
tanda bahwa Bungkus telah diangkat menjadi putra Batara Bayu,
dan masih ada lagi nama pemberian Batara bayu yaitu Wayuninda
atau Bayunanda sebab menerima wejangan tentang Prabawa Angin
( kekuatan angin ).
219
5.3.3 Rebut Negara
Seperti lakon wayang pada umumnya bahwa lakon rebut
negara tentu disajikan berupa peperangan yang sengit. Dalam kitab
Mahabharata peperangan itu disebut “Mahabharatayuda” yaitu peperangan
besar antara keluarga Bharata.
Namun ada perang rebut negara yang lingkupnya masih
kecil, belum bisa disebut sebagai perang agung atau maha yuda
atau perang jaya. Dalam peperangan itu masih dalam tingkat rebutan
batas (rebut wates atau rebut kikis). Perang ini tidak atau bukan
tergolong Bharatayuda, sebab memang belum ada yang mati. Perang
rebut batas itu masih terbatas antara keluarga satu dengan keluarga
yang lain. Cerita masih tergolong kitab Asthadasaparwa, tetapi
belum mempengaruhi negara lain atau rumah tangga lain. Perang
itu disebut rebut kikis.
Yang sudah jelas diketahui oleh umum orang Jawa khususnya,
lakon rebut negara yang dinamakan Bharatayuda karang Empu
Sedah dan Empu Panuluh yang menceritakan perangnya wangsa
besar Bharata. Kedua Empu ini menyadur dari Mahabharata karangan
Maharsi Wiyasa (Viyasa, Abhiyasa).
Isi pokok lakon Bharatayuda baik yang masih berupa sumber
Mahabharata maupun yang berupa saduran adalah pertikaian
dua kubu Pandawa dan Kurawa yang berebut negara Hastina peninggalan
leluhurnya. Perebutan negara ini menjadikan salah satu
kubu yang bertikai yaitu pada kubu Kurawa habis dan mati.
Bagi kehidupan masyarakat Jawa yang agraris lakon Bharatayuda
itu nampaknya dianggap kurang pas atau tidak pas atau
bahkan tidak cocok dan tidak boleh disaksikan masyarakat. Maka
setiap ada pertunjukan wayang tidak boleh melakonkan Bharatayuda.
Larangan ini meskipun tidak termasuk undang-undang negara tetapi
ikut di taati dan ditakuti.
Namun pada hari-hari tertentu lakon Bharatayuda dibeberkan
dan di hati masyarakat tidak ada ganjalan apa-apa. Tetapi bila
pembeberan itu disajikan pada hari-hari biasa dalam hati masyarakat
pas ada sesuatu ganjalan yang menghantui.
Ganjalan itu seperti rasa ketakutan, kekhawatiran bahwa lakon
itu berakibat jelek bagi kehidupan masyarakat. Mereka takut
akan hukum alam. Kekhawatirannya jangan-jangan menempuh diri
sendiri. Alasan mengapa masyarakat pada umumnya takut untuk
membeberkan cerita Bharatayuda? Karena dalam kehidupan masyarakat
agraris mengutamakan akan ajaran-ajaran rohani, gotong royong
yang tentunya akan menolak kekerasan, menolak perpecahan,
dan menyukai kerukunan, dalam filsafat Jawa dikatakan rukun menjadi
sentosa (Rukun Agawe Santosa).
Sedangkan isi dari lakon Bharatayuda adalah menggambarkan
peperangan sengit dan sadis, siksa menyiksa, yang kesemuanya
itu tidak sesuai terhadap ajaran-ajaran suci dalam masyara220
kat agraris. Dengan himbauan-himbauan agar tidak terjadi kerusakan
di segala bidang, maka petunjuk-petunjuk untuk tidak melakonkan
Bharatayuda sangat disetujui dan dipatuhi.
Sampai sekarang ini lakon Bharatayuda hanya dibeberkan
pada pentas yang ditanggap oleh masyarakat kolektif. Apabila lakon
Bharatayuda ini disajikan dalam waktu semalam suntuk, maka dari
sekian bagian Bharatayuddha secara utuh harus rampung. Bila lakon
ini disajikan setiap seri maka berawal dari Kresna Duta hingga Duryudana
Gugur. Cerita ini harus disajikan setiap malam selama kurang
lebih 10 hari, yang diantaranya adalah Kresna Duta, Seta Gugur,
Bisma Gugur, Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Karna Tanding,
Salya Gugur, Drona Gugur, Dursasana Gugur, Sengkuni Gugur,
Duryudana Gugur dan ada istilah Ranjapan serta Jambakan.
Yang dimaksud lakon Ranjaban yaitu Abimanyu gugur, sedangkan
Jambakan yaitu Dursasana gugur.
Cerita peperangan yang lainnya masih ada, namun tidak
populer, misalnya perang Gojali Suta. Cerita Bharatayuda Gozali Suta
yaitu perangnya si anak melawan sang bapak, contoh Boma melawan
Kresna dan yang lainnya juga tidak pernah populer.
Adapula lakon perang-perangan yang melibatkan dua negara
yang terjadi pada jaman Ramayana (Jawatimuran Antarayana)
disebut Brubuh. Tetapi pertempuran tersebut tidak sebesar Bharatayuda.
Perang tersebut juga tidak melibatkan negara lain, maka kepopuleran
lakon itu tidak menjadikan akibat buruk bagi masyarakat Jawa,
bahkan lakon Brubuh tidak masuk dalam hati orang Jawa.
Jadi dengan kata lain bahwa lakon Ramayana kurang diminati
dalam hati kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Brubuh itupun
kurang di dengar oleh telinga masyarakat Jawa. Ada dua kitab yang
sangat diminati oleh masyarakat Jawa yaitu Mahabharata dan Bharatayudalah,
sehingga sampai hal-hal yang terkecil sangat dikenal,
diperhatikan dan dipahami. Segala yang diperhatikan dan dipahami
itu sering ditingkatkan, kadangkala menjadi panutan dalam kehidupan,
contoh tentang tokoh Pandawa lima yang menjadi patokan dalam
bersikap serta bicara dalam pergaulan.
5.3.4 Cerita Wahyu
Sesuai dengan ajaran yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat Jawa, bahwa fungsi wahyu adalah sebagai sarana untuk
membangun. Wahyu untuk membangun fisik negara, tata tertib, rumah
tangga, membangun moral, jiwa, rohani, dan budi pekerti. Wahyu
sangat terkait dengan ajaran agama, karena merupakan anugrah
Tuhan kepada umat yang berkenan kepadaNya, dan siapakah umat
yang diperkenankanNya?
Pertanyaan itu dalam tata kehidupan masyarakat Jawa tergambar
melalui pertunjukan wayang dengan lakon Wahyu. Siapa
umat yang akan menjadi pemilik Wahyu, tentu perlu diamati.
221
Ada beberapa contoh lakon Wahyu dalam pewayangan di
antaranya Wahyu Cakraningrat, Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutha
Rama, Wahyu Senapati. Akan tetapi masih banyak lakon atau cerita
wahyu selain ke -4 contoh di atas dan cerita wahyu tersebut dikarang
oleh para dalang sendiri yang judulnya sangat menarik para konsumen,
misalnya Wahyu Pangayoman, Wahyu Pancasila, Wahyu Pancajasmani,
Wahyu Toh Jali dan lain-lainnya.
Empat lakon wahyu tersebut di atas, tidak begitu populer di
kalangan dalang mungkin hanya satu atau dua dalang saja yang mengetahuinya,
apalagi dimata penggemarnya. Empat wahyu ini tidak
bisa terendus penggemar sebab tidak terbukukan. Lagi-lagi sangat
dimungkinkan bahwa penciptaan lakon keempat wahyu ini terasa hanya
sebuah improvisasi, karena memang sedang dalam kondisi model
lakon wahyu maka sulit dikenal. Namun demikian bukan berarti
empat lakon wahyu yang di maksud lebih rendah kwalitasnya. Lakon
wahyu tetap lakon yang bermutu, semua bisa diterima, hanya saja 4
judul wahyu yang terakhir belum dimengerti orang. Mengamati lakon
wahyu pasti menanyakan tokoh mana yang mampu dan bisa memiliki
wahyu dan siapa pula yang berhak ketempatan wahyu itu?
Wahyu bisa diraih hanya dengan sebuah laku yaitu penyerahan
diri kepada yang Maha Kuasa serta tawakal menahan nafsu
(prihatin). Bagi siapa yang ingin meraih tentu dibarengi dengan sebuah
laku nyepi, bersemedi, berpuasa, berbuat baik, suci dan hampirhampir
berperilaku meninggalkan kesenangan dunia fana ini. Itulah
laku yang harus dijalani yang lamanya tidak diketahui orang. Dan patokan
yang terakhir adalah semua yang berkenan dalam kehendak
Sang Hyang Wenang Jagad.
5.3.4.1 Wahyu Cakraningrat
Banyak tokoh ingin meraih dan memiliki wahyu kraton yang
akan diturunkan oleh dewa yang disebut Wahyu Cakraningrat. Menurut
para pujangga, barang siapa memiliki Wahyu Cakaraningrat dialah
yang akan menurunkan raja-raja terkenal. Tokoh-tokoh bangsawan
seperti anak raja, anak satriya, anak patih, sampai anak pendeta,
semua ingin memiliki Wahyu Cakraningrat yang bisa menurunkan
raja besar.
Mereka-mereka itu seperti Raden Lasmana Mandrakumara
putra mahkota kerajaan Astina yang dipersiapkan sebagai pengganti
ramanda Prabu Duryudana. Saingan beratnya adalah Raden Samba
putra mahkota kerajaan Dwarawati anaknya Prabu Sri Batara Kresna.
Sedangkan yang lainnya adalah putra Raden Arjuna yang bernama
Raden Angkawijaya. Dan tentu masih ada seseorang tokoh yang
ingin memiliki wahyu kraton ini. Barang siapa memiliki Wahyu Cakraningrat
maka dialah yang akan menurunkan raja besar. Dalam cerita
Wahyu Cakraningrat sedikitnya ada tiga tokoh yang ingin memiliki
222
wahyu tersebut. Ketiga bangsawan ini termasuk generasi penerus
yang memiliki karakter berbeda-beda.
Para penonton di saat melihat pagelaran wayang dengan
lakon Wahyu Cakraningrat, nampak tertegun pada sajian ki dalang
sejak dari awal. Hal tersebut terbukti saat adegan jejer negara Hastina
sang Prabu Duryudana sedang dihadap para punggawa (nayaka),
dan munculnya putra mahkota Raden Lasmana Mandrakumara
yang sikap dan bicaranya sangat menggelitik hati penonton.
Raden Lasmana Mandrakumara ingin memiliki Wahyu Cakraningrat,
dan dia harus bertapa di hutan Gangga Warayang. Pada
saat ditanya tentang kesanggupannya bertapa di hutan, maka Raden
Lasmana Mandrakumara menjawab sanggup bertapa di hutan tersebut.
Namun dia ingin agar dijaga paman-pamannya, di antaranya
adalah Sengkuni dan Drona. Yang paling penting bagi Lasmana
Mandrakumara adalah membawa minuman dan makanan dengan
tujuan agar tidak kelaparan pada sata bertapa meraih wahyu. Dengan
demikian diri si tapa akan tenang sehingga wahyunya nanti
akan mudah menyatu ke tubuh (manjing sarira), itulah pemikiran para
sesepuh Hastina. Keberangkatannya di antar oleh para punggawa
prajurit berkuda dan Lasmana Mandrakumara naik Joli Jempana yaitu
kereta yang ditarik lebih dari dua ekor kuda.
Lain lagi dengan putra mahkota Dwarawati satriya Parang
Garuda Raden Samba. Dia satriya yang pemberani juga ingin bertapa
di dalam hutan Gangga Warayang untuk meraih Wahyu Cakraningrat.
Kebertangkatannya diantar oleh para senapati sampai di
perbatasan kraton. Selanjutnya berangkat sendiri dengan berjalan
kaki.
Ketika dalam perjalanan, Raden Samba bertemu dengan
orang-orang Kurawa yang juga akan menuju ke hutan Gangga Warayang
guna menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat. Secara persaudaraan
mereka saling bertegur-sapa tetapi setelah mengetahui
keperluan masing-masing, mereka menjadi selisih pendapat. Awalnya
hanya pertengkaran mulut, tetapi akhirnya menjadi pertengkaran
fisik. Karena Raden Samba hanya sendirian maka ia tidak mampu
melawan Kurawa, dan akhirnya menyingkir.
Ada satu kebulatan tekad dalam diri Raden Samba. Walaupun
kalah perang melawan orang-orang Kurawa dari Hastina bukan
berarti harapan untuk memiliki Wahyu Cakraningrat berhenti. Wahyu
Cakraningrat harus bisa diraih dan bisa menjadi miliknya, begitulah
pikiran Raden Samba. Agar tidak bertemu dengan orang Hastina
yang urakan itu maka Raden Samba melanjutkan perjalanan menuju
hutan Gangga Warayang dari sisi lain.
Peristiwa telah terjadi di tempat lain yaitu di tengah hutan.
Ada seorang satriya bernama Raden Abimanyu yang dikeroyok lima
raksasa hutan, dan nampak satriya tersebut agak kewalahan. Kebe223
tulan di angkasa terlihat Raden Gathotkaca yang sedang mencari
Raden Abimanyu atas perintah sang paman Raden Arjuna.
Dari angkasa Raden Gathotkaca telah melihat dengan jelas
kejadian yang menimpa Raden Abimanyu, maka dengan segera dan
cepat-cepat turun untuk membantu Raden Abimanyu. Dalam sekejab
tamatlah riwayat lima raksasa pembegal itu di tangan Raden Gathotkaca.
Setelah beristirahat sejenak, Raden Abimanyu menjelaskan
kepada Raden Gathotkaca, bahwa dia sedang mencari Wahyu Cakraningrat.
Maka Raden Gathotkaca dimohon agar pulang dahulu.
Setelah Raden Gathotkaca pulang maka Raden Abimanyu melanjutkan
perjalanan hingga sampai di suatu gunung yang dijadikan sebagai
tempat bertapa.
Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berada di
tempat yang jauh menanti selesainya Raden Angkawijaya (Abimanyu)
bertapa. Sudah berbulan-bulan belum ada tanda-tanda selesai
bertapa.Tiba-tiba keempat panakawan tersebut di suatu hari waktu
larut malam melihat cahaya sangat terang turun di hutan Gangga
Warayang bagian timur yang disusul dengan suara gunung meletus.
Panakawan bingung, khawatir terhadap tuannya (bendaranya) yaitu
Raden Angkawijaya, jangan-jangan suara tadi mengenainya sehingga
mengakibatkan kematian. Baru saja akan beranjak tiba-tiba para
panakawan mendengar sorak-sorai, yang ternyata adalah orangorang
Kurawa. Mengapa dan ada apa mereka bersorak-sorai? Wahyu
Cakraningrat sudah turun dan berada pada diri Raden Lasmana
Mandrakumara. Para Kurawa langsung mengajak Raden Lasmana
Mandrakumara pulang ke negeri Astina.
Rasa suka cita yang tiada taranya telah dirasakan oleh semua
punggawa Hastina yang dalam hatinya masing-masing merasa
sukses dan berhasil. Para golongan tua di antaranya Drona, dan
Sengkuni merasa berhasil dan sukses mendidik Raden Lasmana
Mandrakumara. Yang muda merasa berhasil memberikan petunjuk
dan arahannya kepada putra mahkota itu dan masing-masing merasa
berjasa. Sehingga semua berkata “kalau tidak ada saya mungkin
gagal untuk mendapat Wahyu Cakraningrat.”
Rombongan Kurawa segera pulang untuk merayakan keberhasilan
Raden Lasmana Mandrakumara. Dalam perjalanan pulang
rombongan Kurawa tidak merasa bahwa perjalanan kembali itu
sudah mendapat separuh perjalanan. Tiba-tiba Raden Lasmana minta
berhenti sebab dia bertemu orang yang berjalan sedang membawa
barang bawaan dan tidak menghormat saat berada di depan Raden
Lasmana Mandrakumara. Maka ditendanglah hingga orang itu
terguling-guling di tanah dan barang bawaannya terlempar jauh serta
hancur berantakan.
Begitu ada kejadian seperti itu maka para punggawa yang
merasa berjasa cepat-cepat ikut marah. Orang tadi terus dipukuli
224
dan ditendang seperti bola. Orang itu hilang berubah menjadi cahaya
dan kemudian masuk ke tubuh Raden Lasmana Mandrakumara dan
keluar lagi bersama Wahyu Cakraningrat. Seketika itu jatuhlah Raden
Lasmana Mandrakumara hingga pingsan. Mereka bersama-sama
lari mengejar Wahyu Cakraningrat dan saling mendahului. Raden
Lasmana Mandrakumara ditinggal sendirian di tempat itu.
Sejenak peristiwa itu berlalu, terlihatlah dua cahaya dari
angkasa turun di hutan Gangga Warayang di bagian sebelah barat.
Tidak lama kemudian Raden Samba yang bersemedi di tempat tersebut
merasa bahwa dirinya sudah bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat.
Dia sangat bangga bahwa dengan kekuatan sendiri bisa
mendapatkan wahyu tersebut. Maka berangkatlah Raden Samba
pulang ke Dwarawati dengan hati yang sombong karena Wahyu Cakraningrat
sudah berada pada dirinya. Tiba-tiba Kurawa mengejar
dan meminta wahyu yang sudah berada pada diri Samba. Sudah barang
tentu Raden Samba tidak memperbolehkan. Terjadilah peperangan
yang sengit.
Ternyata tidak ada yang bisa melawan kekuatan Raden
Samba. Mereka lari tunggang langgang dan tidak ada lagi yang berani
berhadapan dengan Raden Samba. Dengan larinya para Kurawa
itu berarti mereka telah kalah dan tidak akan berani lagi mengganggu
perjalanan Raden Samba. Demikianlah Raden Samba merasa
dirinya paling kuat dan sakti mandraguna. Dia berani mengatakan
”akulah segalanya.” Bahkan Raden Samba telah berani mengukuhkan
”Akulah orang yang akan menurunkan Raja-raja Jawa, dan sangat
mungkin aku akan menjadi Raja Dunia, menjadi Rajanya Raja.”
Sesudah melontarkan kata-kata itu, dia lalu terdiam sejenak,
dia seperti mendengarkan lengkingan kata-kata sang ibu dewi
Jembawati ”Anakku ngger Samba, eling den eling ngati-ati marang
sakehing panggoda. Eling-elingen ya ngger ya!” (anakku Samba,
ingat dan hati-hatilah terhadap semua godaan, ingatlah angger).
Dasar Samba anak yang congkak dan sombong, kata-kata
ibunya itu selalu diingat tetapi tidak diperhatikan. Dalam hati kecil
Raden Samba berkata ”namanya orang kuat karena mendapat wahyu
maka tak ada yang mampu mengganggu, contohnya Kurawa tak
akan mampu mengalahkanku ha..ha..ha…” demikian kata-kata sombong
Raden Samba.
Sejenak kesombongan Raden Samba sedang bertahta dalam
singgahsana hatinya. Seketika itu juga nampak di matanya seorang
perempuan bersama seorang laki-laki tua. Si perempuan itu
masih muda, cantik berkulit kuning langsap, bermata juling. Mereka
menghaturkan sembah kepada Raden Samba. Dan tentu Raden
Samba sangat rela untuk menerima sembahnya. Keduanya ingin
mengabdi kepadanya. Itulah keperluan mereka berdua, mengapa keduanya
menghadap ke sang penerima Wahyu Cakraningrat. Seketika
itu juga Raden Samba berkenan untuk menerimanya tetapi si laki225
laki ditolak dengan alasan sudah tua dan dipastikan tidak mampu bekerja,
justru akan membuat kesal saja. Dengan hinaan itu menyingkirlah
orang tua tersebut. Tentu saja si perempuan cantik itu mengikuti
jejak si tua. Tetapi Raden Samba telah mengejarnya, sambil merayu
si perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Mundhiasih.
Jawab Mundhiasih sambil melontarkan kemarahan atas ketidak
adilan serta tidak adanya rasa belas kasih terhadap orang tua, hanya
perempuan saja yang dikejar-kejar. Endang Mundhiasih berkata
“Wahyu Cakraningratmu tidak pantas untuk menghujat”. Ternyata
Mundhiasih dan orang laki-laki tua itu kemudian hilang bersamaan
dengan sinar Wahyu Cakraningrat pergi meninggalkan Raden Samba.
Seketika itu badan raden Samba terasa lemas bagaikan orang
tak berpengharapan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Bukan
main rasa kecewa Raden Samba terhadap watak sombong dan
congkaknya ketika merasa wahyunya sudah pergi. Wahyu Cakraningrat
tidak kuat menempati rumah (tubuh) yang congkak dan sombong.
Akhirnya Raden Samba menyadari bahwa Wahyu Cakraningrat
bukanlah miliknya. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur maka
pulanglah Raden Samba ke Kadipaten Parang Garuda di negara
Dwarawati.
Di tempat lain, di sebelah selatan hutan Gangga Warayang,
terlihat empat panakawan seperti biasa masih menanti selesainya tapa
sang bendara. Pekerjaan seperti ini sudah terbiasa dilakukan oleh
para panakawan sejak jaman Maharesi Manumayasa.
Namun pada malam hari mereka berempat merasa seperti
ada bayangan hitam berada tepat di tengah-tengah mereka. Bayangan
tersebut sambil berkata ”Jawata bakal marengake dheweke nampa
Wahyu Cakraningrat ”. (Dewata memperkenankan dia untuk menerima
Wahyu Cakraningrat)
Demikian para panakawan bergembira ria karena bendaranya
telah mendapatkan apa yang didiinginkan. Dan benar, Raden
Angkawijaya telah keluar dari pertapaannya. Wajahnya kelihatan cerah
bersinar, tubuhnya nampak segar utuh tanpa cela. Memang itulah
tubuh yang telah berisi wahyu. Maka berangkatlah pulang dan
mereka memperhitungkan bahwa apa yang diidamkan telah terlaksana
dan selesailah.
Tiba-tiba datang para Kurawa mengejar Raden Angkawijaya
yang telah mendapat Wahyu Cakraningrat. Para Kurawa mengejar
Raden Abimanyu karena ingin merebut Wahyu Cakraningrat dan
ternyata para Kurawa tidak mampu mengejarnya hingga Raden Angkawijaya
sudah sampai di istana Amarta yang pada saat itu di Amarta
sedang ada rapat rutin (siniwaka). Mereka semuanya bersyukur
karena apa yang diinginkan Angkawijaya telah menjadi kenyataan.
Dan Angkawijaya-ah kelak yang akan menurunkan raja-raja di Jawa.
Tak lama kemudian terdengar suara ramai di luar yang ternyata
orang-orang Kurawa yang merasa bahwa Wahyu Cakraningrat
226
sudah menjadi milik Raden Lasmana Mandrakumara, maka mereka
menginginkan agar Wahyu Cakraningrat di kembalikan kepada Raden
Lasmana Mandrakumara. Peperangan antara Kurawa dengan
Pandawa tak bisa dihindarkan. Namun tak ada si jahat dapat mengalahkan
kebaikan.
5.3.4.2 Wahyu Purbasejati
Bila wahyu berupa anugerah dari Sang Hyang Maha Wenang,
maka perlu dijelaskan bahwa kata Purba artinya kuasa dan sejati
berarti yang sesungguhnya. Jadi Wahyu Purbasejati berarti anugerah
tentang kuasa yang sesungguhnya. Siapa yang mendapatkannya?
Jawabannya adalah sama dengan yang mendapatkan wahyu
pada cerita-cerita tentang pewahyuan, yaitu seorang yang bhaktinya
tinggi, mau melakukan prihatin, bersih hatinya, berusaha mengatasi
nafsu jahat yang ada pada dirinya. Lalu dalam cerita Wahyu Purbasejati
ini siapa yang mendapatkannya? Marilah kita simak!
Di alam penantian (pangrantunan) yang disebut Swarga
Pangrantunan dikuasai oleh Prabu Dasasukma yang juga jejuluk
Prabu Godhayitma atau Prabu Dasakumara. Prabu Dasakumara sedang
dihadap oleh semua punggawa (narapraja) lengkap yang terdiri
dari sukma-sukma orang Alengka. Dan pada saat itu, meskipun dalam
kondisi berwujud sukma, sang Dasakumara masih menghendaki
untuk memperisteri jelmaan Batari Sri Widowati yang telah menjelma
pada diri Dewi Wara Sembadra isteri Raden Arjuna.
Dewi Wara Sembadra sedang berada di Dwarawati sebab
ditinggal pergi suaminya. Raden Arjuna pergi untuk mencari, dan
ingin mendapatkan Wahyu Purbasejati yang akan turun di Gunung
Jamurdwipa seperti yang diwangsitkan oleh Dewa Hyang Maha
Agung. Namun wangsit tentang akan turunnya Wahyu Purbasejati juga
didengar oleh umat manusia dari segala penjuru dunia, sehingga
pada malam-malam penentuan di bukit Jamurdwipa banyak orang
mengharapkan untuk mendapatkan wahyu Purbasejati.Tidak ketinggalan
orang-orang Kurawa juga ikut hadir untuk mengharap turunnya
Wahyu Purbasejati demi kesejatian Prabu Duryudana sebagai raja di
negara Astina.
Dengan kehadiran Raden Arjuna di malam menjelang turunnya
wahyu di bukit Jamurdwipa, sekian ribu orang itu semua tertidur
dengan pulas sehingga kedatangan Wahyu Purbasejati hanya
masuk pada diri Arjuna. Dalam kondisi yang tenang itu, tiba-tiba datanglah
Wrekodara yang mencari Arjuna. Setelah bertemu diajak pulang
ke negara Amarta.
Sampai di Amarta diberitahu bahwa Sembadra dibawa ke
Dwarawati dan kini dicuri oleh maling (duratmaka) yang sekarang ini
sedang dicari.Tanpa pikir panjang Arjuna terbang ke Dwarawati.
Sampai di Dwarawati kebetulan bersamaan dengan datangnya Anoman
yang sudah membawa Sembadra kembali. Selanjutnya Ano227
man menceritakan, bahwa atas keserakahan Kumara Dasamuka
yang kini berada di alam Pangrantunan menginginkan Batari Widowati
yang menjelma pada diri Sembadra. Sembadra dicuri oleh Raden
Begayitma dimasukkan ke kancing gelung. Anoman mengetahui
dan mengejar Raden Begayitma. Kemudian Anoman masuk ke dalam
kancing-gelung Raden Begayitma (sukma Indrijid) mengambil
Sembadra dan dimasukkan dalam kancing gelungnya. Anoman terus
mengikuti Begayitma kembali pulang ke alam Pangrantunan. Setelah
Begayitma bertemu Godhayitma, kemudian Godhayitma dipersilahkan
untuk menemui Dewi Wara Sembadra. Karena keinginannya
bertemu amat sangat tidak bisa ditunda lagi, maka Prabu Godhayitma
langsung manjing di kancing gelung untuk mengambil Sembadra.
Tetapi…, ternyata bukannya bertemu Sembadra melainkan bertemu
dengan Wanara Seta atau Anoman, yang langsung menggigit telinga
Dasakumara hingga teriak-teriak kesakitan dan menyatakan tidak
akan mengganggu lagi.
5.3.4.3 Wahyu Makutha Rama
Di kaki sebuah gunung yang disebut Wukir Kutha Runggu
terlihat debu bertebaran karena tanah yang jarang terkena siraman
air hujan. Di musim kemarau yang berkepanjangan dan suhu yang
sangat panas itu, bisa mempengaruhi nafsu manusia juga gampang
memanas. Dan ketika itu, di tengah-tengah tebaran debu lamatlamat
terlihat beberapa sosok manusia yang beradu jotos. Lama sekali
adu jotos itu, mungkin karena sama kuatnya. Tetapi semakin lama
semakin nyata dan jelas sekali bahwa kelompok yang bertikai itu
adalah orang-orang Hastina melawan Anoman, mantan prajurit dari
Ayodya, yang kini menjadi siswanya Bagawan Resi Kesawa Sidhi.
Pertapan Wukir Kutha Runggu adalah tempat sanggar
Sang Resi Begawan Kesawa Sidhi yang saat ini atas perintah Hyang
Dewa Agung untuk menempati sebuah sanggar dan diperkenankan
mengajar tentang jalan kebenaran sambil merazia kepada siapa saja
yang mau naik ke Wukir Kutha Runggu. Terjadinya adu jotos antara
orang-orang Kurawa dengan Anoman di antaranya disebabkan oleh
para Kurawa yang memaksa ingin masuk ke wilayah pertapaan Wukir
Kutha Runggu.
Anoman adalah satu-satunya kelompok bayu yang harus
bertugas mengusir mereka. Seorang Adipati Karna ketika melawan
Anoman tak mampu mengalahkannya, sehingga ia harus melepaskan
panah ampuhnya yaitu Kuntawijayandanu. Melihat situasi yang
kurang pas itu, Anoman siap untuk menyambar panah Kunta Wijayandanu.
Dan ketika terlihat perjalanan panah itu telah berada di
sampingnya, dengan secepat kilat panah itu ditangkapnya. Sekejap
setelah melepaskan senjata Kunta Wijayandanunya dan Adipati Karna
tahu bahwa Anoman tidak mati, maka heran dan terkejutlah ia,
sehingga jatuh pingsan Adipati Karna. Sedangkan Anoman yang me228
rasa menang dan mampu menangkap senjata Kunta Wijayandanu
cepat-cepat lapor kepada gurunya yaitu Sang Kesawa Sidhi. Tentu
Anoman berpikir bahwa sang guru pasti berkenan kepadanya oleh
keberhasilan karya dalam kemenangan itu. Setelah bukti kemenangan
itu ditunjukkan, ternyata sang guru menganggap apa yang dilakukan
Anoman melawan Adipati Karna itu tidak memperlihatkan karya
suci siswa sanggar Kutha Runggu. Anoman menjadi bingung ”Apa
lagi kesalahanku?”, pikirnya. Sedang dalam kebingungan, Anoman
dipaksa oleh Begawan Kesawa Sidhi harus mengembalikan panah
Kunta Wijayandanu kepada pemiliknya. Anoman pun sanggup, dan
berangkatlah Anoman menemui Adipati Karna. Sampai di salah satu
perempatan jalan Anoman menjadi bingung tidak tahu mana arah
selatan, utara, timur dan barat. Di seluruh tempat yang didatangi
Anoman pasti dikerumuni kabut (pedut) akhirnya Anoman berhenti di
sembarang tempat. Ketika belum lama berhenti, tiba-tiba dikagetkan
oleh suara angin ribut yang membersihkan pedut tersebut. Begitu suara
angin berhenti, pedut hilang dan udara menjadi terang. Anoman
terpental jatuh karena Wrekodara turun (anjlog) di tempat dia berhenti.
Anoman marah dan menyalahkan Wrekodara. Tentu saja Wrekodara
pun tidak mau disalahkan. Terjadilah selisih paham dan pertengkaran
yang dimulai dari mulut hingga menjadi adu fisik dengan
sama-sama kuat dan sama-sama sakti.
Dalam lakon wahyu Makutha Rama, memang kedua tokoh
ini belum saling mengenal. Baru sekali itu mereka bertemu. Maka
dalam adu jotos tak ada yang mau kalah. Segala kesaktian yang dimiliki
dikeluarkan. Lama mereka berperang tanpa henti, semua kesaktian
sudah dikeluarkan hanya aji-aji yang masih mereka miliki.
Sekali dua kali ajian-ajian dari kedua belah pihak dipamerkan. Satu
sama lainnya tak ada yang takut, tak ada yang khawatir dan tak ada
yang mau mundur. Nampaknya setelah terasa capek baru mereka
berhenti, sepertinya saling memberi ijin untuk beristirahat barang sejenak.
Setelah selesai beristirahat maka mereka bangkit, maksudnya
ingin jotosan lagi. Tetapi Anoman berkata ” mengko disik, mengko disik
“ ( “Sebentar, sebentar “) yang tentu saja Wrekodara juga tidak
meneruskan perkelahian.
Akhirnya dengan melihat cara berpakaian yang sama itu
mereka menjadi saling mengetahui bahwa kedua-duanya adalah
saudara tunggal bayu. Mereka sama-sama anak angkat Hyang Batara
Bayu (Dewa Angin). Sudah barang tentu mereka saling memaafkan
dan berjanji akan selalu saling membantu di dalam karya-mulianya
yang memayu hayuning bawana.
Selanjutnya mereka berdua saling menjelaskan tujuannya
masing-masing. Anoman menerangkan bahwa ia disuruh oleh Sang
Begawan Kesawa Sidhi untuk mengembalikan panah (jemparing)
Kunta Wijayandanu kepada Adipati Karna raja Angga (Awangga).
Sedangkan Wrekodara disuruh kakaknya yaitu raja Amarta untuk
229
mencari adiknya yang bernama Arjuna. Belum lama mereka berdiskusi
datanglah Prabu Baladewa. Kedatangannya atas bisikan Sang
Hyang Dewa Agung untuk bersama-sama Arjuna ke puncak Wukir
Kutha Runggu. Kemudian Anoman mengantar Sang Baladewa ke
puncak Wukir Kutha Runggu. Wrekodara pun ke puncak dengan harapan
bisa bertemu dengan orang yang dicarinya, yaitu Raden Premadi
atau Raden Arjuna.
Dengan melalui ijin Begawan Kesawa Sidhi, Prabu Baladewa
bersama Wrekodara langsung naik ke puncak Wukir Kutha Runggu.
Anehnya Prabu Baladewa pada saat berada di puncak dia lalu
bersemedi dengan bersungguh-sungguh.
Raden Wrekodara yang kemudian hanya tinggal sendirian
merasakan dunia pada saat itu menjadi gelap dan dingin, sehingga
situasi dan kondisinya sangat menakutkan. Raden Wrekodara terjatuh
dan pingsan.
Namun tiba-tiba turunlah dari angkasa cahaya terang menyinari
puncka Wukir Kutha Runggu. Cahaya itu pecah menjadi dua,
yang satu masuk (manjing) pada seorang satriya yang telah bersemedi
terlebih dulu. Sedangkan yang satu berbentuk mahkota jatuh
pada pangkuan Prabu Baladewa.
Dengan peristiwa aneh itu turunlah Raden Arjuna dari atas
dan langsung membangunkan kakaknya. Raden Wrekodara segera
bangun sembari menutup mata karena silau terkena cahaya Raden
Arjuna yang baru saja turun dari puncak yang paling atas. Kemudian
cepat-cepatlah ia memberitahu kepada kakaknya itu, bahwa dirinya
adalah Arjuna. Selanjutnya dijelaskan bahwa baru saja dirinya menerima
wahyu Makutha Rama.
Pada waktu itu Prabu Baladewa juga menceritakan bahwa
dirinya juga mendapatkan wangsit untuk mengharap wahyu itu. Ternyata
dirinya juga mendapatkan meskipun hanya fisiknya saja. Kemudian
Arjuna, Wrekodara, dan Baladewa turun ke pertapaan Kutha
Runggu, maksudnya menemui Begawan Kesawa Sidhi tetapi sudah
tak ada, yang ada adalah Sri Batara Kresna.
Sebagaimana akhir dalam lakon wahyu Makutha Rama, Arjuna,
Kresna, Baladewa, Wrekodara dipaksa oleh orang-orang Kurawa
agar menyerahkan wahyu Makutha Rama. Maka terjadilah perang
akhir, di mana orang Kurawa kalah lari terbirit-birit kembali ke
Hastina. Anoman pun sudah mengembalikan senjata Kunta Wijayandanu
kepada Adipati Karna.
5.3.4.4 Wahyu Senapati
Boma merasa menjadi putra Batara Kresna raja di kerajaan
Dwarawati. Dia memohon kepada ayahnya yang adalah titisan Batara
Wisnu, agar Wahyu Senapati dapat dimilikinya. Tetapi bagaimanapun
itu bukan kewajiban Kresna (Wisnu), maka ia tidak sanggup.
230
Boma raja di kerajaan Trajutrisna itu tetap merayu dan mendesak
agar Wahyu Senapati bisa dipegang dan dimilikinya.
Karena bujuk rayu Boma maka Sri Kresna terpaksa menyanggupi
untuk mengusahakan. Tetapi wahyu itu merupakan kepastian
Sang Hyang Wenang Jagad, dan si orang yang menginginkanya
tentu harus melakukan prihatin, suci, berbuat adil, tidak jahat
dan suka menolong.
Nah.., apakah Boma memenuhi sayarat bagi ketentuan laku
itu? Maka nekatlah Boma menuju ke hutan di tempat Sang Gathotkaca
bertapa.
Dikisahkan pula tentang Raden Antareja yang mengamuk,
karena ingin membunuh adiknya yaitu Gathotkaca. Keinginan Raden
Antareja tersebut karena hasutan Patih Sengkuni. Patih Sengkuni
menyatakan bahwa Antareja-lah yang punya hak untuk menjadi senapati
bukan Gathotkaca. Oleh sebab itu hanya Antareja yang pantas
mendapatkan dan memiliki Wahyu Senapati.
Terjadilah peperangan antara Antareja dengan Gathotkaca.
Namun sekalipun Gathotkaca tak akan membalas. Semar melerai
dan menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Akhirnya Wahyu
Senapati menjadi milik Gathotkaca.
5.3.5 Ruwatan
Ruwatan di Jawa, sampai kini masih berlaku. Ruwatan ini
berupa sebuah upacara penghapusan dosa, penyakit, kotoran (sukerta)
dan lain sebagainya dengan menggunakan medium wayang.
Sebenarnya ruwatan merupakan hasil perubahan upacara
tradisional keagamaan Jawa pada jaman Syamanisme. Upacara ini
dilakukan sejak masyarakat Jawa mengenal faham Animisme dan
Dinamisme sekitar tahun 1500 S. M.
Kehadiran agama Hindu di Jawa sangat mempengaruhi budaya
tradisional yang berbentuk upacara wayang di jaman Batu Muda
(halus/Neolitikum), sedangkan wayangnya hanya satu terbuat dari
batu dan dipimpin oleh seorang perantara yaitu Syaman.
Kini upacara wayang batu itu telah berubah dan berkembang
menjadi sebuah upacara wayang yang disebut Ruwatan, sedangkan
alatnya masih tetap menggunakan wayang, namun bukan
dari batu melainkan dari kulit hewan. Selain itu jumlah tokohnya pun
juga berkembang bertambah banyak. Upacara wayang ruwatan yang
masih berjalan sampai saat ini (di Jawa) dengan menggunakan cerita
atau lakon Murwakala (menguasai setan/menguasai dosa).
Maksud dan tujuan Murwakala yaitu keinginan akan sirnanya
kala sukerta yang dimiliki setiap orang. Oleh karena itu melalui
upacara Wayang Ruwatan ini ada beberapa materi yang harus dipersiapkan,
yaitu Janma Sukerta (yang diruwat), Dalang Kandhabhuwana,
Peralatan wayang, gamelan, saji-sajian.
231
Bila ketiga-tiganya telah ada, tentu orang tua janma sukerta
yaitu bapak dan ibu akan menentukan hari penyelenggaraan upacara
wayang ruwatan, yang biasa dilaksanakan pada waktu siang hari
oleh seorang dalang yang umumnya disebut dalang Kandhabhuwana
atau juru ruwat. Sebelum upacara wayang ruwatan diuraikan lebih
lanjut, terlebih dulu perlu diterangkan tentang ketiga materi di
atas agar dapat dipahami.
5.3.5.1 Juru Ruwat
Sebagai materi yang kedua adalah seorang dalang memiliki
sebutan Kandhabhuwana. Ia yang akan melakonkan atau menceritakan
ruwatan sebagai apa yang dimaksud oleh si penanggap. Ia seorang
dalang yang akan mengkandhakan tentang ruwatan agar para
penanggap, anak yang diruwat beserta para penonton menjadi jelas
dan gamblang dalam memahami lakon.
Mengapa harus dalang Kandhabhuwana? Sebelum berlanjut,
perlu dipahami dulu tentang arti daripada kata-kata Dalang, Kandha
dan Bhuwana. Dalang adalah seorang empu, pakar, ahli lakon,
Kandha berarti omong, crita (bertutur), Bhuwana berarti jagad/dunia.
Jadi Dalang Kandhabhuwana adalah seorang empu atau pakar yang
sangat ahli bertutur (ajaran) tentang dunia yaitu hakikat kehidupan.
Jadi pertanyaanya “mengapa harus dalang Kandhabhuwana” sudah
terjawab, sebab hanya dalang Kandhabhuwana-lah yang ahli bertutur
tentang hakikat kehidupan. Namun demikian masih saja ada pertanyaan
tentang siapa dalang Kandhabhuwana itu? Nama Kandhabhuwana
memang sebuah nama yang tidak terang-terangan nama
yang disembunyikan (Nami Singlon),
Dikisahkan bahwa Kehadiran Hyang Narada di padepokan
Nguntaralaya bertemu dengan Wisnu dan Brahma. Dia memberitahu
kepada mereka berdua, bahwa permintaan makanan Batara Kala,
semua dikabulkan. “Sekarang anda berdua dengan saya, atas perintah
Hyang Jagad Giri Nata harus turun ke dunia.”
Ketiganya tidak menolak tugas itu, kemudian mereka turun
ke dunia dengan berganti wujud, Batara Narada berubah menjadi seorang
tukang kendang Kalunglungan. Batara Brahma berubah menjadi
seorang perempuan bertugas sebagai tukang gender bernama
Penggender Seruni. Hyang Wisnu berubah menjadi seorang dalang
bernama Dalang Kandhabhuwana.
Batara Wisnu yang tugas kesehariannya memelihara jagad
atau memelihara dunia atau juga memelihara kehidupan, sangat tepat
sekali bila dalam memantau kegiatan Batara Kala, berwujud seorang
dalang Pangruwatan. Batara Wisnu-lah yang memiliki kuasa
dalam pengaturan khusus bagi peruwatan kehidupan sukerta dan diharapkan
akan membuahkan keselamatan.
Setiap ruwat bagi seorang manusia, Dalang Kandhabhuwana
tidak lupa untuk sekaligus memberikan wejangan kepada orang
232
itu, sehingga benar-benar manusia sukerta itu akan mendapatkan
keselamatan lahir-batin. Dalang Kandhabhuwana-lah yang membebaskan
dunia ini dari cengkeraman Batara Kala (setan/dosa).
5.3.5.2 Janma Sukerta
Janma sukerta, merupakan unsur yang utama dalam upacara
ruwatan ini. Ia adalah sasaran yang harus diruwat oleh seorang
juru ruwat yaitu dibersihkan dari segala sukerta yang dideritanya. Bagi
sang juru ruwat (dalang) janma sukerta adalah penderita.
Banyak macamnya janma sukerta dalam ruwatan, yaitu Ontang-
anting yaitu anak tunggal lelaki tanpa saudara, Unting-unting
yaitu anak tunggal perempuan, Uger-uger lawang yaitu dua anak lelaki
semua, Kembang sepasang artinya dua anak putri semua Kedhana-
kedhini artinya dua anak laki-perempuan, Kedhini kedhana
artinya dua anak perempuan-laki-laki, Pandawa artinya lima anak
laki semua, Pandhawi/ngayoni artinya lima anak perempuan semua,
Sendhang kapit pancuran artinya tiga anak, puteri di tengah, Pancuran
kapit sendhang artinya tiga anak, laki di tengah, Madangake artinya
lima anak 4 laki satu putri, Apil-apil artinya lima anak 4 putri satu
laki-laki, Bathang ngucap artinya bila ada seorang diri berjalan di siang
hari bolong tanpa sumping daun-daunan dan tidak berbicara,
Ontang-anting lumunting artinya lahir tanpa ari-ari atau lahir terbelit
usus atau lahir bule atau lahir tidak seperti umumnya.
Ada syarat bagi Batara Kala dari Sang Batara Guru, yaitu
bila Batara Kala makan mangsanya itu, maka mangsa itu harus dibunuh
dengan senjata tajam (gaman) seperti pedang lebih dahulu, kemudian
baru dimakan. Batara Penyarikan akan selalu mencatat semua
manusia (janma) anak sukerta yang dimakan dan juga akan selalu
mengikuti jejak Kala. Bila tidak sesuai dengan catatan Dewa Penyarikan,
maka Kala akan mendapat marah besar dari Batara Guru
dan akan sengsara hidupnya.
Dengan ketentuan seperti itu, maka Batari Uma (isteri Guru)
menambahkan, yaitu Anak tiba sampir, bila seorang anak lahir
bersamaan seorang dalang sedang mendalang di sekitar itu dan peragaan
lakonnya menggunakan cerita ruwatan Murwakala, dan anak
yang baru lahir tersebut apabila tidak sungkem kepada dalang, maka
anak itu juga akan menjadi jatahnya Batara Kala, kecuali anak itu dibawa
kepada ki dalang dan diakui sebagai anaknya.
Ada orang disebut Wong Mancah adalah orang yang dalam
karyanya mendatangkan buah karya yang mengganggu perjalanan
Batara Kala, maka wong mancah tadi menjadi makanan Batara Kala.
Yang dimaksud dengan karya wong mancah itu misalnya orang menanam
tanaman yang buahnya ada diatas tanah (pala kesimpar) tanpa
di beri tututp atas di samping kranjang (anjang-anjang) maka bisa
tersandung Kala, mendirikan rumah belum diberi tutup keyong, me233
ninggalkan dandang saat menanak nasi, sehingga dandangnya terguling,
dan sebagainya.
Ini semua dianggap mengganggu perjalanan Batara Kala.
Maka semua ini akan menjadi santapan Batara Kala. Hanya karena
diakui sebagai saudara ki dalang Kandhabhuana barulah wong mancah
terhindar dari ancaman dimakan Kala.
Hyang Batara Guru memerintahkan kepada dewa Penyarikan
agar semua yang titahkan itu dicatat dengan cermat dan Batara
Penyarikan harus ikut menyaksikan, dan baru boleh meninggalkan
tempat itu bila tidak ada yang salah. Karena usulan Narada bahwa
makanan yang diberikan kepada Kala terlalu banyak, maka Batara
Wisnu diperintahkan untuk memberikan berkat ke-pada setiap umat.
Umat itulah yang tidak disantap Kala.
5.3.5.3 Cerita Ruwatan (Murwakala sebagai lakon bakunya).
Memang cerita Ruwatan ini di dalamnya terdapat suatu
komposisi lakon yang sangat unik dan tidak biasa ditemui pada lakon-
lakon yang lainnya. Dalam lakon Murwakala terdapat dua bagian
yang masing-masing sesungguhnya berdiri sendiri-sendiri, meskipun
antara keduanya terdapat ada kaitannya yang saling mengasihi.
Pada bagian pertama, dikisahkan oleh sang dalang bahwa
pada suatu hari Sang Hyang Jagad Giri Nata sedang bersama dengan
permaisuri Batari Uma berjalan-jalan dengan naik lembu kaswargan
yaitu lembu Handini. Pada saat di angkasa ketika itu pula
Sang Batara Guru melihat kemolekan Sang Uma sehingga timbullah
nafsu birahinya. Namun apa mau dikata, nafsu birahinya yang sudah
memuncak itu tak bisa tersalurkan, karena memang Sang Uma tidak
mau melayani, sehingga kama Sang Batara Guru jatuh ke samudera.
Kama Sang Batara Guru itu disebut kama salah karena memang
sangat salah tingkah.
Kama salah itu berada dalam samudera ternyata hidup
yang mempengaruhi permukaan air samudera menjadi pasang meninggi
hingga tumpah ke daratan. Kama salah kini menjadi besar,
akibatnya daratan semakin tidak mampu menampung air dan banjirlan
di daratan. Hanya ketika kama salah itu bangkit, baru air di daratan
menjadi kering (asat). Banjir hilang tanah menjadi subur. Si kama
salah langsung naik ke darat yang subur itu. Tanah yang diinjak terdesak
ke bawah sampai dalam, akibatnya buminya menjadi berlubang-
lubang sedalam sumur. Kama salah yang berupa raksasa tinggi
besar tak ada yang menyamainya. Dia tinggi melebihi tinggi pepohonan.
Dia besar sekali, tiga kali besar seekor gajah. Dia juga kuat
dan sakti. Mulutnya besar dan lebar selebar pintu gua. Rambut kaku
panjang gimbal sulit disisir. Sisir yang sebajak (segaru) sawah barulah
mampu menyisir rambut si kama salah. Sekarang dia berjalan
sambil teriak-teriak, secara alami menjadi omong atau bicara.
234
“He… orang… jangan lari. Kenapa kamu lari!”
Setiap manusia yang ketemu mesti lari karena takut dimakan
(diuntal). Ucap kama salah semakin keras sampai menggugurkan
daun dan buar pepohonan.
“Heeee…… wong ndesa aja mlayu. Aku takon, aku iki
sapa? Bapakku sapa? Aku tulung critanana.”
Tak ada jawaban setiap pertanyaan maka semakin marah
si kama salah. Setiap apa yang ada di depannya diinjak, ditendang
dan yang terpegang tangannya di remas. Pepohonan yang dilewati
ada yang dicabut (dibedol) dirobohkan. Demikian juga rumah-rumah
penduduk diinjak, dirobohkan juga.
Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kama
salah tidak pernah makan, lama kelamaan perjalanan si kama
salah sampai di kaki sebuah gunung tempat bersemayamnya para
dewa. Di situ si kama salah bertemu dengan para prajurit Dorandara.
Dia disuruh kembali oleh para prajurit Dorandara. Karena tidak mau
kembali, maka terjadilah selisih pendapat dan timbul perang mulut
kemudian semakin memuncak sehingga menjadi perang fisik, adu jotos,
adu kuat. Ternyata kama salah terlalu kuat, para prajurit Dorandara
lari tunggang langgang.
Kama salah yang berhadapan dengan para dewa senior dimana
mereka pada adu sakti, ternyata dewa kalah sakti. Semua pusaka,
ajian, kesaktian, gaib tak ada yang mempan dipukulkan, digebugkan
pada tubuh kama salah yang tak dirasakan. Kama salah
adalah kama Sang Jagad Nata yang berari tidak bisa dibuat sembrana.
Dia kuat dan sangat-sangat sakti, tak ada yang mampu melawannya
dengan cara apapun. Akhirnya terpaksa oleh Resi Narada si
kama salah dihadapkan pada Sang Hyang Jagad Giri.
Dengan kondisi yang serba harus, Batara Gurupun terpaksa
menuruti keinginan si kama salah, meskipun Batara Guru tetap
kurang senang atas kedatangannya yang harus diakui sebagai anaknya.
Kemarahan sang Batara Guru belum reda karena masih ada
pusakanya yang belum digunakan. Dengan diam-diam Sang Batara
Guru membelalakkan mata ketiganya dengan di dorong oleh keempat
tangannya, mata itu mengeluarkan sinar panas ditujukan pada
kama salah, biarlah ia mati kepanasan. Ternyata si kama salah tidak
terasa apa-apa. Justru Batara Tri Netra (Guru) berteriak-teriak bingung
kepanasan. Sang kama salah tak mempan oleh semua pusaka
dan ajian, sehingga para dewa tak bisa apa-apa kecuali memenuhi
keinginannya.
Akhirnya Batara Parameswara harus mengakui bahwa kama
salah adalah anaknya sendiri. Dengan disaksikan oleh para de235
wa, sang kama salah diangkat sebagai Dewa Batara dan diberi nama
Kala.
Dewa Batara Kala sebelumnya telah diberi ijin oleh Sang
Batara Rodrapati dalam permohonan makan sehari-hari yaitu manusia
sukerta. Berangkatlah Kala untuk mencari makanan manusia sukerta.
Oleh Batara Narada diperingatkan bahwa makanan yang diberikan
kepada Batara Kala itu sangat banyak, tentu dunia ini akan kehabisan
manusia.
Batara Guru menjadi masygul hatinya. Dia kecewa atas
pemberian ijin kepada Sang Kala tentang makanan manusia sukerta.
Kekecewaan, bahkan timbul kekhawatiran bahwa manusia akan
habis dimakan Kala, maka semua ini harus diserahkan kepada Sang
Wisnu pemelihara jagad. Terserah dengan kebijaksanaan apa, Wisnulah
yang mengatur. Batara Rodrapati memerintahkan kepada Batara
Narada untuk bersama-sama dengan Batara Wisnu dan segenap
dewa lain yang diperlukan. Ketika semua sudah siap, berangkatlah
mereka turun ke dunia.
Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa dalam rangka
mengikuti jejak Kala, Batara Wisnu dan lainnya berganti wujud yang
disesuaikan dengan tugas masing-masing. Batara Wisnu sebagai
dalang Kandhabhuwana, Batara Narada sebagai pengendhang Kalunglungan,
dan Batara Brahma sebagai penggender Seruni.
Batara Ismaya yang kebetulan hadir di Kahyangan Nguntaralaya
atau Nguntara segara ikut membicarakan kerusakan jagad
dan ikut dalam rombongan. Ismaya menjadi pengrawit (panjak). Batara
Cakra menabuh kethuk bernama Swuhbrastha, Batara Asmara
menabuh gong kempul bernama Sirep, Batara Mahadewa menabuh
kenong bernawa Ruwat.
Sampai adegan inilah lakon ruwatan bagian pertama sudah
selesai. Bahkan sejak kama salah diterima sebagai anak Batara Guru
dan diberi nama Batara Kala, itu bisa dikatakan cerita bagian pertama
sudah habis. Sedangkan keberangkatan Kala dan pembagian
tugas para dewa dalam memantau Kala itu bisa dikatakan sebagai
introduksi Ruwatan bagian ke-2, yang ciri tema-nya berlainan sekali.
Adapun bagian kedua dimulai dari kisah seorang anak ontang
anting yang di dalam pakeliran bernama Jatusmati. Ia lari terbirit-
birit menghindar dari kejaran Batara Kala.
Sangat kebetulan sekali pada waktu itu ada perhelatan dengan
menanggap wayang dimana dalangnya adalah ki dalang Kandhabhuwana
atau ada yang menyebut ki dalang sejati. Jatusmati
menyelinap masuk di tempat para pengrawit menyatu dengan mereka.
Akibat itu semua Batara Kala lalu berhenti di situ dan menanti keluarga
Jatusmati sambil melihat tontonan wayang. Tentu saja para
penonton lainnya takut ada raksasa yang tinggi dan besar ikut menontong
wayang. Para penonton bubar lari meninggalkan tempat,
236
sehingga di tempat pertunjukan wayang itu menjadi sunyi sepi tak
ada penonton. Hanya ada satu orang penontong yaitu Batara Kala.
Karena sepi itu maka sang Dalang Sejati Kandhabhuwana
menoleh ke belakang sehingga tahu bahwa penyebab bubarnya penonton
adalah Batara Kala. Terjadilah dialog antara sang dalang
Kandhabhuwana dengan Batara Kala. Mereka berdua bagaikan terikat
dalam satu ikatan bantah yang tak mau saling mengalah.
Terutama ki dalang disuruh tampil maka akan dibayar olah
Batara Kala. Bantah masih berlanjut, Batara Kala bertanya, lebih tua
mana antara Batara Kala dengan ki Dalang Kandhabhuwana. Tak lama
kemudian Dalang Kandabhuwana merayu Batara Kala untuk
menyerahkan pedhang (Bedhama).
Singkatnya bantah mereka dimenangkan oleh ki Dalang
Kandhabhuwana. Kecuali itu, Batara Kala tidak boleh memakan manusia
sukerta yang sudah mendapat ruwat atau diruwat oleh Dalang
Kandabhuwana.
Demikianlah ikatan janji antara Batara Kala dengan ki Dalang
Kandhabhuwana yang tidak bisa diingkari. Di samping itu ada
beberapa tokoh yang disebutkan dalam Ruwatan ini demi terangkainya
alur certita misalnya Randha Prihatin ibu Jatusmati yang diselamatkan
oleh dalang Kandhabhuwana, Buyut Awengkeng diminta
anak perempuannya Rara Primpen yang bersama suaminya yang jelek
rupa Buyut Gadual (Joko Sondong) minta ditanggapkan wayang
ruwatan pada ki Dalang Kandhabhuwana, Nyai randha Sumampir
dari desa Mendhang Kawit yang semula miskin menjadi kaya. Desanya-
pun menjadi ramai atas kehendak dewa Agung. Oleh ki Dalang
Kandhabhuwana nama randha Sumampir diganti menjadi Randha
Asem Sore. Dia diberi pegangngan sakit encok dan sebangsanya,
artinya apabila ada orang menjemur kain panjang (jarit) sampai sore
belum diangkat, bila ada orang makan beralaskan cobek (cowek) tanah
cobek batu dengan sayur asem wayu, diberikan mereka sakit
encok.
Buyut Gadual yang datang di rumah randha Sumampir ingin
bertemu dengan Ki Dalang Kandhabhuwana yang kebetulan berada
di rumah ini untuk nanggap wayang ruwatan. Setelah disanggupi,
maka jadilah wayangan di rumah Buyut Gadual di rumah mertuanya
ki Buyut Tapa Wangkeng. Wayang Ruwatan ini bertujuan agar
hubungan suami istri antara Buyut Gadual (Joko Sondong) dengan
Rara Primpen menjadi rukun. Karena memang selalu selisih. Demikianlah
secara singkat wayang Ruwatan.
5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan
Peralatan tentang wayang-gamelan dalam penyelenggaraan
upacara ruwatan dapat dipastikan akan beres. Sebab sudah jelas
bahwa wayang-gamelan setiap dalang pasti memilikinya. Namun dapat
dijelaskan tentang penggunaan gamelan dalam upcara ruwatan
237
ini adalah laras slendro. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
peralatan wayang-gamelan sudah tidak perlu dikhawatirkan. Sedangkan
yang termasuk sebagai perlengkapan (ubarampe) atau alat
yang tidak bisa ditinggalkan adalah saji-sajian (sajen).
Menurut aslinya yang berasal dari Kraton Surakarta, Sumantoyo
dalam tulisannya yang berjudul Budaya Ruwatan dalam Kehidupan
dan Kepercayaan Orang Jawa, termuat dalam buku Ruwatan
Murwakala dari Paguyuban Sutresna Wayang Rena Budaya, hal
5 menyebutkan daftar sajen peruwatan sebanyak 71 macam. Inilah
sajian-sajian itu :
- Tuwuhan sapepake :gadhang, tebu, cengkir
- Pari rong (2) gedheng
- Cikal rong (2) iji
- Pitik rong (2) iji
- Tumpeng warni sanga: Megana isi jangan, Megana isi
pitik, Pucuk endhog, Rajek edom, Pucuk lombok abang,
Tutu, Kendhit, Lugas, Sembur.
- Kroso kalih sing siji sekul ulam digantung ing kelir sisih
kiwa, sijine isi beras, pala kesimpar, pala kependhem,
who-wohan digantung ing kelir sisih tengen
- Klasa anyar
- Bantal anyar
- Sinjang (kain) warni pitu, yaitu Poleng bang bintulu
sadodod, Dringin songer, Tuluh watu, Bangun tulak, Pandhan
binethot, Liwatan/lumpatan, Gandhung Mlathi, Kang
rinuwat, yen wadon nangge sinjang pethak, kemben pethak,
yen jales ngangge bebet pethak, iket pethak, yen
sampun ki Dalang kang gadhah.
- Pangot waja kalih (2 ) iji
- Kropak sapakem
- Sega wuduk lawuh lembaran ayam pethak mulus lan cemeng
mulus kalian tigan
- Jadah abang, jadah putih, jadah kuning, jadah ireng, jadah
biru, jadah kendhit, jadah tutul.
- Ketan warna pitu kalebet wajib jenang
- Wajik
- Jenang
- Jenang warni pitu, kalebet jenang blowok wadhahe takir
kalothekan gadebog, di antaranya adalah, Srabi warwa
pitu, Srabi abang putih, Bikang abang putih, Ampang sapepake,
Hawag hawug, Pondo: putih, biru, kuning, ireng,
abang, wungu, ijo, Kupat lepet, Legondhoh, Pula gimbal,
pula gringsing, dados sawadhah.
- Woh-wohan saanane
- Pangan remik-remikan
- Pangan wungkus-wungkusan
238
- Tukon pasar sapepake lan dhuwit rong uwang
- Rujak bakal sarwa mentah, rujak deplok, rujak crobo, rujak
dulit, rujak legi, sawadhah
- Gecok bakal, lombok, uyah, trasi, iwak mentah, brambang,
bawang, gecko dadi, gecko lele urip sajodho, tigan
ayam sajodho.
- Klasa pacar
- Kayu sauntung
- Pala kapendhem mentah mateng, pala gumantung, pala
kesimpar, empon-empon sapepake dados sawadhah
- Bumbu kang pepak
- Wolak walik
- Sega golong, pecel pitik, jangan menir
- Bendho
- Lading
- Jungkat
- Suri
- Kaca, paying, lan tukon pasar sapepake kabeh, salawe
uwang
- Alang-alang, godhong dhadhap serep, godhong apa-apa
- Lenga sundhul langit
- Lawe saukel
- Ungker siji
- Sega asah-asahan nganggo punar
- Kayu walikukun saseta, 4 iji
- Kupat luwar 4 iji
- Beras sadangan
- Klapa gondhil den ubeti lawe wenang ubet tiga
- Lenga klentik secangkir jog-jogan blencong dhuwite telu
theng
- Tetes saguci
- Badheg saguci
- Toya tempuran, dipun wor toya sumur pitu, sekar setaman,
kobokan tiga theng
- Pangaron anyar, abahan pawon sapanunggalane kabeh
- Kendhi kebak
- Diyan murub
- Lenga kacang sagendul
- Dlingo bawang tindhite salawe dhuwit
- Gedhang ayu setangkep, suruh ayu saadune, gula krambil
setangkep tindhite 60 uwang
- Dene jenang wau wijangipun: jenang blowok, jenang
abang, jenang putih, jenang ireng, jenang kuning, jenang
biru, jenang ijo, jenang lemu, jenang katul.
- Dene tuwuhan pari cikal tebu, kayu walikukun, lele gesang,
saking ingkang gadhah damel.
239
- Sabibaring ngruwat kayu walikukun sekaran iji dipun pathokaken
ing njawi griya pojok sekawan lan kupat luwar 4
iji nunggil pathok ginantung. Utawi lawe wenang dipun gawaraken
njawi griya ubeng ngiwa ubet tiga.
- Toya tempuran kang wonteng pengaron anyar lan sekar
setaman, dipun wor jembangan ageng, utawi ingkang dipun
ruwat adus kaping pitu surame. Manawi anugelaken
gandhik anggempalaken pipisan utawi angrebahaken
dandang, wuwuh ingkang anyar, dandang gandhik pipisan
(ingkang sampun cacad) padha linabuh
- Wanci ngajengaken surup (surya) anglujengaken jenang
baro-baro 5 takir wonten pinggir sumur, ijabipun nundhung
Kala Lumur, slawate 5 ketheng, dongane Tulak bilahi
wekasan slamet.
- Lan patelesane kang dipun ruwat samorine, ki dalang
kang gadhah
- Tigang jumungguh, memule sakuwasane, kang dipun memule
ingkang cikal bakal ruwatan, utawi sengkala, bedewan
luwuring ratu sapengadhap sapenginggil, kang samara
bumi, lan luwure piyambak, saking jaler, saking istri,
luwuring dhalng sak niyagane salumahing bumi sakurebing
langit
- Dene ruwatan mau pepesthening tindhih yen tiyang satunggal
60 uwang, yen tiyang kalih utawi tiga 60 uang kaping
kalih utawi kaping tiga, tebasan utawi boten tamtu
tindhih saking ingkang gadhah damel.
Catatan : Sesudah ki dalang mendalang semalam suntuk (
tanceb kayon ) terus paginya memeriksa sajen ruwat, dan yang akan
diruwat berpakaian putih, ki dalang siap meruwat.
5.4 Sumber Cerita Wayang Gaya Jawatimuran
Bila kita menceritakan lakon wayang, kita menemukan beberapa
kesulitan apabila dalam membahas cerita tidak menggunakan
pikiran yang didasari batasan-batasan etika dan pengetahuan
yang pasti, karena dalam cerita wayang terdapat proses yang campur
aduk dan lagi pula tidak ada norma-norma yang melarang kesimpang
siuran cerita. Batasan-batasan yang harus ada pada cerita wayang
ialah cerita itu tidak menyimpang dari dua hal dalam kehidupan
manusia, yaitu baik dan buruk.
Perkembangan cerita pewayangan yang tampaknya satu
kesatuan yang utuh sebenarnya merupakan suatu hal yang penuh
dengan pertentangan-pertentangan pendapat. Karena menceritakan
wayang sama halnya dengan menceritakan usaha manusia dengan
segala cita-citanya serta perjuangan hidupnya.
240
Sebenarnya fungsi cerita wayang dari zaman ke zaman
adalah sama, sebagai alat penerangan dan pendidikan, di samping
sebagai alat hiburan masyarakat. Pada zaman Hindu, wayang digunakan
sabagai media keagungan raja-raja dan para dewa beserta
para brahmana. Demikian pula pada zaman permulaan Islam, wayang
digunakan sebagai alat penyebaran kepercayaan Islam dan pada
zaman kemerdekaan Republik Indonesia dimanfaatkan pula sebagai
media penerangan pembangunan mental dan fisik rakyat Indonesia.
Yang disebut dengan cerita pakem adalah cerita yang nama-
nama tokoh dan nama negara serta jalan ceritanya diambil dari
cerita Ramayana atau Mahabharata seutuhnya. Balungan cerita wayang
yang bersumber dari Buku Layang Kandha Kelir adalah merupakan
kumpulan balungan lakon khususnya wayang gaya Jawatimuran
atau lebih akrab disebut wayang Jek Dong.
5.4.1 Dasamuka Lahir
(Sumber: Buku Layang Kandha Kelir serial Ramayana).
Di negara Sela Gringging, Prabu Sumangli atau Mangliraja
sedang dihadap patih Maeluncana dan para punggawa, wadyabala,
dan putranya yang bernama Raden Prahasta dan Raden Jambumangli
atau Jalma Mantri. Sedang membicarakan putra sulung Prabu
Mangliraja yang bernama Dewi Sukesi, sudah dilamar oleh Prabu
Citrabaya raja dari kerajaan Sunggela, mau dijodohkan dengan putra
Prabu Citrabaya yang kedua bernama Raden Daneswara Bupati
Tandawaru. Sedangkan putra Prabu Citrabaya yang pertama menjadi
raja di kerajaan Sunggela bergelar Prabu Misrahwana. Prabu Citrabaya
sendiri saudara sepupu Prabu Mangliraja dan masih saudara
tua. Prabu Mangliraja juga sedang susah sebab memikirkan adiknya
yang bernama Raden Mangliawan Bupati Indrapuri yang sedang sakit
parah. Beberapa pendeta dan ahli pengobatan yang sudah didatangkan
untuk menyembuhkan Raden Mangliawan, tetapi semua tabib
dan ahli pengobatan itu belum bisa menyembuhkan Raden
Mangliawan. Prabu Mangliraja lalu memutuskan untuk membubarkan
pasewakan, sedangkan Prabu Mangliraja beserta para punggawa
pergi ke kadipaten Indrapuri menjenguk Raden Mangliawan.
Sesampainya di kadipaten Indrapuri Prabu Mangliraja melihat
adiknya yang sedang sakit terkulai lemas. Prabu Mangliraja merasa
kasihan dan bersedih sehingga tidak terasa Prabu Mangliraja
meneteskan air mata. Karena sangat cintanya terhadap adiknya,
Prabu Mangliraja lalu bersabda, tidak pagi tidak sore kalau Raden
Mangliawan sembuh, akan dijadikan raja di negara Sela Gringging,
Prabu Mangliraja bersedia menjadi bawahan Raden Mangliawan.
Sahdan, ucapan Prabu Mangliraja disaksikan oleh para dewa
dan kebetulan di angkasa ada roh gentayangan yaitu rohnya Raden
Rasa Sejati. Setelah ucapan raja, roh Raden Rasa Sejati turun
241
dari angkasa masuk ke badan Raden Mangliawan, sehingga Raden
Mangliawan sembuh seketika tanpa diobati. Melihat adiknya yang
sudah sembuh, Prabu Mangliraja sangat gembira, pada waktu itu juga
Raden Mangliawan diajak pergi ke istana negara Sela Gringging
dengan diiringi oleh para punggawa. Setelah sampai di istana Raden
Mangliawan langsung didudukan di singgahsana, di jadikan raja di
negara Sela Gringging bergelar Prabu Sumaliawan.
Diceritakan, setelah menjadi raja, Prabu Mangliawan minta
dikawinkan. Karena Prabu Sumaliawan kemasukan roh Raden Rasa
Sejati, maka dia minta dikawinkan dengan bidadari yang bernama
Batari Sri Widowati dari Kahyangan Asmarawati. Prabu Mangliawan
minta kepada kakaknya untuk melamar Batari Sri Widowati. Prabu
Mangliraja tidak berani karena Batari Sri Widowati adalah istri Batara
Wisnu dari Kahyangan Nilawindu. Prabu Mangliawan lalu menyuruh
Patih Maeluncana namun juga tidak berani, lalu diumumkan ke para
punggawa, siapa yang berani melamar Batari Sri Widowati dan berhasil
membawa pulang Batari Sri Widowati akan diganjar seperempatnya
negara Sela Gringging. Tetapi semua punggawa tidak ada
yang berani, sehingga diputuskan, sang Prabu Mangliawan sendiri
yang berangkat ke Kahyangan Suralaya, sedangkan negara Sela
Gringging sementara dititipkan kepada kakaknya. Setelah Prabu
Mangliawan pergi, Prabu Mangliraja tidak tega melihat keberangkatan
adiknya lalu kerajaan dipasrahkan kepada Patih Maeluncana dan
Prabu Mangliraja mengikuti adiknya dari kejauhan ikut pergi ke Kahyangan
Suralaya.
Di Kahyangan Repat kepanasan yaitu alun-alun para dewa,
Batara Brama mengumpulkan para Dorandara atau Prajurit Kadewatan
antara lain Batara Sambu, Batara Sukra, Batara Penyarikan dan
lain-lainya. Membicarakan perintah Batara Guru, yang memerintahkan
para Dorandara supaya menjaga kahyangan Suralaya, dan selalu
berhati-hati jangan sampai ada manusia yang naik ke Kahyangan
Suralaya. Pembicaraan belum selesai, dari kejauhan Batara Brama
melihat ada manusia yang naik ke kahyangan Suralaya, seketika itu
juga Batara Brama memerintahkan para Dorandara bubar dan waspada,
Batara Brama sendiri yang akan mencegat manusia itu, supaya
jangan melanjutkan perjalanannya menuju Kahyangan Suralaya.
Prabu Sumaliawan yang sedang berjalan sendirian kaget
melihat dewa yang turun dari angkasa, lalu bertanya; siapa gerangan
dewa yang baru turun di hadapannya, Batara Brama menjawab bahwa
dia adalah Batara Brama peminpim para Dorandara. Lalu Batara
Brama balik bertanya siapa manusia yang berani datang di Kahyangan
Suralaya, Prabu Mangliawan menjawab terus terang bahwa
beliau raja kerajaan negara Sela Gringging yang akan pergi menghadap
raja para dewa untuk melamar Batari Sri Widowati untuk dijadikan
permaisuri di negara Sela Gringging. Mendengar jawaban dari
Prabu Mangliawan Batara Brama sangat kaget melihat keberanian
242
Prabu Mangliawan, sebab Batari Sri Widowati adalah istri Batara
Wisnu, senapati kadewatan bergelar Macan Engyang Suralaya, sedangkan
para Dorandara sendiri sangat takut kepada Batara Wisnu.
Lalu Batara Brama mengingatkan dan memberi nasehat kepada Prabu
Mangliawan (Prabu Sumaliawan) supaya jangan meneruskan niatnya
ingin memperistri Batari Sri Widowati, karena Batari Sri Widowati
sudah bersuami. Prabu Sumaliawan tetap pendiriannya, bahwa
dia tidak akan turun ke dunia (marcapada) kalau belum memboyong
Batari Sri Widowati. Mendengar jawaban dari Prabu Sumaliawan,
Batara Brama sangat marah, sehingga terjadi perang mulut yang dilakukan
adu tanding antara Prabu Sumaliawan melawan Batara Brama.
Dalam adu kekuatan otot Prabu Sumaliawan agak kewalahan
melawan Batara Brama, lalu mundur merapal aji Petak. Batara Brama
terkena aji Petak melayang ke udara, lalu Batara Brama mencipta
guntur api, maka keluarlah api yang membubung tinggi setinggi
gunung bagaikan mencapai langit, api tersebut dapat dikendalikan
Batara Brama dari kejauhan, api memburu Prabu Sumaliawan, akan
tetapi Prabu Sumaliawan tidak mempan dibakar api Batara Brama,
sehingga api yang membumbung tinggi tersebut di getak oleh Prabu
Sumaliawan dan kembali lagi ke badan Batara Brama. Batara Brama
lalu menyiapkan para Dorandara supaya mengadakan perang Brubuh
untuk mengeroyok Prabu Sumaliawan supaya mau turun lagi ke
alam mercapada.
Diceritakan, meskipun dikeroyok wadyabala Dorandara
Prabu Sumaliawan tetap maju dalam peperangan, dan tidak merasa
gentar sama sekali, setiap ada kesempatan beliau merapal aji Petak
sehingga para dewa lama-kelamaan banyak yang kesakitan dan
mundur dari peperangan. Melihat dari kejadian itu, Batara Brama lalu
memerintahkan para Dorandara supaya mengadakan perang undurundur,
sedangkan Batara Brama sendiri mau melaporkan kejadian
itu kepada Batara Guru.
243
Gambar 3.27 Batara Guru
Syahdan, dikeraton Tejamaya atau Bale Mercukundamanik
yaitu istana para dewa, disana Batara Guru sedang berunding dengan
Batara Narada, membicarakan Kahyangan Suralaya goncang.
Biasanya kalau Kahyangan Suralaya goncang pasti ada manusia (titah)
yang masuk Kahyangan Suralaya. Belum selesai pembicaraan
datang Batara Brama untuk melaporkan kejadian di Repat Kepanasan,
bahwa ada raja dari negara Sela Gringging yang bernama Prabu
Sumaliawan naik ke Suralaya mau melamar Batari Sri Widowati. Batara
Guru memerintahkan kepada Batara Brama pergi ke Kahyangan
Nilawindu untuk memanggil Batara Wisnu. Batara Brama berangkat,
tidak beberapa lama lalu kembali lagi bersama Batara Wisnu. Batara
Guru bertanya kepada Batara Wisnu, apa Batara Wisnu masih cinta
kepada Batari Sri Widowati istrinya, Batara Wisnu menjawab bahwa
dia sangat mencintai istrinya. Lalu Batara Guru memerintahkan kepada
Batara Wisnu untuk menangkap Prabu Sumaliawan yang akan
melamar Batari Sri Widowati. Berangkatlah Batara Wisnu ke Repat
Kepanasan untuk menghadapi Prabu Sumaliawan dengan diiringi
Batara Brama.
244
Gambar 3.28 Batara Brama
Melihat kedatangan Batara Wisnu bersama Batara Brama,
para Dorandara yang sudah terdesak oleh Prabu Sumaliawan merasa
sangat senang dan segera memberi jalan kepada Batara Wisnu.
Setelah berhadapan antara Batara Wisnu dengan Prabu Sumaliawan,
Batara Wisnu memperkenalkan diri, bahwa dia suami dari Ba
tari Sri Widowati, juga mengingatkan
kepada Prabu Sumaliawan
supaya jangan sampai
meneruskan niatnya memboyong
Batari Sri Widowati. Kalau
bersedia maka para dewa
akan memaafkan kesalahan
Prabu Sumaliawan asalkan
segera kembali ke alam mercapada.
Mendengar kata-kata
Batara Wisnu, Prabu Sumaliawan
tertawa terbahak-bahak,
karena dia bisa bertemu sendiri
dengan Batara Wisnu suami
Batari Sri Widowati. Dengan
lantang Prabu Sumaliawan
mengatakan akan merebut
Batari Sri Widowati dari
tangan Batara Wisnu. Mendengar
jawaban Prabu SumaliGambar
3.29 Batara Wisnu awan Batara Wisnu sangat
245
murka, sehingga terjadilah peperangan. Batara Wisnu berperang
melawan Prabu Sumaliawan, sedangkan para Dorandara melihat
dari kejauhan. Perang sangat seru karena sama-sama digdaya, Batara
Wisnu tidak mempan senjata tajam, begitu pu la Prabu Sumaliawan
Prabu Sumaliawan mengeluarkan aji Petak, tetapi Batara Wisnu
juga punya aji Petak, perang tanding terjadi sangat ramai dan sangat
dasyat sama-sama sakti dan sama-sama digdaya, peperangan
terjadi beberapa hari tanpa henti siang dan malam. Pada suatu hari
sama-sama kelelahan sehingga bersepakat untuk menghentikan peperangan.
Prabu Sumaliawan mundur dipapak oleh kakaknya yaitu
Prabu Mangliraja, sedangkan Batara Wisnu pergi ke Kahyangan Asmarawati
me-nemui istrinya yaitu Batari Sri Widowati. Di ceritakan ke
da tangan Batara Wisnu di Kahyangan Asmarawati disambut oleh
sang istri dengan mesra, karena sudah lama Batara Wisnu tidak berkunjung
ke kahyangan Asmarawati.
Setelah menghilangkan rasa rindu Batara Wisnu lalu bertanya
kepada istrinya, apakah Batari Sri Widowati betul-betul cinta kepada
Batara Wisnu. Pertanyaan Batara Wisnu tidak dijawab oleh
ucapan, tetapi dijawab oleh rangkulan mesra Batari Sri Widowati kepada
suaminya. Batara Wisnu lalu menceritakan kejadian di Repat
Kepanasan, bahwa dia baru saja berperang mempertahankan Batari
Sri Widowati, karena Batari Sri Widowati dilamar oleh Prabu Mangliraja
raja dari negara Sela Gringging di mercapada, mau dijadikan
prameswari. Mendengar cerita Batara Wisnu, Batari Sri Widowati
merangkul suaminya sambli menangis, dia berkata daripada pisah
dengan Batara Wisnu lebih baik mati.
Batara Wisnu bercerita bahwa Prabu
Sumaliawan sangat sakti, segala kesaktian
Batara Wisnu sudah dikerahkan,
tetapi belum bisa mengalahkan
Prabu Sumaliawan, oleh sebab itu
Batara Wisnu minta tolong kepada
Batari Sri Widowati supaya pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk menghadap
ke Batara Guru dan meminta pusaka
ampuh untuk membunuh Prabu
Sumaliawan, Batari Sri Widowati bersedia,
lalu pergi Kahyangan Suralaya.
Syahdan, dikeraton Tejamaya
Batara Guru sedang dihadap Batara
Narada menerima kedatangan Batari
Sri Widowati, dia berkata terus terang
bahwa dia disuruh suaminya untuk
meminta pusaka ampuh dari Batara
Gambar 3.30 Sriwidowati Guru.
246
Melihat kedatangan Batari Sri Widowati, Batara Guru merasa
muak dan tidak senang, sehingga perkataan Batari Sri Widowati
tidak dijawab, malah Batara Guru meludah dihadapan Batari Sri
Wido-wati. Batari Sri Widowati melihat ludah kenthal (riak: bhs Jawa)
dihadapanya, diambil lalu dibawa pulang ke Kah-yangan Asmarawati.
Batara Narada melihat kejadian itu dia merasa kasihan kepada
Batari Sri Widowati, lalu mengiringkan ke Kahyangan Asmarawati.
Setelah sampai di Khayangan Asmarawati, segera Batari Sri Widowati
menghadap suaminya, lalu menghaturkan ludah Batara Guru
kepada Batara Wisnu. Melihat kejadian itu Batara Wisnu sangat marah,
sebelum bertindak datanglah Batara Narada untuk menjelaskan
kejadian di Kahyangan Tejamaya. Tujuan Batari Sri Widowati pergi
ke hadapan Batara Guru adalah minta pusaka ampuh, dan sudah diberikan,
maka ludah yang berada ditangan Batari Sri Widowati diambil
oleh Batara Narada lalu dipuja, setelah beberapa lama, ludah
yang ada ditangan Batara Narada berubah menjadi pusaka yang
berbentuk bulat bergerigi yang mempunyai ketajaman seribu tajam.
Pusaka tersebut diberi nama Cakra. Cakra lalu diberikan kepada Batara
Wisnu dan berangkatlah Batara Wisnu pergi ke Repat Kepanasan
untuk menghadapi Prabu Sumaliawan. Setelah berhadapan, lalu
dimulailah perang tanding segala ilmu dan kadigdayan semua dikeluarkan,
tetapi sama-sama sakti, lalu Batara Wisnu mundur untuk
mempersiapkan pusaka Cakra, setelah siap Cakra dilepaskan mengenai
tubuh Prabu Sumaliawan sehingga badan menjadi hancur lebur,
pusaka Cakra terus melesat. Prabu Mangliraja yang tadinya
mengawasi Prabu Sumaliawan dari kejauhan, terserempet Cakra
kaki kirinya patah, badannya melesat jatuh di negara Sela Gringging.
Diceritaka setelah ingat bahwa Prabu Mangliraja sudah berada
di alam mercapada, Prabu Mangliraja meskipun sangat kesakitan
karena kaki kirinya putus, tetapi dia bersyukur karena masih hidup,
lalu dia memohon kepada dewa, Prabu Mangliraja rela mati kalau
sudah menata anak-anaknya. Prabu Mangliraja lau mengumpulkan
ketiga anaknya, yaitu Dewi Sukesi, Raden Prahastha dan Raden
Jambumangli. Ketiga anaknya lalu diajak pergi ke negara Sunggela
mau dititipkan kepada kakaknya yaitu Prabu Citrabaya. Akan tetapi
setelah sampai di istana kerajaan Sunggela ternyata Prabu Citrabaya
sudah pergi ke Pertapaan Gajah Mungkur untuk bertapa, maka
Prabu Mangliraja bersama ketiga anaknya menyusul ke Pertapaan
Gajah Mungkur. Setelah menghadap Prabu Citrabaya yang bergelar
Begawan Misrawa (Sarwa), Prabu Mangliraja menitipkan ketiga putranya
supaya di didik Begawan Sarwa. Begawan Sarwa dengan senang
hati menerima ketiga putra Prabu Mangliraja yang sudah dianggap
anaknya sendiri. Sesuai dengan sumpahnya, setelah menitipkan
ketiga anaknya kepada Begawan Sarwa untuk diberikan pendidikan,
Prabu Mangliraja menghembuskan nafas terakhirnya di Pertapaan
Gajah Mungkur. Lalu jasadnya diperabukan sesuai dengan
247
kepercayaannya dan dicandikan digunung Gajah Mungkur dekat dengan
Pertapaan Gajah Mungkur.
Setelah beberapa hari sejak kematian Prabu Mangliraja Begawan
Sarwa atau Prabu Citrabaya memanggil Dewi Sukesi calon
menantunya, akan diberikan wejangan ngilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruating Diyu supaya menjadi putri yang pinunjul. Setelah
segala persiapan sudah selesai pada suatu malam Dewi Sukesi dipanggil
Begawan Sarwa ke dalam sanggar pamujaan hanya berdua,
tidak boleh ada yang mendengar dan melihat wejangan Begawan
Sarwa, karena menyangkut wejangan ngilmu gaib. Syhadan, bersamaan
Begawan Sarwa memberikan wejangan kepada Dewi Sukesi
tentang ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruating Diyu. Dalam
perjalanan Batara Guru bertemu dengan Batari Durga, bekas istrinya
yang disuruh bertapa di Kahyangan Setra Ganda Mayit karena bersalah
yaitu berani memberi makan Batara Kala tanpa berunding dengan
Batara Guru sebagai suaminya. Mengingat sewaktu menjadi
suami istri dulu belum puas bercinta kasih, maka Batara Guru ingin
melanjutkan rasa cintanya kepada Batari Durga, tetapi meminjam
badan manusia, Batari Uma diajak Batara Guru untuk meramaikan
jagad, Batari Durga sanggup, lalu berjalan bersamaan sampai di gunung
Gajah Mungkur. Kebetulan waktu itu Begawan Sarwa sedang
memberikan wejangan kepada Dewi Sukesi, dan hanya berdua di
dalam sanggar pamujan.
Batara Guru segera memasuki badan Begawan Sarwa, setelah
dimasuki Batara Guru, pemikiran Begawan Sarwa seketika berubah
yang tadinya menganggap Dewi Sukesi sebagai anak sekaligus
calon menantu, sekarang Begawan Sarwa memandang Dewi
Sukesi seperti melihat istrinya dan melupakan wejangannya. Setelah
melihat perubahan Begawan Sarwa, Dewi Sukesi kaget lalu bertanya
ada apa sebenarnya, Begawan Sarwa kok berubah cara memandangnya
kepada Dewi Sukesi, Begawan Sarwa lalu menggoda Dewi
Sukesi untuk diajak bercinta, Dewi Sukesi menolak ajakan Begawan
Sarwa, karena disamping dia sebagai murid Begawan Sarwa, dia juga
calon istri Raden Daneswara putranya.
Akan tetapi Begawan Sarwa memaksa, Dewi Sukesi akan
diperkosa, Dewi Sukesi meronta, kepala Begawan Sarwa dipukul sepuluh
kali (10 x) setelah itu Batari Durga turun dari angkasa memasuki
badan Dewi Sukesi. Setelah dimasuki oleh Batari Durga, Dewi
Sukesi dengan senang hati meladeni kemauan Begawan Sarwa untuk
bercinta kasih sebagai suami istri. Setelah puas melakukan hubungan
sebagai suami istri, Batara Guru dan Batari Durga pergi meninggalkan
badan Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi. Setelah ditinggalkan
Batara Guru dan Batari Durga, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi
merasa menyesal mengingat apa yang dilakukannya. Akan tetapi
menyesal kemudian tak berguna, karena Dewi Sukesi sudah mengandung.
248
Gambar 4.1 Dasamuka
Setelah lama mengandung, Dewi Sukesi melahirkan seorang
putra yang diberi nama Raden Dasamuka, berwujud satriya
setengah Raksasa. Setelah Raden Dasamuka berumur dua tahun,
dan mulai bisa berlari-lari, Begawan Sarwa ingat bahwa dulu memberikan
wejangan kepada Dewi Sukesi belum selesai, maka memanggil
Dewi Sukesi unruk memberi wejangan berikutnya agar sempurna.
Maka setelah mengadakan persiapan di hari yang sudah ditentukan,
Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi masuk ke dalam sanggar
pamujaan. Tetapai setelah di dalam sanggar, Batara Guru masuk
lagi ke dalam tubuh Begawan Sarwa sehingga Begawan Sarwa
ingin bercinta lagi dengan Dewi Sukesi, Dewi Sukesi tidak mau dan
mengingatkan lagi kepada Begawan Sarwa kejadian tempo dulu, tetapi
Begawan Sarwa memaksa. Dewi Sukesi berontak sambil memgang
telinga Begawan Sarwa dijewer-jewer, setelah itu Batari Durga
memasuki badan Dewi Sukesi, sehingga Dewi Sukesi mau untuk
249
di ajak bercinta. Setelah puas melakukan hubungan suami istri, Batara
Guru dan Batari Durga meninggalkan badan Begawan Sarwa
dan Dewi Sukesi, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi menyesal lagi,
tetapi sudah terlanjur mengandung. Setelah cukup waktu mengandung,
Dewi Sukesi melahirkan putra berwujud raksasa telinganya lebar,
diberi nama Raden Amba Karana atau Kumbakarna. Setelah
Raden Kumbakarna sudah bisa berjalan, Begawan Sarwa ingin meneruskan
wejangannya kepada Dewi Sukesi. Begitu Begawan Sarwa
dan Dewi Sukesi masuk ke dalam sanggar pamujan, Batara Guru
memasuki badan Begawan Sarwa, sehingga timbul hasrat dan birahinya
terhadap Dewi Sukesi, Dewi Sukesi akan diperkosa dan meronta,
rambut Begawan Sarwa di jambak-jambak hingga terurai berai
(modal-madul) tak karuan, lalu Batari Durga memasuki badan Dewi
Sukesi, sehingga Dewi Sukesi bersedia meladeni kemauan Begawan
Sarwa untuk bercinta kasih. Setelah terpuaskan hasratnya untuk
bercinta kasih, Batara Guru dan Batara Guru meninggalkan badan
mereka. Batara Guru kembali ke Kahyangan Suralaya, Batari
Durga kembali ke Kahyangan Setra Gandamayit. Sedangkan Dewi
Sukesi melahirkan seorang putri berwujud raksasa perempuan (raseksi)
lalu diberi nama Dewi Sarpakenaka.
Setelah mempunyai tiga orang putra, Begawan Sarwa sangat
menyesal mengenang apa yang telah terjadi dan yang diperbuatnya.
Dia sampai lupa dan meninggalkan laku seorang pendita yang
pinunjul. Ketika melihat ketiga putranya yang sedang bermain dan
melihat Dewi Sarpakenaka yang bisa berjalan, Begawan Sarwa ingat
kepada putranya, bupati Tanda Waru yaitu Raden Daneswara. Maka
Begawan Sarwa memanggil Dewi Sukesi untuk diajak berunding, bagaimana
kalau Dewi Sukesi di hantar ke Tanda Waru untuk dijodohkan
dengan Raden Daneswara.
Gambar 4.2 Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi
250
Dewi Sukesi menurut apa kata Begawan Sarwa. Maka Dewi
Sukesi dirias dengan dandanan secantik mungkin dan diberi mantra-
mantra oleh Begawan Sarwa supaya kelihatan seperti perawan
lagi.Setelah waktu yang ditentukan telah tiba maka Dewi Sukesi dihantarkan
Begawan Sarwa ke Dalem Tandawaru, akan tetapi sebelum
berangkat, datanglah Raden Jambumangli dan Raden Prahasta
adik Dewi Sukesi menghadap kepada Begawan Sarwa. Dia tidak terima
kalau kakaknya dipermainkan Begawan Sarwa, maka Begawan
Sarwa harus dihukum. Begawan Sarwa akan dihajar oleh Raden
Prahasta dan Raden Jambumangli, tetapi belum sampai kedua satriya
itu bergerak, Begawan Sarwa berkata “tindakan Raden Prahasta
dan Raden Jambumangli yang berani kepada orang tua seperti itu
bukan sifatnya manusia tetapi raksasa.
Maka seketika itu juga keduanya berubah menjadi raksasa
seperti apa yang diucapkan Begawan Sarwa. Kedua satriya tersebut
menyesal dan mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada
Begawan Sarwa, mohon untuk dikembalikan seperti wujud asalnya,
tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur, Begawan Sarwa tidak
sanggup dan tidak bisa mengembalikan wujud mereka seperti sediakala.
Begawan Sarwa menyarankan agar Raden Prahasta pergi
kembali ke negara Sela Gringging dan Raden Jambumangli pergi ke
kerajaan Sunggela, supaya dijadikan Patih di kerajaan Sunggela.
Keduanya lalu berangkat, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi juga berangkat
ke Kadipaten Tandawaru.
Raden Daneswara menerima kedatangan ayahnya dan calon
istrinya, yaitu Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi, keduanya diterima
dengan sangat hormat, setelah Dewi Sukesi dipsrahkan kepada
Raden Daneswara untuk diperistri, Begawan Sarwa mohon diri kembali
Pertapan Gajah Mungkur. Setelah Begawan Sarwa pergi Raden
Daneswara dan Dewi Sukesi hanya berdua, melihat keadaan Dewi
Sukesi sebetulnya Raden Daneswara sudah menduga bahwa Dewi
Sukesi sudah tidak perawan lagi, tetapi perasaan itu ditutupi, lalu ia
bertanya kepada Dewi Sukesi, apakah Dewi Sukesi betul-betul masih
perawan seperti yang dituturkan Begawan Sarwa. Mendapat pertanyaan
yang tiba-tiba itu, Dewi Sukesi tersipu malu memandang ke
wajah Raden Daneswara, tidak terasa keluarlah air mata dari Dewi
Sukesi, dengan dada terasa sesak karena merasa malu, maka Dewi
Sukesi berterus terang kepada Raden Daneswara, bahwa dia sudah
tidak perawan lagi dan sudah mempunyai tiga orang anak hasil hubungannya
dengan Begawan Sarwa. Mendengar jawaban Dewi Sukesi,
Raden Daneswara lalu turun dari singgasana, menyembah kepada
Dewi Sukesi yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Lalu Raden
Daneswara mengadakan persiapan untuk mengantar Dewi Sukesi
ke Pertapan Gajah Mungkur.
Di Pertapan Gajah Mungkur, Begawan Sarwa sedang dihadap
ketiga anaknya yaitu Raden Dasamuka, Raden Kumbakarna,
251
dan Dewi Sarpakenaka. Melihat kedatangan Raden Daneswara dan
Dewi Sukesi, Begawan Sarwa terkejut, belum hilang keterkejutannya
lalu Raden Daneswara maju menghajar Begawan Sarwa. Begawan
Sarwa tidak melawan karena marasa bersalah. Dari angkasa turunlah
Batara Narada untuk melerai pertengkaran anak dan bapak itu.
Batara Narada menyalahkan Begawan Sarwa, karena berani menggoda
calon menantunya sampai mempunyai tiga orang anak, tetapi
hal itu sudah menjadi kehendak raja para dewa. Raden Daneswara
juga disalahkan oleh Batara Narada karena berani memukul orang
tuanya sendiri. Begawan Sarwa dan Raden Daneswara meminta
maaf kepada Batara Narada, Batara Narada berkata “untuk menebus
dosa, maka Begawan Sarwa harus tetap mengawini Dewi Sukesi,
sekaligus mendidik ketiga putranya dengan baik. Sedangkan Raden
Daneswara disuruh bertapa di tepi Bengawan Silugangga. Lalu
Batara Narada kembali ke Kahyangan Suralaya. Setelah Batara Narada
pergi, Raden Daneswara meminta maaf kepada Begawan Sarwa
atas kesalahan yang sudah dilakukannya, sekaligus memohon
diri untuk bertapa di tepi Bengawan Silugangga.
Diceritakan, pada saat Raden Daneswara bertapa di tepi
sungai Gangga, kedatangan Batara Bayu, dan memberikan putrinya
yang bernama Batari Bayuwati untuk diperistri Raden Daneswara,
dan juga diberikan kendaraan dewata berupa kereta yang bisa berjalan
di angkasa yaitu kereta Jaladara. Lalun Raden Daneswara bersama
istrinya yaitu Batari Bayuwati pulang ke Kadipaten Tandawaru
dengan naik kereta Jaladara. Setelah sampai di Dalem Tandawaru
keduanya hidup tenang, rukun, dan damai.
Begawan Sarwa merasa prihatin dan menyesali kesalahannya
di masa lalu. Dia selalu tekun bersemedi dan selalu minta maaf
kepada Tuhan atas semua dosa-dosa yang telah biperbuatnya. Berselang
beberapa bulan, Dewi Sukesi mengandung lagi. Setelah genap
waktu kandungannya, Dewi Sukesi melahirkan seorang bayi
yang tampan dan tanpa cacat diberi nama Raden Gunawan Kunta
Wibisana. Setelah ke empat putranya sudah berangkat dewasa, Begawan
Sarwa mengajak anak-anaknya pergi ke negara Sunggela.
Ke empat putranya dititipkan ke Prabu Misrahwana untuk di didik ilmu
kenegaraan dan ilmu keprajuritan, di mana Prabu Misrahwana
adalah anak tertua Begawan Sarwa. Setelah menitipkan ke empat
putranya, Begawan Sarwa kembali ke Pertapan Gajah Mungkur untuk
melanjutkan bertapa.
5.4.2 Berdirinya Kerajaan Maespati
Di Kahyangan Suralaya, Batara Guru sedang dihadap Batara
Narada dan para Dorandara, sedang membicarakan tentang Palau
Slaka Tanah Indukeling yang sudah berubah menjadi Negara
Alengka dan yang menjadi raja di sana adalah Prabu Dasamuka
(Rahwana) titisan Raden Rasa Sejati yang terkenal mempunyai ke252
digdayaan dan kesaktian yang luar biasa. Di alam mercapada taka
ada yang sanggup menandingi kesaktian Prabu Dasamuka. Batara
Guru lalu memanggil Batara Wisnu sebagai senapati di Kahyangan
Suralaya. Setelah Batara Wisnu menghadap, Batara Guru memberi
dua pertanyaan, lalu disuruh memilih. Pertanyaan tersebut adalah
enak pungkasane lara, artinya hidup enak berakhir sengsara, atau
lara pungkasane enak, artinya sengsara dahulu senang kemudian.
Di beri pertanyaan tersebut Batara Wisnu memilih yang nomer
dua (2), setelah menentukan pilihannya, Batara Guru lalu memerintahkan
kepada Batara Wisnu beserta Batari Sri Widowati, dan
juga Batara Basuki yaitu kakak Batara Wisnu untuk turun ke alam
mercapada menggelar jaman Tirtalaya, untuk mengimbangi kesaktian
Prabu Dasamuka.
Batara Wisnu menyanggupi, lalu mohon diri untuk kembali
ke Kahyangan Nilawindu atau Kahyangan Batralaut. Batara Wisnu
memanggil kakaknya yaitu Batara Basuki dan Batari Sri Widowati lalu
keduanya diajak turun ke alam mercapada untuk menggelar jaman
Tirtalaya. Di tengah perjalanan Batara Wisnu bertemu dengan Semar
dan Bagong lalu keduanya diajak bersama-sama di hutan Indrasana.
Di ceritakan, pada waktu yang bersamaan, Prabu Dasamuka
sedang mengelilingi wilayah Negara Alengka dengan cara terbang di
udara, dari kejauhan Prabu Dasamuka melihat cahaya yang menyilaukan
lalu didekati, setelah dekat cahaya tersebut keluar dari ketiga
dewata yang baru turun Kahyangan Suralaya yaitu Batara Wisnu,
Batara Basuki, dan Batari Sri Widowati. Melihat kecantikan Batari Sri
Widowati, Prabu Dasamuka teringat bahwa ia adalah titisan Raden
Rasa Sejati.
Gambar 4.3 Kumbakarna
253
Gambar 4.4 Sarpakenaka dan Wibisana
Maka dari itu tanpa rasa takut dan malu Prabu Dasamuka
meminta supaya Batari Sri Widowati mau menjadi istrinya. Mendengar
perkataan Prabu Dasamuka, Batara Wisnu marah, terjadilah
peperangan antara Batara Wisnu melawan Prabu Dasamuka. Mereka
berperang dengan menggunakan kesaktian masing-masing, tetapi
keduanya sama-sama sakti dan digdaya, sehingga sampai beberapa
lama berperang dan belum kelihatan siapa yang menang dan
siapa yang kalah. Lalu Batara Wisnu meminta waktu sebentar untuk
bertanya kepada Batari Sri Widowati dia mau apa tidak seumpama di
peristri oleh Prabu Dasamuka Prabu Dasamuka mengijinkan lalu
bendera perang dirobohkan. Batara Wisnu lalu memanggil istrinya,
keduanya bersemedi untuk menciptakan gambaranya masing-masing.
Setelah selesai, gambar tersebut ditukar, Batara Wisnu
membawa gambar Batari Sri Widowati, sedangkan gambar Batari Sri
Widowati di bawa Batara Wisnu, lalu keduanya bersumpah, besuk
kalau sudah menjadi manusia, Batari Sri Widowati tidak akan bersuami
kecuali calon suaminya nanti sama dengan gambar yang telah
dibawanya, yaitu gambar Batara Wisnu, begitu pula sebaliknya dengan
Batara Wisnu. Batari Sri Widowati lalu disuruh berlari manjauhi
hutan Indrasana. Setelah Batari Sri Widowati pergi, semar dan Bagong
dipanggil oleh Batara Wisnu, keduanya disuruh mencari satriya
yang mempunyai drajat calon raja, keduanya lalu mohon diri. Setelah
mempersiapkan segalanya, Batara Wisnu lalu menemui Prabu Dasamuka,
dia berkata bahwa Batari Sri Widowati tidak mau di peristri
oleh Prabu Dasamuka yang berwatak angkara. Mendengar perkataan
Batara Wisnu, Prabu Dasamuka menjadi murka kepada Batara
Wisnu, sehingga terjadi peperangan lagi, dalam peperangan itu se254
mua pusaka sudah tidak berguna karena keduanya tidak mempan
dengan senjata, lalu keduanya bergulat dan berguling di tanah, dalam
pergulatan itu gambar Batari Sri Widowati yang di bawa Batara
Wisnu hilang entah kemana rimbanya, karena kalah besar, Batara
Wisnu dapat dipegang oleh Prabu Dasamuka, lalu dilempar jauh dan
jatuh di dekat Bangunan yang semuanya terbuat dari besi (Gedong
waja). Setelah bangun, Batara Wisnu teringat bahwa bangunan Gedong
waja itu buatanya sewaktu dulu melawan Keboandanu. Sambil
masuk ke dalam Gedong waja, Batara Wisnu menantang Prabu Dasamuka
dari kajauhan. Mendengar tantangan Batara Wisnu, Prabu
Dasamuka tambah murka, dia mengambil limpung Candrasa, Gedong
waja dipukuli dengan senjata limpung Candrasa dari luar, karena
bangunan itu terbuat dari baja pilihan, maka senjata limpung tidak
mampu merobohkannya hingga Prabu Dasamuka kelelahan.
Melihat Prabu Dasamuka yang kelelahan, terdengar suara
dari dalam Gedong Waja Batara Wisnu bersabda kepada Prabu Dasamuka,
sebenarnya Prabu Dasamuka memukuli Gedong waja itu
salah, sebab yang dicari adalah Batari Sri Widowati, sedangkan sekarang
Batari Sri Widowati sudah berlari jauh dari hutan Indrasana,
mendengar perkataan Batara Wisnu, Prabu Dasamuka lalu pergi
meninggalkan Gedong waja, berlari mengejar Batari Sri Widowati.
Batari Sri Widowati berlari dan di buru oleh Prabu Dasamuka hingga
sampai ke negara Sela Perwata, sedangkan gambar Batara Wisnu
yang dibawanya telah hilang tak tahu kemana rimbanya. Batari Sri
Widowati saking takutnya, jangan sampai tertangkap oleh Prabu Dasamuka,
Batari Sri Widowati lalu masuk ke dalam pucuk (menur) gapura
yang ada di wilayah Negara Sela Perwata. Melihat kejadian itu,
Prabu Dasamuka lalu memanggil raksasa Kala Darimuna dan Kala
Darumkala, keduanya adalah raksasa pengikut Prabu Dasamuka
yang sangat setia. Kedua raksasa tersebut di suruh mengawasi Batari
Sri Widowati yang berada di dalam menur gapura Sela Perwata,
sewaktu-waktu Batari Sri Widowati pindah dari tempatnya, kedua
raksasa tersebut di suruh melapor kepada Prabu Dasamuka. Sedangkan
Prabu Dasamuka sendiri pulang ke Negara Alengka sebab
sudah lama meninggalkan kerajaan.
Di Pertapan Cendana Setilar, Begawan Jamanendra sedang
di hadap oleh ketiga anaknya, yaitu Raden Kertawirya, raden
Kerta Gunawan, Raden Kerta Suwaja. Begawan Jamanendra bersabda
kepada ketiga putranya, bahwa ketiganya sudah cukup mendapatkan
pelajaran dari Begawan Jamanendra, oleh sebab itu ketiga
putranya disuruh turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang sudah
didapatnya. Lalu ketiganya mohon diri untuk turun gunung.
Di perjalanan, ketiga satriya tersebut bertemu dengan Semar
dan Bagong yang kebetulan disuruh Batara Wisnu mencari bibit
calon raja, lalu ketiganya di ajak menghadap kepada Batara Wisnu.
Di tangah hutan Indrasana, Batara Wisnu menerima kedatangan Se255
mar dan Bagong yang di ikuti oleh ketiga orang satriya yang sangat
tampan. Batara Wisnu menerima ketiganya dengan baik, maka setelah
perkenalan, Batara Wisnu lalu bersemedi meminta kepada dewata
Agung supaya dikabulkan oleh dewata. Hutan Indrasana yang tadinya
ditumbuhi oleh pepohonan yang lebat, seketika itu juga menjadi
bentuk bangunan negara yang lengkap dengan segala isinya, lalu
negara tersebut di beri nama: Negara Maespati. Karena Raden Kertawirya
adalah saudara yang tertua di antara ketiga bersaudara, maka
Raden Kertawirya di angkat menjadi raja pertama dengan gelar
Prabu Kertawirya. Raden Kerta Gunawan menjadi patih di Negara
Maespati bergelar Patih Gumiyatmaja. Sedangkan Raden Kerta Suwaja
tidak mau menjadi pejabat negara dia ingin menjadi brahmana
seperti ayahnya yaitu Begawan Jamanendra. Raden Kerta Suwaja
lalu diperintahkan untuk menebang pohon jati (babat alas jati) yang
tak jauh dari Negara Maespati. Setelah di tebang di dirikan sebuah
bangunan pertapaan yang di beri nama Pertapaan Jatisrana atau
pertapan Sulingga. Raden Kerta Suwaja menjadi brahmana bergelar
Begawan Suwaja. Batara Wisnu akhirnya dapat menemukan calon
ratu agung yang mampu dan sanggup membasmi sifat angkara murka,
karena angkara murka telah merusak jagad raya. Setelah mempersiapkan
segalanya, Batara Wisnu lalu mohon diri untuk kembali
ke Kahyangan Nilawindu, sedangkan Semar dan Bagong ikut Prabu
Kertawirya sebagai abdi dalem sekaligus sebagai pamong.
Gambar 4.5 Begawan Suwaja
256
5.4.3 Lakon Icir Keraton (Berdirinya Negara Hastina).
Sumber Buku “ Layang Kandha Kelir” serial Mahabharata.
Di istana negara Gilingwesi, Prabu Resapada sedang dihadap
oleh Patih Gentayasa atau Gentawiyasa, beserta para punggawa
sedang membahas adik Prabu Respada yang bernama Dewi
Resweni yang dianggap sebagai perawan tua, meskipun banyak
yang melamar tetapi belum mau berumah tangga. Selain itu, mereka
membicarakan kedua anak Prabu Respada yang bernama Dewi
Reswati, dan Dewi Resawulan yang sudah berangkat dewasa serta
telah banyak yang melamar, tetapi kedua putri itu belum juga mau dikawinkan
sehingga membuat sedih Prabu Respada. Belum selesai
berbicara tiba-tiba ada tamu
bernama Raden Kuswanalendra
yang berniat
meminta-minta kursi singgasana
yang sedang diduduki
Prabu Respada. Raden
Kuswanalendra keluar
dan Prabu Respada menyuruh
Patih Genthayasa
untuk mengusir Kuswanalendra
karena meminta
kursi yang di dudukinya di
negara Gilingwesi. Patih
Gethayasa keluar istana
diikuti oleh para wadyabala.
Sesampai di Alun-alun,
Patih Genthayasa menemui
Kuswanalendra dan
menghimbau agar segera
meninggalkan negara Gilingwesi
supaya tidak menimbulkan
keributan.
Raden Kuswanalendra tidak bersedia pergi, bahkan berterus
terang bahwa kedatangannya ini ingin menjadi raja di Negara Gilingwesi.
Mendengar jawaban Raden Kuswanalendra, Patih Genthayasa
sangat marah, sehingga terjadi pertempuran antara Patih Genthayasa
melawan Raden Kuswanalendra. Patih Genthayasa kewalahan
meladeni kesaktian Raden Kuswanalendra, segera ia menyiapkan
wadyabala. Raden Kuswanalendra dibantu oleh Raden Berjanggapati,
semar dan bagong. Raden Berjanggapati melepaskan
pusaka neraca bala, sehingga terjadi hujan anak panah di alun-alun
Negara Gilingwesi menghujani dan menyerang para wadyabala Negara
Gilingwesi. Akibatnya, banyak wadyabala yang tewas dan terluka.
Wadyabala Negara Gilingwesi mundur, namun terus diburu oleh
Gambar 4.6 Kuswanalendra
257
Raden Kuswanalendra beserta Raden Berjanggapati sampai ke dalam
istana.
Di dalam istana Negara Gilingwesi, Prabu Respada mendapat
laporan Patih Genthayasa, bahwa para wadyabala Negara Gilingwesi
tidak mampu menghadapi Raden Kuswanalendra dan Raden
Berjanggapati. Prabu Respada merasa kawatir, lalu beliau memerintahkan
Patih Genthayasa untuk menyelamatkan dan mengungsikan
dewi Reswani dan segera meninggalkan istana Negara Gilingwesi.
Segeralah mereka melarikan diri dari pintu rahasia.
Setelah Patih Genthayasa dan dewi reswani meninggalkan
istana, Raden Kuswanalendra datang beserta Raden Berjanggapati,
Semar dan Bagong. Prabu Respada di tangkap Raden Kuswanalendra
hendak dibunuhnya tetapi segera dicegah oleh Raden Berjanggapati
Semar dan Bagong. Raden Kuswanalendra tetap pada pendiriannya,
ingin menguasai kerajaan Negara Gilingwesi. Sebelum melaksanakan
niatnya membunuh Prabu Respada, tiba-tiba datanglah
dewi Resawati dan Resawulan, memohon kepada Raden Kuswanalendra
agar sudi melepaskan Prabu Respada, mereka berdua sanggup
menggantikan hukuman ayahnya. Melihat kecantikan kedua gadis
tersebut, Raden Kuswanalendra mengurungkan niatnya untuk
membunuh Prabu Respada. Sebagai gantinya dewi Resawati dan
Resawulan akan dikawinkan dengan Raden Kuswanalendra dan Raden
Berjanggapati. Kedua putri itu menyanggupinya. Akhirnya Prabu
Respada diampuni, tetapi tidak berkuasa lagi di Negara Gilingwesi,
Prabu Respada juga sanggup. Selanjutnya Raden Kuswanalendra
menikah dengan dewi Resawati, dewi Resawulan menjadi istri Raden
Berjanggapati. Raden Kuswanalendra menggantikan kedudukan
Prabu Respada sebagai raja Negara Gilingwesi bergelar Prabu Kuswanalendra.
Melihat kajadian itu, Semar dan Bagong tidak berkenan
dengan apa yang telah dilakukan oleh Raden Kuswanalendra karena
telah meninggalkan watak satriya, maka Semar dan Bagong meninggalkan
Negara Gilingwesi, mencari kerabat keturunan kasutapan.
Diceritakan, Patih Genthayasa yang mendapat perintah mengungsikan
Dewi Resweni telah sampai di tengah hutan, mereka
beristirahat karena kelelahan berlari. Setelah hilang rasa lelahnya
Patih Genthayasa mendekati Dewi Resweni dan menyatakan cintanya
kepada Dewi Resweni. Mendengar pernyataan Patih Genthayasa
Dewi Resweni terkejut dan merasa risih jika berdekatan dengan
Patih Genthayasa, maka Dewi Resweni melarikan diri menghindar
dari Patih Genthayasa. Patih Genthayasa berusaha mengejarnya.
Dalam pelarian itu, Dewi Resweni memasuki wilayah Pertapaan Tejageni.
Di Pertapaan Tejageni, Begawan Bahusena sedang mengasuh
putranya yang bernama Raden Bahusancana atau Raden
Mandrabahu. Diceritakan, setelah Begawan Sekutrem dan Begawan
Sakri meninggal dengan keadaan hilang bersama raganya (Mekrat),
258
Pertapaan Tejageni menjadi kosong. Oleh karena itu, Batara Narada
menurunkan putra Prabu Harjuna Wijaya yang bernama Raden Bahusena.
Semasa hancurnya negara Mahespati, Bahusena masih kecil.
Saat ini Bahusena diserahi tugas untuk membangun Pertapaan
Tejageni dan bergelar Begawan
Bahusena. Sebagai upah Bahusena
dinikahkan dengan bidadari
yang sangat cantik bernama
Dewi Mandrawati putri Batara
Sukra. Sudah menjadi kehendak
Batara Agung, bahwa
dewi Mandrawati meninggal dunia
ketika malahirkan Raden
Mandrabahu. Dengan perasaan
sedih Begawan Bahusena berusaha
membesarkan Raden
Mandrabahu sendirian tanpa istrinya.
Saat termenung memikirkan
nasibnya, Begawan Bahusena
di kejutkan oleh suara
orang bersendau gurau. Begawan
Bahusena sambil menggend
Mandrabahu mendekati
suara itu. Kiranya setelah meninggalkan
negara Gilingwesi
Semar dan Bagong tersesat
sampai di Pertapaan Tejageni.
Mereka berkenalan, Begawan Bahusena menyatakan,
bahwa ia sebetulnya putra raja Mahespati, putra Prabu Harjuna Wijaya
yang dilahirkan oleh dewi Srinadi. Mendengar keterangan Begawan
Bahusena, Semar dan Bagong merangkul Begawan Bahusena
sambil menangis. Setelah reda tangisnya, Semar bercerita, bahwa ia
dulu bekas Abdi Prabu Harjuna Wijaya. Sebetulnya Prabu Harjuna
Wijaya mempunyai dua putra yang dilahirkan oleh kedua istrinya.
Dewi Citrawati malahirkan Raden Kusumacitra yang sewaktu kerusuhan
terjadi di selamatkan Semar dan Bagong, dan yang satu lagi
Raden Bahusena yang dilahirkan oleh Dewi Srinadi, yang pada waktu
terjadi kerusuhan masih bayi dan diberitakan hilang. Kiranya hilangnya
Raden Bahusena pada waktu itu diambil oleh dewata. Begawan
Bahusena membenarkan cerita Semar itu setelah jelas persoalanya.
Semar dan Bagong bersedia mengikuti Begawan Bahusena
bertempat tinggal di Pertapaan Tejageni. Semar dan Bagong membantu
mengasuh Raden Mandrabahu.
Setelah beberapa hari di Pertapan Tejageni, Semar dan
Bagong dipanggil Begawan Bahusena untuk diajak berunding. Berhubung
Raden Mandrabahu sudah besar, maka Begawan Bahusena
Gambar 4.7 Begawan Sakri
259
ingin menebang hutan dan membangun suatu negara yang nantinya
akan diberikan kepada Raden Mandrabahu. Semar dan Bagong sangat
setuju dengan rencana Begawan Bahusena itu, maka mereka
segera mengadakan persiapan untuk mencari hutan mana yang hendak
di tebang.
Gambar 4.8 Bagong dan Semar
Belum sampai berangkat, tiba-tiba mereka mendengar suara
jeritan minta tolong. Begawan Bahusena mencari suara itu, tampak
dari kejauhan Dewi Resweni sedang berlari dikejar Patih Genthayasa.
Sesampai di hadapan Begawan Bahusena Dewi Resweni
menangis minta pertolongan, dijelaskan bahwa ia dipaksa Patih
Genthayasa hendak diperistri, maka bila Begawan Bahusena sanggup
menolong, Dewi Resweni bersedia menjadi istri Begawan Bahusena.
Dewi Resweni lalu diajak masuk ke dalam pertapaan. Melihat
Dewi Resweni ada yang menolong, Patih Genthayasa menjadi marah,
sehingga terjadi pertempuran antara Begawan Bahusena melawan
Patih Genthayasa. Patih Genthayasa kalah, lalu menyerah dan
minta ampun kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena memaafkan
Patih Genthayasa dengan sarat Patih Genthayasa tidak boleh
mengganggu Dewi Resweni, sebab Dewi Resweni akan menjadi
260
istri Begawan Bahusena. Patih Genthayasa sanggup, lalu diampuni
dan dipersilahkan tinggal di Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa
diserahi menjaga keselamatan Dewi Resweni dan Raden Mandrabahu,
sebab Begawan Bahusena akan menebang hutan.
Begawan Bahusena meneruskan niatnya menebang hutan
dibantu Semar dan Bagong. Begawan Bahusena berjalan sampai di
tempat yang banyak ditumbuhi tanaman ubi (uwi) semacam ubi jalar
yang pohonya melilit ke atas dan ubinya di dalam tanah. Setelah dirasa
cocok maka dimulailah pekerjaan mebabati tumbuhan uwi itu.
Diceritakan, saat tengah bekerja menebang hutan, Begawan
Bahusena melihat dari kejauhan Dewi Resweni menggendong
Raden Mandrabahu sambil menangis lalu mengadu bahwa ia diganggu
Patih Genthayasa. Mendengar aduan istrinya, Begawan Bahusena
bangkit amarahnya. Begawan Bahusena meninggalkan hutan
menuju Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa yang melihat kedatangan
Begawan Bahusena sambil marah itu menjadi sangat ketakutan,
lalu menyembah meminta maaf. Begawan Bahusena merasa
kasihan melihat Patih Genthayasa seperti itu, kemudian Dewi Resweni
dipanggil dan diajak masuk ke dalam sanggar pamujan. Sesampai
didalam sanggar, Begawan Bahusena bersemedi mohon petunjuk
dewata lalu mengambil Daki Dewi Resweni seketika itu, munculah
seorang putri menyerupai Dewi Resweni, putri tersebut diberi
nama Dewi Reswati. Selanjutnya Dewi Reswati di ajak keluar untuk
menemui Patih Genthayasa. Dewi Reswati diberikan kepada Patih
Genthayasa sebagai istrinya, sehingga Patih Genthayasa sangat
gembira. Begawan Bahusena memerintahkan Patih Genthayasa dan
istrinya meninggalkan Pertapaan Tejageni, disuruh menebang hutan
gambir, kelak jika sudah menjadi negara, seyogyanya dinamakan
negara Gambir Anom.
Dengan senang hati Patih Genthayasa dan Reswati meninggalkan
Pertapaan Tejageni. Setelah sampai di hutan gambir, hutan
ditebang hingga akhirnya dijadikan sebuah negara, sesuai dengan
pesan Begawan Bahusena, negara itu diberi nama negara
Gambir Anom. Patih Genthayasa menjadi raja pertama bergelar Prabu
Genthayasa.
Diceritakan setelah kepergian Patih Genthayasa dan istrinya,
Begawan Bahusena meneruskan menebang hutan hingga selesai,
serta mengubah menjadi sebuah negara yang dinamakan negara
Wiratha. Raja pertama negara Wiratha adalah Raden Mandrabahu
bergelar Prabu Anom Bahusancana.
Perkawinan Begawan Bahusena dengan Dewi Resweni juga
membuahkan seorang putra yang bernama Raden Swandana.
Untuk menjaga jangan sampai kedua anaknya berebut negara, maka
Begawan Bahusena menebang hutan lagi yang di tebang adalah hutan
pohon ingas, setelah selesai di tebang, dibangun sebuah negara,
dinamai negara Ngastina atau Hastina. Raja pertama di negara
261
Ngastina adalah Raden Swandana bergelar Prabu Anom Sentanu
Dewa.
Diceritakan, setelah berdirinya negara Wiratha dan Ngastina,
kedua negara tersebut berkembang dengan pesat, rakyatnya semakin
banyak karena tanahnya subur, banyak masyarakat di sekitar
kedua negara itu berdagang ke negara Ngastina dan menetap di sana
serta tak kembali lagi ke negaranya termasuk para kawula di Negara
Gilingwesi. Banyak yang maninggalkan Negara Gilingwesi karena
tidak senang dengan peraturan Raden Kuswanalendra yang sangat
sombong. Melihat rakytnya banyak pindah ke negara Ngastina
dan Wiratha, Prabu Kuswanalendra
menyiapkan
pasukannya untuk menyerang
Wiratha. Sesampai di
alun-alun Wiratha, Prabu
Kuswanalendra dan pasukannya
dihadang oleh Begawan
Bahusena dan wadyabala
negara Wiratha.
Terjadilah perang yang
sangat seru di alun-alun
negara Wiratha, Begawan
Bahusena dike-royok oleh
Prabu Kuswa-nalendradan
raden Berjanggapati, akan
tetapi keduanya dapat ditangkap
dan di ikat oleh
Begawan Bahusena. Melihat
raja nya ditawan Begawan
Bahusena, wadyabala
negara Gilingwesi
melarikan diri ke negaranya.
Setelah Prabu Kuswanalendra
dan Raden Be
janggapati ditawan mereka
mengaku salah dan
merasa bersalah kepada
Begawan Bahusena, akhirnya mereka berdua meminta pengampunan
kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena merasa kasihan
kepada mereka berdua, keduanya diampuni tetapi tidak diperbolehkan
kembali ke Negara Gilingwesi. Prabu Kuswanalendra diperintahkan
menebang hutan pohon Cangkring, yang banyak terdapat
tawon gung. Prabu Kuswanalendra menebang pohon cangkring akibatnya
banyak lebah (tawon) yang mati tertimpa pohon, disana ada
raja tawon yang bernama raja Galenggung, melihat kawulanya banyak
yang mati timbul amarahnya. Dia keluar dari sarangnya dan
Gambar 4.9 Berjanggapati
262
menyerang Prabu Kuswanalendra. Prabu Kuswanalendra mengambil
panah sakti lalu dilepaskan mengenai raja Galenggung dan seketika
itu mati. Prabu Kuswanalendra marah tempat raja Galenggung
dihujani panah sehingga di sekitar tempat itu banjir madu. Begawan
Bahusena membantu Prabu Kuswanalendra, tempat itu di sabda
menjadi kerajaan di beri nama negara Madura (Mandura), Prabu
Kuswanalendra menjadi raja pertama bergelar Prabu Kuswanalendra
atau Prabu Basukiswara. Raden Berjanggapati diperintahkan menebang
hutan yang dihuni oleh burung rako (semacam burung bangau),
setelah menjadi rata disabda oleh Begawan Bahusena menjadi
kerajaan, diberi nama negara Mandaraka. Raden Berjanggapati
menjadi raja pertama ber-gelar Prabu Berjanggapati atau Prabu Indraspati.
5.4.4 Dewabrata Lahir
Di negara Wiratha Prabu Matswapati, Patih Lirbita dan para
punggwa sedang membicarakan Begawan Parasara yang telah meninggalkan
negara Wiratha membawa serta putranya yaitu Raden
Kresna Dwipayana (Raden Abiyasa), sedangkan Dewi Ambarwati
(Dewi Durgandini) ditinggalkan di negara Wiratha, sebab Begawan
Parasara menjalani tapa Wadat (bertapa yang mencegah jangan
sampai mengeluarkan sperma). Sedangkan di negara Wiratha sedang
terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh para raja sewu yang
ingin melamar Dewi Ambarwati.
Prabu Matswapati lalu memanggi bupati Sawojajar yaitu
Raden Harya Kincaka dan bupati Reca Manik atau Raden Harya
Kincaka Rupa. Mereka berdua diperintahkan untuk mengusir raja sewu
yang menduduki alun-alun Wiratha. Raden Kincaka dan Raden
Kincaka Rupa segera melaksanakan perintah itu beserta dengan para
wadyabala. Sesampainya di tengah alun-alun Raden Kincaka menemui
Prabu Candrakilasmara pemimpin dari raja sewu. Raden Kincaka
mengatakan, bahwa sebaiknya para raja sewu segera meninggalkan
negara Wiratha karena Dewi Ambarwati sekarang sudah diperistri
oleh Begawan Parasara. Mendengar perkatan Raden Kincaka
Prabu Candrakilasmara menjadi marah, merasa bahwa ia dan raja-
raja sewu lainya telah dikelabui raja Wiratha, maka Prabu Candrakilasmara
ingin menghukum Raja Wiratha. Setelah mendengar pernyataan
Prabu Candrakilasmara seperti itu maka Raden Kincaka
pun marah, sehingga terjadi pertempuran antara Raden Kincaka melawan
Prabu Candrakilasmara.
Prabu Candrakilasmara sangat kerepotan menghadapi Raden
Kincaka, maka para raja lainnya turut membantunya. Melihat para
raja menyerang bersama, Raden Kincaka Rupa dan Patih Lirbita
maju dengan mengerahkan wadyabala Wiratha, namun karena jumlah
prajuritnya kalah banyak dari jumlah prajurit para raja sewu, maka
wadyabala Wiratha terdesak mundur. Untunglah ketika wadyaba263
la Wiratha baru saja mundur datanglah bantuan dari Raden Rajamala
dan Raden Wayuta Tunggul Wulung. Mendapat bantuan dari kedua
satriya itu keadaan jadi berbalik, sekarang wadyabala raja sewu
terdesak mundur, Raden Kincaka tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Dia mengambil gada gelas putih, dengan menaiki kuda yang sangat
besar Raden Kincaka menyerbu sendirian menyeruak barisan raja
sewu sehingga raja sewu banyak yang terluka dan terbunuh. Mengetahui
saudaranya banyak yang terbunuh Prabu Candrakilasmara memerintahkan
wadyabalanya untuk mundur dan meninggalkan negara
Wiratha.
Gambar 4.10 Sentanudewa
Setelah berhasil mengusir raja sewu dan wadyabalanya,
Raden Kincaka dan saudara-saudaranya kembali ke istana. Di dalam
istana Wiratha, Prabu Matswapati menerima kedatangan Dewi
Ambarwati yang menyatakan sudah kangen dengan Raden Kresna
Dipayana, serta ingin menyusulnya. Dewi Ambarwati minta ijin kepada
kakaknya untuk menyusul Begawan Parasara dan Raden Kresna
Dipayana ke pertapaan Rahtawu atau Saptaarga. Dengan berat hati
Prabu Matswapati mengijinkan adiknya pergi ke pertapaan Saptaarga.
Setelah Dewi Ambarwati berangkat menuju pertapan Saptaarga,
datanglah Raden Kincaka dengan ketiga saudaranya melaporkan
bahwa raja sewu telah meninggalkan negara Wiratha. Raden Kincaka
lalu diperintahkan untuk menyusul serta menjaga dari jauh perjalanan
Dewi Ambarwati menuju ke pertapaan Rahtawu. Raden Kincaka
Rupa dan Raden Rajamala dan Raden Wayuta Tunggul Wulung
264
diperintahkan sementara waktu untuk menjaga istana Wiratha. Raden
Kincaka segera pergi meninggalkan Istana Wiratha menyusul
Dewi Ambarwati.
Sementara itu di negara Ngastina, Prabu Sentanu sedang
dihadap Patih Bantheng Kistawa atau Patih Dasabahu. Prabu Sentanu
sedang bersedih karena ditinggal mati oleh Dewi istrinya yaitu
Dewi Sancanawulan yang meninggal dunia disaat melahirkan putranya
yang di beri nama Raden Dewabrata. Negara Ngastina untuk sementara
waktu diserahkan ke Patih Dasabahu, sedangkan Prabu
Sentanu akan segera keluar istana untuk menghibur diri sambil mengasuh
Raden Dewabrata yang selalu menangis minta disusui ibunya.
Prabu Sentanu segera menggendong Raden Dewabrata meninggalkan
negara Ngastina, diperjalanan Raden Dewabrata selalu
menangis minta disusui, dia berhenti menangis hanya sewaktu tidur,
setelah bangun Raden Dewabrata menangis lagi. Dalam kesedihannya
melihat Raden Dewabrata itu, Prabu Sentanu berkata dalam hati,
bahwa siapa saja putri yang dapat menghentikan tangis Raden
Dewabrata dan dapat memberikan air susunya untuk membesarkan
Raden Dewabrata, maka ia rela memberikan negara Ngastina kepada
putri tersebut sebagai gantinya.
Dalam perjalanan sambil melamun itu, Prabu Sentanu berpapasan
dengan Dewi Ambarwati yang sedang dalam perjalanan
menuju ke Pertapaan Rahtawu. Dewi Ambarwati setelah mendengar
ada anak sedang menangis, teringatlah ia pada Raden Kresna Dipayana.
Anak tersebut dihampirinya, kebetulan payudara Dewi Ambarwati
sedang sangat sakit dan harus dikeluarkan air susunya, segeralah
Raden Dewabrata yang berada dalam gendongan Prabu Sentanu
diminta lalu digendong dan disusuinya. Raden Dewabrata menyusu
Dewi Ambarwati dengan lahap, karena telah sekian lama mengharapkan
air susu ibu. Setelah puas menyusu Raden Dewabrata tenang
kembali. Dewi Ambarwati memandang Prabu Sentanu yang
berada di dekatnya, setelah itu melihat Raden Dewabrata yang ternyata
bukan anaknya sendiri, maka Dewi Ambarwati tersadar dan
terkejut seketika itu pula Raden Dewabrata yang digendongnya terlepas
dan jatuh di tanah, Raden Dewabrata menjerit kesakitan. Melihat
Raden Dewabrata terjatuh dan menjerit kesakitan, Prabu Sentanu
marah-marah, Dewi Ambarwati dimaki-maki bahkan akan ditempeleng.
Raden Kincaka yang mengawasi dari kejauhan setelah melihat
Dewi Ambarwati akan di tempeleng orang lain maka menjadi sangat
marah dan murka, sehingga tanpa bertanya, Prabu Sentanu ditendangnya
sehingga terjadi perkelahian. Selama perkelahian berlangsung
antara Prabu Sentanu melawan Raden Kincaka maka Raden
Dewabrata digendong Dewi Ambarwati
Diceritakan kebetulan pada waktu itu, Begawan Parasara
yang sedang menggendong Raden Abiyasa didampingi Semar dan
Bagong sedang berada di seputar tempat pertempuran berlangsung.
265
Gambar 4.11 Dewabrata
Gambar 4.12 Abiyasa
266
Mendengar ada keributan Begawan Parasara melihat Dewi Ambarwati
sedang menggendong putra yang seumur dengan Raden Kresna
Dipayana, dan melihat yang bertempur adalah Raden Kincaka
melawan Prabu Sentanu, maka peperangan itu segera dilerai. Dijelaskan
oleh Semar, bahwa sebetulnya mereka itu masih ada hubungan
persaudaraan. Prabu Sentanu adalah adik Prabu Mandrabahu
Raja Negara Wiratha yang mempunyai dua orang anak angkat yaitu
Prabu Matswapati dan Dewi Ambarwati. Dewi Ambarwati adalah istri
Begawan Parasara dan Raden Kincaka adalah anak angkat Begawan
Parasara dan Dewi Ambarwati. Dengan demikian Dewi Ambarwati
adalah kemenakan Prabu Sentanu dan Raden Kincaka adalah
cucu kemenakan Prabu Sentanu, mengapa terjadi pertempuran.
Prabu Sentanu lalu bercerita sebetulnya ia sedang bersedih dan prihatin
karena ditinggal mati Dewi Sancanawulan permaesuri negara
Ngastina yaitu meninggal saat melahirkan Raden Dewabrata. Beliau
bersumpah, jikalau ada putri yang dapat menghentikan tangis Raden
Dewabrata dan dapat mengasuhnya sampai dewasa, Prabu
Sentanu sanggup memberikan negara Ngastina sabagai gantinya.
Ternyata yang bisa menghentikan tangis Raden Dewabrata adalah
Dewi Ambarwati, padahal Dewi Ambarwati adalah istri Begawan Parasara.
Begawan Parasara pun bercerita, bahwa sebetulnya sejak
ia meninggalkan negara Wiratha, Dewi Ambarwati telah diberi pilihan,
akan kawin lagi atau tidak, sebab Begawan Parasara mulai saat
itu menjalani tapa wadat, bertekat untuk tidak mengeluarkan sperma
selama-lamanya. Oleh sebab itu keputusan mau menikah atau tidak
berada di tangan Dewi Ambarwati. Jikalau Prabu Sentanu merasa
senang dan mau mencintai Dewi Ambarwati, Begawan Parasara mengijinkan,
asalkan sama-sama mencintainya. Prabu Sentanu lalu
bertanya pada Dewi Ambarwati, apa kiranya mau menjadi istrinya.
Dewi Ambarwati sanggup menjadi istri Prabu Sentanu, serta
sanggup mengasuh dan menyusui Raden Dewabrata sampai dewasa,
asalkan sesuai dengan janji Prabu Sentanu, yakni memberikan
negara Ngastina beserta isinya sebagai ganti air susu Dewi Ambarwati,
sebab air susu yang akan diberikan kepada Raden Dewabrata
adalah hak Raden Kresna Dipayana. Apakah Prabu Sentanu
sanggup, dan mau berjanji, kelak kemudian hari kalau Raden Kresna
Dipayana sudah cukup umur untuk menjadi raja, negara Ngastina
akan diserahkan kepada Raden Kresna Dipayana. Prabu Sentanu
menyanggupinya, mereka bersama-sama pergi ke negara Wiratha.
Sesampainya di negara Wiratha, Prabu Sentanu melamar
Dewi Ambarwati kepada Prabu Matswapati sebagai kakaknya, lalu
memberikan janji seperti yang telah disepakati. Selanjutnya, dibuatlah
surat perjanjian yang ditanda tangani oleh Prabu Matswapati,
Prabu Sentanu dan Begawan Parasara dengan disaksikan oleh Raden
Kincaka, Semar dan Bagong. Surat perjanjian tersebut disimpan
267
Prabu Matswapati di istana negara Wiratha. Setelah itu Begawan
Parasara minta ijin kepada Prabu Matswapati untuk kembali ke pertapaan
Saptaarga diikuti Semar dan Bagong. Begitu pula Prabu Sentanu
minta ijin kembali ke negara Ngastina beserta dengan Dewi
Ambarwati yang sudah resmi menjadi istri Prabu Sentanu.
Di tengah perjalanan pulang, Prabu Sentanu bersama istrinya
yang sedang menggendong Raden Dewabrata, mendadak dihadang
oleh Patih Bateng Kistawa yang melaporkan bahwa di alunalun
negara Ngastina sedang terjadi keributan. Ada serbuan dari negara
Indrapuri yang dipimpin putra Prabu Kala Segara yang bernama
Prabu Sasra Marjapa dengan para wadyabala Indrapuri yang sangat
banyak, bermaksud membalas dendam kepada Prabu Sentanu atas
kematian Prabu Kala Segara. Mendengar laporan patih Dasabahu
itu, Prabu Sentanu memerintahkan Patih Banteng Kistawa untuk menyiapkan
wadyabala Ngastina yang ada, sedangkan Prabu Sentanu
sendiri akan langsung menuju ke alun-alun negara Ngastina untuk
menghadapi Prabu Sasramarjapa. Setiba di alun-alun, Prabu Sentanu
langsung menghadapi Prabu Sasramarjapa, dan terjadi perang
tanding yang sangat seru antara Prabu Sentanu melawan Prabu Sasramarjapa,
keduanya sama-sama digdaya dan sama-sama pandai
memainkan berbagai macam senjata. Para wadyabala Ngastina dan
wadyabala Indrapuri hanya menyaksikan jalanya peperangan dari
kejauhan. Prabu Sentanu teringat akan kematian Prabu Kala Segara
yang dahulu telah dibunuh oleh Begawan Bahusena yaitu ayah Prabu
Sentanu, dengan menggunakan pusaka Wirayang. Maka Prabu
Sentanu sambil mempersiapkan Pusaka Wirayang, sesudahnya segera
dilepaskan dan mengenai dada Prabu Sasramarjapa. Prabu
Sasramarjapa terkena pusaka Wirayang, terlempar jatuh ke pinggir
alun-alun dan tewas seketika.
Melihat Prabu Sasramarjapa mati, wadyabala Indrapuri
maju bersama ingin mengeroyok Prabu Sentanu tetapi dihadang
oleh wadyabala Ngastina yang dipimpin Patih Dasabahu, sehingga
terjadilah pertempuran yang sangat seru antara wadyabala Ngastina
melawan wadyabala Indrapuri, karena kalah banyak jumlahnya,
akhirnya wadyabala Indrapuri banyak yang terbunuh dan takluk.
Prabu Sentanu mengundang semua punggawa Ngastina dan
mengumumkan perkawinannya dengan Dewi Ambarwati, dilanjutkan
perayaan pesta di istana negara Hastina.
A1
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sugia, Ki. 2004 Naskah Pakeliran Jawatimuran, Lakon
Resa Seputra, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 9
Surabaya.
Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta.
Sinar Harapan Pengetahuan Pedalangan 1. Jakarta:
Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan
Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan
Menengah Kejuruan. 1983.
Gamelan B. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku
Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.
Haryanto.S.1989. Pratiwimba Adhiluhung. Jakarta: DJAMBATAN.
Hastanta Sri. 1995. Serba-Serbi Karawitan, Makalah Seminar
Karawitan
Hastanto Sri. 2006, Pathet Warisan Tradisi yang Terlupakan,
Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Etnomusikolgi
ISI Surakarta.
Mulyono, Sri, Ir. 1982 Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa
Depannya, Gunung Agung, Jakarta.
Panenggak Widodo, Marwoto, Ki.1984 Tuntunan Ketrampilan
Tatah Sungging Wayang Kulit, Citra Jaya,
Surabaya.
Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta. Jakarta: Depdikbud.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah
Kejuruan. 1983.
Pengetahuan Karawitan Daerah Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah
Kejuruan. 1983.
A2
Pengetahuan Karawitan Jawa Timur. Jakarta: Depdikbud.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah
Kejuruan. 1983.
RA, Djumiran, dkk.1995/1996 Lagon Vokal Dalang Jawatimuran,
Dinas P & K Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sastroamidjojo, Seno, Dr.1964 Renungan tentang Pertunjukan
Wayang Kulit, Kinta, Jakarta.
Sumarno, Poniran., & Rasona, Atot.1983 Pengetahuan
Pedalangan Jilid 2, Departemen P & K, Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan
Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta.
Soetarno. 2004. Wayang Kulit : Perubahan Makna Ritual dan
Hiburan, STSI Press, Surakarta.
Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Ramayana,
Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA
Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Mahabarata,
Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA
Sutrisno, R.1983/1984. Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya,
Proyek Pengembangan IKI, Sub Proyek ASKI
Surakarta.
Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang di Balik Wayang.
Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
B1
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Wayang Cina, Muangthai, Kamboja
Gambar 1.2 Wayang Beber Pacitan (Adegan dalam cerita
Joko Kembang Kuning)
Gambar 1.3 Wayang gaya Cirebon, dalam cerita Ramayana
Gambar 1.4 Batara Bayu (Wayang Jawa Timuran)
Gambar 1.5 Harjuna Sasrabahu (Jawa Timuran)
Gambar 1.6 Dewi Sembadra
Gambar 1.7 Batara Kala
Gambar 1.8 Bagong dan Semar menghadap Berjanggapati
Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan
(Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu
Siliwangi)
Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak
Gambar 1.11 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun
Gambar 1.12 Batara Guru (Wayang Ukur)
Gambar 1.13 Wayang Candi
Gambar 1. 14 Yudayaka (Wayang Madya)
Gambar 1. 15 Wayang Gedog
(Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari,
Ronggolawe, Prabu Klono Madukusumo)
Gambar 1.16 Wayang Klitik (Adegan Raden Damarwulan
beserta abdi punakawan Sabdapalon dan
Nayagenggong)
Gambar 1.17 Wayang Kulit Menak (Prabu Lamdahur, Prabu
Nusirwan, Dewi Muninggar, Wong Agung
Jayengrono dan Umar Moyo)
Gambar 1.18 Wayang Golek Menak dari Kebumen
(Umarmoyo)
Gambar 1.19 Wayang Sasak
Gambar 1.19 Arjuna (Wayang Bali)
Gambar 1.20 Sugriwa (Wayang Bali)
Gambar 1.21 (Wayang Dupara) Harya Panangsang
Gambar 1.22 Wayang Jawa (Jaka Tingkir)
Gambar 1.23 Wayang Suluh (Bung Karno, Bung Hatta,
Schermerhorn serta orang-orang belanda
lainya)
Gambar 1.24 Wayang Wahyu
Gambar 1.25 Bima (Wayang Pancasila)
Gambar 1.26 Wayang Sadat (Sunan Ampel dan Raden
Patah)
Gambar 1.27 Wayang Diponegaran
B2
Gambar 1.28 Makutha (Mahkota)
Gambar 1.29 Topong
Gambar 1.30 Batara Narada dengan mengunakan Serban
Gambar 2.1 Serban Pendeta
Gambar 2.2 Kopyah Panakawan
Gambar 2.3 Kopyah Mekena tanpa jamang
Gambar 2.4 Kopyah berjamang sembuliyan dan
menggunakan garuda mungkur.
Gambar 2.5 Gelung Supit Urang Polos
Gambar 2.6 Gelung supit urang dengan garuda mungkur.
Gambar 2.7 Gelung supit urang sanggan.
Gambar 2.8 Gelung keling pada wayang putri
Gambar 2.9 Gelung keling tanpa jamang, pada wayang putra
Gambar 2.10 Sanggul Keling menggunakan jamang dan
garuda mungkur
Gambar 2.11 Sanggul gembel menggunakan jamang dan
garuda mungkur
Gambar 2.12 Sanggul bundel dengan garuda mungkur
Gambar 2.13 Sanggul ukel pada wayang putri
Gambar 2.14 Mahkota (makutha) dengan jamang bersusun
tiga
Gambar 2.15 Jamang bersusun tiga dengan garuda mungkur
Gambar 2.16 Bentuk jamang dengan ragam hias tanaman
rambat
Gambar 2.17 Kelat bahu Nagamangsa
Gambar 2.18 Kelatbahu Candrakirana
Gambar 2.19 Kelat bahu Calumpringan
Gambar 2.20 Sumping Surengpati
Gambar 2.21 Sumping Waderan
Gambar 2.22 Sumping Sekar Kluwih
Gambar 2.23 Sumping Pudak Sinumpet
Gambar 2.24 Kalung makara/kebo mengah
Gambar 2.25 Ulur-ulur Naga karangrang
Gambar 2.26 Kalung Saputangan
Gambar 2.27 Kalung Selendang
Gambar 2.28 Sembuliyan Tunggal
Gambar 2.29 Sembuliyan Rangkap
Gambar 2.30 Lipatan Kain (suwelan)
Gambar 3.1 Sabuk Kain (kemben)
Gambar 3.2 Sabuk Sembung
Gambar 3.3 Sabuk Stagen
Gambar 3.4 Tatahan Manggaran
Gambar 3.5 Wayang Bokongan tepi kain halus
Gambar 3.6 WayangBokongan dengan sembuliyan
Gambar 3. 7 Wayang Bokong Miring
Gambar 3.8 Uncal Kencana
B3
Gambar 3.9 Uncal Wastra
Gambar 3.10 Uncal Wastra dan Uncal Kencana
Gambar 3.11 Kayon sebagai lambang api
Gambar 3.12 Kayon Sebagai lambang dunia
Gambar 3.13 Posisi kayon sebelum pertunjukan dimulai
Gambar 3.14 Posisi Kayon sebelum pertunjukan dimulai
(Kayon Jawa Timuran)
Gambar 3.15 Raden Kertawirya
Gambar 3.16 Begawan Suwaja
Gambar 3.17 Sumantri
Gambar 3.18 Sukasrana
Gambar 3.19 Matswapati (Raja Wirata)
Gambar 3.20 Jejer Negara Wiratha (Rajamala, Kencakarupa,
Rupakenca, Matswapati, Seta)
Gambar 3.21 Dewi Utari
Gambar 3.22 Basudewa (Raja Mandura)
Gambar 3.23 Narayana
Gambar 3.24 Kakrasana dan Baladewa
Gambar 3.25 Batara Narada
Gambar 3.26 Semar
Gambar 3.27 Batara Guru
Gambar 3.28 Batara Brama
Gambar 3.29 Batara Wisnu
Gambar 3.30 Sriwidowati
Gambar 4.1 Dasamuka
Gambar 4.2 Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi
Gambar 4.3 Kumbakarna
Gambar 4.4 Sarpakenaka dan Wibisana
Gambar 4.5 Begawan Suwaja
Gambar 4.6 Kuswanalendra
Gambar 4.7 Sakri
Gambar 4.8 Bagong dan Semar
Gambar 4.9 Berjanggapati
Gambar 4.10 Sentanudewa
Gambar 4.11 Dewabrata
Gambar 4.12 Abiyasa
Gambar 4.13 Tancepan dua tokoh
Gambar 4.14 Bagian Paseban dan Siti Inggil
Gambar 4.15 Tancepan Paseban dan Siti Inggil
Gambar 4.16 Cepengan Ngepok 1
Gambar 4.17 Cepengan Ngepok 2
Gambar 4.18 Jenis Cepengan
Gambar 4.19 Berbagai bentuk gunungan
Gambar 4.20 Macam-macam Senjata Keris
Gambar 4.21 Macam-macam Gada
Gambar 4.22 Macam-macam Panah
B4
Gambar 4.23 Keprak dan Cantholan Keprak
Gambar 4.24 Cempala Asta dan Cempala Suku
Gambar 4.25 Panggung Dalang
Gambar 4.26 Penataan (setting) panggung wayang, dalang
dan gamelan gaya Jawatimuran
Gambar 4.27 Penataan (setting) panggung wayang, dalang
dan gamelan gaya Surakarta
Gambar 4.28 Panggung Wayang dan bagian-bagiannya
Gambar 4.29 Panggung wayang dengan bentuk dan warna
lain
Gambar 4.30 Rebab
Gambar 5.1 Kendang Jawa Timuran
Gambar 5.2 Gender penerus (lanang)
Gambar 5.3 Bonang Babok
Gambar 5.4 Slenthem
Gambar 5.5 Demung
Gambar 5.6 Saron Penerus (Peking)
Gambar 5.7 Saron
Gambar 5.8 Kenong
Gambar 5.9 Gong Sak Plagri dan Gong Suwukan
Gambar 5.10 Gambang
Gambar 5.11 Siter
Gambar 5.12 Suling
C1
Durmasana
Durnandaka
Durpramata
Durprasadarsa
Dursaha
Dursaya
Dursatwa
Dursara
Dursasana
Dewi Dursilawati
Durta
Durwega
Duryuda
Duryudana
Dusprajaya
Dwiloncana
Ekaboma
Ekatana
Gardapati
Gardapura
Habaya
Hagnyadresa
Halayuda
Hanudara
Jalasaha
Jalasantaka
Jalasuma
Jarasanda
Kartamarma
Kenyakadaya
Kratana
Kundayasin
Mahabahu
Nagadata
Patiweya
Pratipa
Rudrakarman
Senani
Somakirta
Srutayuda
DAFTAR NAMA-NAMA KURAWA
Adityaketu
Agrasara
Agrayayin
Anuwenda
Aparajita
Balaki
Balawardana
Bimasulawa
Bimawega
Bogadenta
Bomawikata
Bwirajasa
Carucitra
Citrbana
Citraboma
Citraga
Citraksa
Citraksi
Citrakundala
Citrawarman
Danurdara
Dirgabahu
Dirgalasara
Dirgama
Dirgaroma
Dredasetra
Dredawarma
Dredayuda
Dredakesti
Durbahu
Durdara
Durdarsa
Durgempa
Durkarana
Durkaruna
Durkunda
Durmada
Durmagati
Durmanaba
Durmuka
C2
Sulocana
Suwarcas
Trigarba
Udadara
Ugayuda
Ugrasrawa
Ugraweya
Upanandaka
Upacitra
Wahkawaca
Watawega
Wikataboma
Windandini
Wingwingsata
Wirabahu
Wisalaksa
Wiyudarus
Yutadirga
Yutatirta
Yuyutsu
0 komentar:
Posting Komentar